Aruna Elise Claire, aktris muda yang tengah naik daun, tiba-tiba dihantam skandal sebagai selingkuhan aktor lawan mainnya. Kariernya hancur, kontrak diputus, dan publik membencinya.
Putus asa, Aruna memanfaatkan situasi dan mengancam Ervan Zefrano—pria yang ia kira bisa dikendalikan. Ia menawarinya pernikahan kontrak dengan iming-iming uang dan janji merahasiakan sebuah video. Tanpa ia tahu, jika Ervan adalah seorang penerus keluarga Zefrano.
“Kamu mau uang, kan? Menikah saja denganku dan aku akan memberimu uang setiap bulannya. Juga, foto ini akan menjadi rahasia kita. Tugasmu, cukup menjadi suami rahasiaku.”
“Dia pikir aku butuh uang? Aku bahkan bisa membeli harga dirinya.”
Pernikahan mereka dimulai dengan ancaman, di tambah hadir seorang bocah menggemaskan yang menyatukan keduanya.
“Liaaan dititip cebental di cini. Om dititip juga?"
Akankah pernikahan penuh kepura-puraan ini berakhir dengan luka atau justru membawa keduanya menemukan makna cinta yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan Singkat
Hari pernikahan itu tiba tanpa pesta, tanpa dekorasi, tanpa tamu undangan. Tak ada gaun pengantin mewah, tak ada iringan musik romantis. Mereka hanya datang ke kantor catatan sipil, sekadar untuk mengesahkan status sebagai suami istri dan mendapatkan buku nikah.
Begitu keluar dari gedung itu, di tangan mereka tergenggam dua buah buku berwarna merah marun yang menjadi simbol ikatan mereka yang entah untuk apa sebenarnya diresmikan hari ini.
“Coba aku lihat punyamu. Ervan, kan namamu tadi?” pinta Aruna sambil menjulurkan tangannya. Namun, Ervan buru-buru menyelipkan buku nikahnya ke dalam saku jaket, membuat Aruna melirik tajam dengan nada kesal.
“Dasar pelit!” desis Aruna dengan jengkel.
Ervan hanya berdiri tenang, menyilangkan tangan di d4da, lalu mengalihkan pandangan ke arah parkiran mobil.
“Sekarang kita harus bagaimana?” tanyanya, datar.
“Kita tinggal di rumahku. Aku sudah beli rumah, tak jauh dari apartemenku,” jawab Aruna ringan.
“Tinggal di rumahmu?” Ervan menatapnya dengan kening berkerut.
Aruna mengangguk kaku. “Iya. Memangnya mau tinggal di mana? Di rumahmu? Aku nggak biasa hidup di tempat yang ... kekurangan. Lagian, akan banyak rencana yang kita buat nantinya,” ucapnya tanpa ragu, kemudian melangkah menuju mobilnya.
Ervan memejamkan mata sesaat. Ucapan itu menvsuk, tapi ia menahan diri. Ia tahu, Aruna berbeda jauh dari citra dirinya di media sosial. Di luar, terlihat manis dan rendah hati, tapi kenyataannya—angkuh dan keras.
Terpaksa, Ervan meninggalkan mobilnya di parkiran kantor catatan sipil dan naik ke mobil yang sama dengan Aruna. Wanita itu menyetir dalam diam, sementara Ervan hanya menjadi penumpang tanpa pilihan.
“Aku lapar. Kita makan di mana?” tanya Aruna, tangannya masih memegang setir.
“Terserah,” jawab Ervan singkat, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti. Ervan membuka mata, menoleh ke luar. Ia tidak melihat restoran atau kafe mewah, hanya penjual kaki lima di pinggir jalan. Aruna sudah turun dari mobil, berjalan cepat ke arah gerobak sate. Mau tak mau, Ervan mengikutinya.
“Sate kambing di sini enak banget. Kamu pernah coba?” tanya Aruna sambil duduk di kursi plastik, tampak antusias.
Ervan hanya menatap sekeliling, enggan menjawab. Tempat seperti ini bukan hal asing baginya, tapi sudah sangat lama ia tidak duduk di warung kaki lima. Ia merasa canggung dan sedikit merasa tak enak.
“Pak, sate kambingnya dua porsi, ya,” pesan Aruna.
“Siap, Mbak. Ditunggu ya.” jawab pedagangnya sambil meletakkan dua mangkuk kecil berisi air di atas meja. Aruna duduk santai. Ervan pun hendak duduk, namun kakinya tersandung batu kecil. Hampir jatuh, tubuhnya terhuyung. Refleks, Aruna menangkap lengannya, menahannya. Sekejap mata mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat.
“Ekhem!” suara deham si pedagang membuat keduanya buru-buru menjauh dengan raut salah tingkah.
Sambil menunggu sate matang, Aruna membuka ponselnya, mencoba mengalihkan perhatian dari momen canggung barusan. Sementara Ervan menatap mangkuk air di depannya. Ia penasaran, lalu mengambilnya dan meminumnya. Seketika ia meringis karena rasanya aneh.
“Kalau ini apa?” tanyanya polos.
Aruna menoleh dan matanya membelalak, “ITU AIR CUCI TANGAN, BUKAN UNTUK DIMINUM!” pekiknya panik.
Ervan terdiam, lalu perlahan meletakkan mangkuk itu kembali di atas meja. Aruna segera meminta sebotol air mineral dan menyodorkannya ke Ervan, berharap pria itu tidak keracunan atau sakit perut nanti.
Sate pun datang. Aruna membuka masker dan menggulung lengan jaketnya. Dengan wajah ceria, ia mulai menyantap sate itu penuh selera. Berbeda dengan Ervan yang hanya menatap ragu.
“Makan, dong. Ini sate terenak yang pernah aku coba,” ujar Aruna semangat.
Ervan akhirnya mencicipi sepotong dan dia harus mengakui, Aruna tidak bohong. Sate itu memang luar biasa. Bumbunya kuat, dagingnya empuk, dan rasanya menggugah selera.
“Enak, kan?” tanya Aruna sambil mengunyah.
Ervan mengangguk. “Iya. Sangat enak. Aku belum pernah makan sate seenak ini sebelumnya.”
Aruna menatap pria di hadapannya itu dan tersenyum, namun senyumnya mengandung sesuatu yang lain, semacam rasa iba.
"Astaga ... Bahkan makan sate kaki lima saja dia seperti baru pertama kali. Sesulit itu kah hidupnya? Tenang saja, Ervan. Kalau karierku naik lagi, aku akan beri kamu kerja yang layak," bisik Aruna dalam hati.
Selesai makan, Ervan membuka dompet, ingin membayar. Tapi Aruna buru-buru mencegah dan langsung menyerahkan uang ke penjual sate. Ervan mematung. Ini kali pertama dalam hidupnya, ia dibayarkan oleh seorang wanita. Harga dirinya terasa ambruk.
“Ayo, aku udah kenyang,” ucap Aruna sambil berdiri dan berjalan lebih dulu.
Ervan menatap punggung wanita itu, lalu menarik napas panjang. “Harga diriku hilang sejak bertemu dengannya ...,” gumamnya lirih.
Tiba-tiba, ia teringat sesuatu. Ia mengambil ponsel dan menelepon. “Ma, aku nginep di rumah teman, ya. Dia lagi ada masalah. Bilang ke Papa, semua kerjaanku tetap aku selesaikan. Aku pulang minggu depan,” ucapnya singkat sebelum menutup panggilan.
Ia tak berniat mengungkap identitas aslinya pada Aruna. Setidaknya, belum sekarang.
.
.
.
.
“Selamat datang di rumahku! Ayo masuk,” seru Aruna, membuka pintu lebar-lebar.
Ervan melangkah masuk dan melihat sekeliling. Rumah itu cukup sederhana, tapi ditata dengan selera tinggi. Nuansa netral dan elegan menghiasi tiap sudut ruangan. Namun dalam benaknya, Ervan ingin tertawa. Rumah ini bahkan tak sebanding dengan kamarnya sendiri. Ia tak pernah hidup susah.
Matanya menangkap banyak bingkai foto Aruna yang terpajang. Ia mengakui, Aruna memang sangat cantik. Tapi yang membuatnya penasaran adalah foto-foto anak kecil yang juga ada di sana. Beberapa foto memperlihatkan anak laki-laki dengan senyum ceria. Ervan mendekat, mengangkat salah satu bingkai.
Ting!
Tong!
Ervan menoleh ke arah pintu. Tak melihat Aruna, ia memutuskan membuka pintu sendiri.
Cklek!
Di hadapannya, seorang bocah laki-laki berdiri di atas bangku kecil, memencet bel sambil memejamkan mata, seolah sedang bermain-main.
“Onty Aluuu, pangeran halimu dataaang …,” ucapnya dengan nada menyanyi, masih memejamkan mata.
Ting!
Tong!
“Hei, siapa kamu?” tanya Ervan, membuat si bocah membuka matanya lebar-lebar.
Bocah menggemaskan itu menatap Ervan dari kepala hingga ujung kaki, lalu mengulangi tatapan itu beberapa kali dengan bibir mengerucut seolah tengah berpikir keras.
“Lian dititip cebental di ciiniiii, Om dititip juga?” tanyanya polos, membuat Ervan terpaku, tidak tahu harus menjawab apa.
_________________________________
Ternyata lebih cepat dari dugaanku kawan😆 b0del dah hadiiiir😆
baik amat hari ini