Karen Aurellia tidak pernah menyangka diusianya yang baru menginjak dua puluh tahun, akan menikah dengan pria yang lebih tua darinya. Pria itu adalah Darren William Bratajaya, pemuda cerdas yang telah meraih gelar profesor di Universitas London.
Saat mengetahui akan dinikahi seseorang bergelar profesor, yang ada dalam bayangannya adalah seorang pria berbadan gempal dengan perut yang buncit, memakai kacamata serta memiliki kebotakan di tengah kepala seperti tokoh profesor yang sering divisualkan film-film kartun.
Tak sesuai dugaannya, ternyata pria itu berwajah rupawan bak pangeran di negeri dongeng! Lebih mengejutkan lagi, ternyata dia adalah dosen baru yang begitu digandrungi para mahasiswi di kampusnya.
Bacaan ringan, bukan novel dengan alur cerita penuh drama. Hanya sebuah kisah kehidupan Rumah Tangga pasutri baru, penuh keseruan, kelucuan, dan keuwuan yang diselipi edukasi pernikahan. Baca aja dulu, siapa tahu ntar naksir authornya 🤣
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Risiko Punya Suami Dosen
Karen memegang bibirnya yang basah akan sisa-sisa pagutan Darren yang tertinggal. Sejenak, ia teringat kembali saat lelaki itu mengatakan menyukainya juga. Mengingat hal itu, semburat merah langsung memancar di pipinya. Ia menutupi wajah dengan selimut sambil menghentak-hentakkan kaki karena merasa senang.
Sekitar lima menit kemudian, Darren kembali masuk ke kamar sambil membawa secangkir teh hangat. Ia menyodorkan teh itu pada Karen yang terbaring meringkuk kesakitan.
"Ayo, minum dulu tehnya!" Darren membantu Karen agar bisa bangun.
Karen mengambil cangkir itu dari tangan Darren lalu mulai menyesap cairan beraroma melati yang menenangkan sekaligus menghangatkan. Jujur, ia merasa aneh melihat sikap Darren yang sangat perhatian padanya. Perlakuan lembut pria itu kadang-kadang membuatnya hanyut hingga tanpa sadar menimbulkan benih-benih rasa sayang. Namun, satu hal yang mengusik hatinya. Apakah Darren memperlakukan semua perempuan seperti ini? Takutnya, ia hanya kePeDean karena menganggap diistimewakan.
"Ren, kamu sama mantan kamu yang itu, kayak gini gak sih?" tanya Karen penasaran. Entah apa yang ada di benaknya, hingga melayangkan pertanyaan seperti itu.
"Kayak gini gimana maksudnya?" Darren membalikkan pertanyaan.
"Ya, kayak gini. Suka ngasih perhatian."
Darren mengangguk mengiyakan. "Tapi itu dulu, waktu masih pacaran."
Karen langsung memasang wajah cemberut. Cemburu kembali menguasainya. Darren diam-diam menangkap ekspresi di wajah istrinya yang berjarak cukup dekat darinya.
"Terus kamu pas pacaran sering bikinin teh juga gak buat dia? Sering lembutin dia, enggak? Sering nurutin segala keinginan dia juga, enggak?" Karen malah melempar pertanyaan beruntun.
Darren terdiam sejenak. "Ngapain dibahas, sih?" tiba-tiba pria itu merasa risi dengan pertanyaan Karen.
"Ya, tinggal jawab aja susah amat! Jangan-jangan belum move on!" sindir Karen.
"Itu udah jadi masa lalu. Ngapain dibahas yang kayak gitu. Kalau untuk diingat pun cuma sebagai pembelajaran di masa yang akan datang. Ibarat spion di motor, untuk terus berjalan maju ke depan terkadang kita harus menengok ke belakang untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan, kan? Begitu juga dengan masa lalu setiap orang. Entah itu aku atau kamu." Sebenarnya, Darren memiliki alasan tersendiri mengapa ia enggan membicarakan tentang hubungannya dengan mantan kekasihnya itu di masa lalu.
"Bener dia cuma masa lalu? Kan kata orang mantan bisa reunian," tandas Karen.
"Itu kata orang, kan? Apakah menjadi patokan semua orang? Aku juga punya prinsip sendiri!"
"Berarti dia udah gak ada di hati kamu, kan?"
Daren terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada tipis. "Iya ...."
"Terus ... yang ... ada ... di hati kamu sekarang ... siapa?" tanya Karen putus-putus.
Darren melirik ke arah perempuan di sampingnya itu. Kadang-kadang Karen bersikap kekanak-kanakan, tetapi entah mengapa Darren malah menyukainya. Menurutnya, sikap itu malah memunculkan sisi feminin istrinya.
"Siapa, ya? Karen Aurellia mungkin," balas Darren dengan bola mata yang berpindah di sudut.
Jawaban Darren lantas membuat pipi Karen bersemu. Ia kembali merasakan seluruh wajahnya memerah hingga tak dapat menahan senyumnya.
"Siapa?" tanya Karen berlagak tidak dengar.
"Karen Aurellia," bisik pria itu.
"Ulangi coba!"
"Karen Aurellia." Darren kembali berbisik di telinga Karen.
"Gak dengar! Kurang jelas!" ucap Karen menahan senyum. Ada kesenangan tersendiri mendengar nama lengkapnya disebut pria itu terus menerus.
Darren menggeleng pelan, lalu menaikkan intonasi suaranya. "Karen Aurellia. K–A–R–E—N." Dia mengeja satu persatu nama istrinya.
Baru saja merasa Karen mengembangkan senyumnya, Darren malah berkata, "Tapi bo'ong, hahaha ...."
Senyum Karen yang tadinya semringah mendadak raib. Berganti ekspresi kekesalan level Dewa. Perempuan itu lantas memukul-mukul Darren yang tergelak.
"Ih, siapa juga yang mau disuka sama cowok kayak kamu," ketus Karen sambil terus memukul-mukul pria itu.
Darren menahan kedua tangan Karen. "Udah gak sakit lagi, nih?"
"Iya udah mendingan." Karen langsung membalikkan tubuhnya membelakangi Darren. Tampaknya ia masih kesal dengan pria itu.
"Ya, sudah. Aku mau siapin bahan untuk ngajar besok," ucap Darren sambil berdiri lalu menuju meja kerjanya.
Mendengar hal itu, Karen lantas baru teringat jika ia memiliki tugas dari dosen yang harus segera disetor. Ia pun turun dari ranjang, lalu beringsut mendekati Darren yang tengah duduk di meja kerja sambil menghidupkan laptop.
Melihat Karen yang tiba-tiba berada di sampingnya sambil memasang wajah manis, membuat Darren mengernyit sekaligus menebak-nebak apa yang diinginkan istrinya itu.
"Da–rren," panggilnya dengan gaya sok akrab.
"Kenapa? Sakit lagi?"
"Iya, nih."
"Ya, udah. Istirahat sana!"
"Maunya sih gitu. Tapi ...."
"Kenapa? Pengen ditemani?"
Karen menggeleng cepat.
"Mau dipijat lagi?"
Karen kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gini, loh, perut aku itu masih sakit. Pengen istirahat, sih. Tapi tiba-tiba aku ingat belum ngerjain tugas dari ibu Claudya. Mana deadline-nya Senin ini lagi," ucap Karen sambil memijat-mijat pundak Darren.
Darren yang sudah mengerti arah pembicaraan Karen, dapat menebak apa yang menjadi keinginan gadis itu. "Ya, sudah kerja aja sana! Yang sakit kan cuma perut. Tangan sama otak masih bisa kerja, kan?" tandasnya sambil mengetik bahan mengajar.
"Itu masalahnya! Gara-gara perutku cenat-cenut kan otak aku jadi sulit konsentrasi. Please ... kali ini aja kamu yang ngerjain tugas!" pinta Karen memelas sambil menangkupkan kedua tangannya. Ya, bukan Karen namanya kalau tidak pandai membujuk pria itu agar menuruti keinginannya. Tapi sayangnya, untuk soal mengerjakan tugas, Darren tak pernah mau berkompromi dengannya.
Darren mengambil ponselnya, lalu menghubungi seseorang.
"Halo, Claudya. Ini aku, Darren. Kamu kenal mahasiswa semester tiga atas nama—"
Mata Karen membeliak dan ia segera merebut ponsel itu dari tangan Darren. Bagaimana tidak, pria itu malah menghubungi dosen yang bersangkutan.
"Oke ... oke ... aku bakal ngerjain tugas! Gitu aja main lapor, dah kayak hansip aja. Huuuu ...," ketus perempuan itu sambil bersungut-sungut.
Merasa jurus rayuan mautnya tidak mempan, dengan terpaksa Karen mengerjakan tugas itu di bawah pengawasan Darren. Berkali-kali dia harus mengulang tugasnya karena terus dikoreksi pria itu. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, pelayan mengetuk pintu memberitahukan bahwa makan malam telah siap.
Karen langsung senang dan menganggap pelayan itu adalah Dewa penyelamatnya. Sayangnya, ia harus gigit jari saat Darren mengatakan mereka akan makan jika Karen selesai mengerjakan tugasnya.
Bahu Karen mengendur seketika. Bibirnya mengerucut hampir menyamai tinggi hidungnya yang tidak tinggi-tinggi amat. Sedangkan Darren hanya memberi senyum Lucifer seraya mengayunkan tongkat besi lipatnya ke atas meja hingga membuat perempuan itu tersentak.
"Cepat selesaikan tugasnya!" perintah pria itu seraya kembali mengayunkan tongkat.
.
.
.
like + komen
keasikan baca jadi lupa kasih bintang 😂😂😂😂😂😂🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🙏🏼
notif'y ada d berbagai judul novel kak yu 😅