Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Fitnah yang Menghancurkan
"Batal? Tapi bahannya sudah saya beli semua, Mbak. Apa alasannya?"
Maya mencengkeram ponselnya kuat-kuat di sudut dapur. Suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah yang mulai mendidih. Di seberang telepon, suara seorang ibu rumah tangga yang seharusnya menjadi pelanggan katering syukuran besok terdengar ketus dan menghakimi.
"Aduh, Mbak Maya. Nggak usah pura-pura nggak tahu deh. Di grup WhatsApp warga itu sudah rame fotonya. Mbak Maya jualan makanan pakai bahan sisa dari tempat sampah ya? Terus airnya pakai air selokan yang nggak disaring? Jijik saya, Mbak! Uang DP-nya saya ikhlaskan saja, yang penting keluarga saya nggak keracunan!"
Klik.
Sambungan diputus sepihak. Maya menatap layar ponselnya dengan nanar. Baru saja dia hendak menarik nafas, notifikasi di sebuah grup bernama Warta Desa Kita di media sosial dengan logo berwarna biru meledak. Akunnya di tag di sana.
Sebuah unggahan foto memperlihatkan tumpukan sampah di belakang warungnya yang sengaja dipotret sedemikian rupa agar terlihat seperti bahan makanan yang sedang diolah.
“Hati-hati pesan katering di Warung Bu Sum. Penjualnya aslinya penipu dari kota, pake bahan busuk biar untung gede. Lihat saja itu foto dia sama laki-laki kaya, hasil nipu juga pasti!” bunyi keterangan foto yang sudah dibagikan ratusan kali.
"Maya... itu beneran yang orang-orang omongin di luar?"
Ibu Maya muncul dari balik pintu kamar, tubuhnya gemetar hebat. Beliau memegang ponsel jadulnya dengan tangan yang lunglai. Wajahnya pucat pasi, matanya sembab.
"Ibu, jangan dengerin mereka. Itu fitnah. Maya nggak pernah pakai bahan sisa. Ibu tahu sendiri tadi pagi Maya ke Cigombong cari bahan segar," Maya mencoba menenangkan, tapi tangannya sendiri dingin.
"Tapi tadi Tante Rosa ke sini, May. Dia teriak-teriak di depan pagar, bilang kita malu-maluin keluarga. Tetangga-tetangga juga mulai lewat sambil buang ludah ke arah warung kita. Ibu... Ibu malu banget, Nak. Dadanya Ibu sesak sekali..."
"Ibu!" Maya berteriak saat melihat ibunya limbung.
Dia segera menangkap tubuh ibunya sebelum menghantam lantai. Vertigo ibunya kumat, ditambah serangan sesak nafas karena stres yang luar biasa. Maya memapah ibunya kembali ke tempat tidur dengan air mata yang mulai menetes.
"Maya gagal ya, Bu? Kenapa mereka jahat sekali?" bisik Maya sambil menyelimuti ibunya yang terus menggigil.
Maya keluar dari kamar dengan langkah gontai. Dia duduk di bangku dapur, menatap tumpukan cabai dan daging segar yang tadi pagi dia bawa dengan penuh perjuangan. Semuanya terasa sia-sia. H-1 kompetisi Festival Bumi Lestari, dan reputasinya sudah hancur lebur di tingkat desa.
Sejam kemudian, suara ketukan pintu depan yang keras mengejutkannya. Maya mengusap air matanya kasar. Dia bersiap menghadapi cacian tetangga lainnya, tapi saat pintu dibuka, sosok Arlan berdiri di sana dengan wajah yang luar biasa dingin.
"Sudah lihat beritanya?" tanya Arlan tanpa basa-basi.
"Sudah. Kecewa kamu? Kontrakmu sekarang terancam punya mitra yang dicap tukang sampah," sahut Maya getir. Dia menyandarkan tubuhnya di bingkai pintu, merasa tidak punya tenaga lagi.
Arlan melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu dengan rapat. Dia menatap Maya dengan tajam, seolah sedang membedah isi kepala perempuan itu. "Kenapa kamu menangis? Menangis tidak akan menghapus postingan di internet."
"Ibu sakit, Arlan! Mereka nggak cuma serang aku, mereka serang Ibu! Tetangga-tetangga yang dulu Ibu bantu sekarang malah menghina dia di depan muka. Aku hampir menyerah. Mungkin Siska benar, aku nggak seharusnya ada di liga kalian."
"Singa tidak akan menoleh hanya karena gonggongan anjing, Maya."
Kalimat Arlan begitu telak, membuat Maya mendongak.
"Siska melakukan ini karena dia takut. Dia tahu kalau sampai kamu berdiri di panggung kompetisi besok, masakanmu akan bicara lebih keras daripada fitnah murahannya. Kalau kamu mundur sekarang, kamu bukan cuma kalah dari Siska, tapi kamu membenarkan semua fitnah itu."
Arlan maju satu langkah, suaranya rendah tapi penuh penekanan. "Fokus ke masakanmu. Biar saya yang urus gonggongan di luar. Kamu punya waktu kurang dari dua puluh empat jam untuk membuktikan siapa yang sebenarnya tukang sampah di sini."
Maya terdiam. Kata-kata Arlan seperti siraman air es yang membangunkan logikanya yang sempat mati karena emosi.
"Kamu benar. Aku nggak boleh kalah begitu saja," Maya mengusap wajahnya, binar matanya kembali menyala.
"Bagus. Sekarang panggil asisten barumu. Kamu butuh bantuan untuk persiapan bumbu dasar malam ini, kan?"
"Iya. Aku baru rekrut Bi Lastri, tetangga sebelah yang memang butuh kerja karena suaminya kena PHK. Dia orangnya rajin," Maya berjalan menuju dapur belakang, memanggil asisten barunya yang sudah datang sejak sore.
"Bi Lastri! Tolong bantu potong bawang merahnya sekarang ya!" teriak Maya.
"Iya, Neng! Sebentar, Bibik lagi cuci tangan!" sahut Bi Lastri dari arah dapur
Arlan duduk di meja makan, membuka laptopnya, seolah-olah warung itu adalah kantor sementaranya. Maya mulai sibuk kembali, aroma rempah mulai menguar.
Maya berjalan ke arah panci besar berisi bumbu dasar yang sedang didiamkan. Dia butuh mengambil takaran garam. Namun, saat dia baru saja akan membelok ke arah meja racik, dia melihat bayangan seseorang di balik rak penyimpanan yang remang-remang.
Lampu dapur yang sengaja dikecilkan untuk menghemat listrik membuat suasana sedikit gelap. Maya menghentikan langkahnya, menahan napas. Dari celah rak, dia melihat Bi Lastri berdiri membelakanginya di depan panci bumbu utama.
Bi Lastri tidak sedang memotong bawang. Tangannya gemetar, merogoh sesuatu dari balik saku daster kusamnya. Itu adalah sebuah bungkusan plastik kecil berisi bubuk putih.
"Maafin Bibik, Neng Maya... Bibik butuh uangnya buat bayar sekolah anak..." bisik Bi Lastri lirih, suaranya nyaris hilang ditelan bunyi gerimis di luar.
Mata Maya membelalak saat melihat Bi Lastri mulai menuangkan isi plastik itu secara sembunyi-sembunyi ke dalam panci bumbu rahasia yang sudah disiapkan untuk kompetisi besok.
"Bi Lastri? Apa yang Bibik lakukan?!"
Suara Maya menggelegar di dapur yang sunyi. Bi Lastri tersentak hebat, plastik di tangannya jatuh ke dalam panci, dan dia berbalik dengan wajah yang dipenuhi ketakutan luar biasa.
Arlan langsung berdiri dari kursinya, berlari menuju dapur. "Ada apa, Maya?"
Maya tidak menjawab Arlan. Dia melangkah maju, menatap panci bumbunya yang kini sudah tercemar, lalu menatap asisten yang baru saja dia percayai itu. "Siapa yang suruh Bibik? Siska? Atau Adit?"
Bi Lastri jatuh terduduk, menangis tersedu-sedu sambil memeluk kaki Maya. "Maaf Neng... maaf! Mereka ancam mau usir Bibik dari kontrakan kalau Bibik nggak lakuin ini!"
Maya mengepalkan tangannya sampai kukunya memutih. H-1 kompetisi, ibunya sakit, fitnah merajalela, dan sekarang, bumbu rahasianya pun diracuni oleh orang kepercayaannya sendiri.
"Arlan..." suara Maya tercekat.
Arlan melihat ke dalam panci, lalu menatap Bi Lastri dengan pandangan yang sanggup membekukan darah siapa pun. "Sepertinya kompetisi ini jauh lebih kotor dari yang saya kira."