Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kerja kelompok
Di siang hari, tepatnya di teras rumah Arsen, suasana dipenuhi oleh tawa, suara berdebat, dan sesekali umpatan kecil yang terdengar akrab. Meja panjang diletakkan di tengah teras, penuh dengan kertas, spidol, gunting, dan beberapa botol minuman dingin yang sudah hampir kosong.
Hari itu, kelas Arsen mendapat tugas praktik proyek sosiologi—membuat mini presentasi tentang fenomena sosial di lingkungan sekitar, lengkap dengan contoh kasus dan solusi sederhana. Karena merasa lebih praktis, Arsen memilih satu kelompok yang seluruh anggotanya cowok. Tidak ada campuran cewek sama sekali.
Dan sekarang… mereka menyesalinya.
“Anjir, susah banget! Dari tadi gak beres-beres,” gerutu Ezra sambil mengacak rambutnya sendiri dengan frustasi.
Kertas di depannya masih dipenuhi coretan tak jelas, sementara judul besar di atasnya bahkan belum final.
“Judul aja belum kelar, gimana mau presentasi,” lanjut Ezra kesal.
“Sabar kali, Ez,” Kaizen menimpali sambil membaca ulang poin-poin di buku. “Gue yakin kita pasti bisa. Ini cuma soal nyusun kata doang.”
“Bisa dari mananya coba?” Ezra menoleh tajam. “Dari tadi juga gak ada tuh kelihatan hasilnya.”
“Sen, Lo punya lakban gak?” Kairo menyeringai sambil melirik Ezra. “Biar gue lakban mulut ni anak, berisik mulu.”
Ezra langsung cemberut. “Dasar gak punya empati.”
Sementara itu, Leo menyandarkan punggungnya ke kursi dan menoleh ke arah ruang keluarga. Di sana, Elara, Nayomi, dan Keira duduk manis di depan televisi, menonton drama Korea dengan serius. Mata mereka fokus, sesekali berkomentar kecil tentang adegan di layar.
“Kalian gak ada niatan bantuin kita nih?” tanya Leo agak keras.
Ketiga cewek itu menoleh bersamaan.
“Kita dibayar berapa kalo bantuin kalian?” Nayomi bertanya santai, wajahnya polos tapi nadanya jelas bercanda.
“Ckk, yang ikhlas dong,” Ezra memohon setengah putus asa. “Kita beneran gak bisa.”
Keira menghela napas pelan, lalu menyilangkan tangan. “Makanya kalo milih kelompok itu yang ada ceweknya. Jadi bisa diandelin. Lah ini cowok semua, kalian juga pasti gak paham kan materinya. Makanya jangan kebanyakan bolos.”
“Iya iya,” Leo mengangkat tangan menyerah. “Buruan mau bantuin kita gak?”
Elara yang sejak tadi memperhatikan dari kejauhan akhirnya berdiri. Ia melangkah mendekat, menatap wajah-wajah lelah itu satu per satu. Ada rasa kasihan yang muncul di matanya.
“Boleh deh kita bantu,” ucap Elara akhirnya.
Sekejap, mata mereka berlima berbinar.
“Tapi,” Elara melanjutkan sambil mengangkat satu jari, “nanti kalian traktir kita bertiga di kantin selama seminggu.”
“Deal!” jawab mereka serempak tanpa pikir panjang.
Ketiga cewek itu justru terkejut.
“Cepet banget setujunya ,” gumam Nayomi.
“Kelihatan banget udah pusing” tambah Keira.
Mereka pun bergabung di meja. Elara langsung mengambil salah satu kertas dan membaca isinya. “Kalian kebanyakan muter-muter di teori. Coba masukin contoh nyata di lingkungan sekolah atau rumah.”
“Misalnya?” tanya Arsen, yang sejak tadi lebih banyak diam.
“Misalnya fenomena pergaulan remaja, tekanan sosial, atau solidaritas antar teman,” jawab Elara sambil menulis cepat. “Kayak kalian ini.”
Ezra mendekat, memperhatikan. “Eh… kok kalo dijelasin gini jadi masuk akal ya?”
“Makanya,” Keira tersenyum kecil. “Dengerin orang pintar kaya kita gini”
Kaizen mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya sejak siang itu, wajahnya terlihat lebih santai.
Di tengah keributan kecil dan tawa yang kembali muncul, Arsen tanpa sadar menatap Elara lebih lama. Melihat caranya fokus, cara ia berbicara dengan tenang, dan bagaimana suasana yang tadinya kacau perlahan jadi tertata.
Dan entah sejak kapan, hari yang awalnya terasa biasa itu… mulai meninggalkan rasa hangat yang sulit dijelaskan.
★★★
Akhirnya, mereka semua menghela napas lega hampir bersamaan saat lembar terakhir tugas itu diletakkan rapi di atas meja. Coretan-coretan yang tadinya berantakan kini berubah jadi rangkaian poin yang masuk akal. Terasa ada kepuasan kecil yang mengendap setelah perjuangan panjang sejak siang.
“Gila… akhirnya selesai juga,” gumam Ezra sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Tangan gue pegel banget nulis Mulu."
Kaizen tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah tiga cewek di seberang meja. “Makasih ya. Kalo gak ada kalian, ini tugas bisa berantakan.”
“Ya santai aja, Kai,” jawab Elara sambil merapikan rambutnya. “Soalnya kelas kita juga pernah disuruh bikin yang mirip gini.”
“Iya, cuma beda versi,” tambah Keira sambil melipat tangan. “Versi kalian lebih ribet.”
Leo terkekeh kecil. “Intinya… cewek emang penyelamat.”
Belum sempat suasana kembali tenang, Ezra tiba-tiba berdiri dengan ekspresi penuh ide.
“Eh, gimana kalo malem ini kita nginep di rumahnya si Arsen?”
Kalimat itu meluncur begitu saja, membuat beberapa kepala spontan menoleh.
Arsen yang sejak tadi duduk tenang langsung terdiam sejenak. Ada sedikit keterkejutan di wajahnya, meski cepat ia sembunyikan. Ia tidak bisa memungkiri—rumah yang besar dan kosong itu terasa terlalu sepi belakangan ini, apalagi orang tuanya masih di luar kota.
“…boleh,” jawab Arsen akhirnya, singkat tapi mantap.
“Beneran nih, Sen?” Leo mendekat. “Gak berubah pikirankan?”
“Gak,” jawab Arsen. “Asal jangan terlalu ribut
Ezra langsung bersorak kecil. “Yes! Tapi Lo ada stok cemilan gak? Terus bahan makanan ada gak?”
“Ckk, Lo mah ngelunjak,” Kairo menoyor dahi Ezra tanpa ampun.
“Aduh!” Ezra mengelus dahinya. “Maksud gue, kalo gak ada kita beli ke supermarket. Gue kepikiran buat bakar-bakar”
“SETUJU!!!” seru Elara, Nayomi, dan Keira bersamaan.
Kairo sampai refleks menepuk dadanya sendiri. “Anjir, kaget gue.”
Elara tertawa kecil. “Seru tau. Udah lama juga gak ngumpul malem-malem.”
Nayomi lalu melirik bajunya sendiri, sedikit ragu. “Tapi rumah gue sama si Keira jauh. Lagi pula kita gak bawa baju ganti.”
Keira mengangguk setuju. “Iya, masa nginep pake seragam.”
Elara langsung tersenyum lebar, seolah sudah menyiapkan solusi sejak awal. “Tenang, Nay. Rumah gue kan satu komplek sama mereka. Kita bisa pulang dulu ke rumah gue buat ambil baju.”
“Beneran?” Nayomi dan Keira bertanya hampir bersamaan.
“Yes, girls,” jawab Elara penuh percaya diri.
Kaizen bangkit berdiri, menepuk tangan pelan untuk menarik perhatian. “Oke. Berarti gini aja. Kita pulang dulu ke rumah masing-masing, ambil baju ganti. Malemnya kumpul lagi di rumah Arsen.”
“Dan jangan lupa minta izin orang tua,” lanjut Kaizen tegas.
“Siap, bos!” jawab mereka hampir bersamaan, penuh semangat.
★★★
Menjelang sore, satu per satu mereka mulai beranjak dari rumah Arsen. Tas-tas dirapikan, sepatu dikenakan kembali. Suasana terasa berbeda—lebih ringan, lebih hidup. Bukan cuma karena tugas selesai, tapi karena ada rencana malam yang ditunggu.
Elara berjalan di samping Arsen menuju depan rumah.
“Rumah kamu bakal rame malem ini,” ucap Elara sambil tersenyum.
“Hm,” Arsen mengangguk kecil. “Lebih baik rame daripada sepi, apalagi ada kamu”
Elara menatapnya sejenak, tapi memilih tak bertanya lebih jauh. Ia tahu, kadang Arsen memang lebih suka menyimpan pikirannya sendiri.
Sementara itu, Ezra sudah lebih dulu ribut mengatur rencana belanja. “Gue yang beli daging, Leo beli arang, Kai urus minuman, dan untuk para cewek kalian beli beberapa snack!”
“sok jadi ketua Lo" protes Kairo.
“Biarin, yang penting nanti kita semua kenyang,” balas Ezra santai.
Mereka pun berpencar menuju rumah masing-masing, dengan satu janji yang sama—malam ini, mereka akan berkumpul lagi. Tanpa tugas, tanpa tekanan sekolah. Hanya tawa, cerita, dan kebersamaan yang sudah terlalu lama mereka miliki.