ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#13
Wei Li baru sadar ada yang salah bahkan sebelum alarm di ponselnya berbunyi. Ia terbangun dengan perasaan aneh di dada bukan mimpi buruk, bukan juga rasa takut yang jelas. Lebih seperti… tubuhnya mendahului otaknya. Naluri yang terlatih bertahun-tahun.
Ia duduk perlahan di ranjang, selimut turun ke pinggang. Tangannya bergerak otomatis, melipat di depan perut, jari-jari saling mencengkeram pelan. Sunyi. Terlalu sunyi. Biasanya, pagi di mansion ini tetap punya suara langkah penjaga, pintu dibuka, suara samar dapur. Sekarang, yang terdengar cuma napasnya sendiri.
Wei Li menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu berdiri. Kakinya menyentuh lantai dingin, dan rasa dingin itu naik sampai ke tulang. “Jangan parno,” gumamnya ke diri sendiri. Tapi tubuhnya tidak mendengarkan. Ia berjalan ke pintu, membuka sedikit, mengintip lorong. tenyata kosong.
Wei Li menghela napas pelan, lalu menutup pintu lagi. Ia mengusap lengannya, merinding tanpa sebab yang jelas. Ponselnya bergetar di meja samping ranjang. Satu pesan. Dari nomor tak dikenal. Wei Li menatap layar beberapa detik sebelum membukanya. Jemarinya mengepal, lalu ia paksa rileks. 'Kau melihat terlalu jauh' Tidak ada tanda baca. Tidak ada nama.
Wei Li tertawa kecil refleks yang keluar saat pikirannya belum sempat mencerna. “Cepet juga,” bisiknya. Ia duduk kembali di ranjang, ponsel masih di tangan. Tangannya sedikit gemetar sekarang, dan ia tidak berusaha menyembunyikannya. Ia mengusap punggung tangannya dengan ibu jari, menenangkan diri. Ini konsekuensi, pikirnya. Baru permulaan.
Ketukan keras di pintu memecah keheningan. “nyonya,” suara Jae Hyun terdengar. Tidak santai. Tidak bercanda. “urgent.” Wei Li berdiri cepat. Ia membuka pintu, dan Jae Hyun langsung masuk, wajahnya tegang. “nyonya dapat pesan?” tanya Jae Hyun tanpa basa-basi.
Wei Li mengangkat ponselnya. “Barusan.” Jae Hyun menghela napas pelan, tangannya naik mengusap wajah. “Sial.” Wei Li menyilangkan lengannya. Gerakan defensif. “Seberapa buruk?”
“Cukup buat bikin Tuan Kun mindahin jadwal,” jawab Jae Hyun. “Dan cukup buat bikin saya tak suka pagi ini.” Wei Li mendengus. “Pagi memang jarang bersahabat.” Mereka berjalan keluar kamar. Di lorong, penjagaan terlihat lebih ketat dari biasanya. Wei Li memperhatikan setiap detail cara orang berdiri, posisi senjata, tatapan yang lebih waspada.
“Gue bikin masalah,” katanya pelan sambil berjalan. Jae Hyun meliriknya. “anda membuat gelombang.” Wei Li menatap ke depan. “Dan gelombang selalu narik perhatian.”
Ruang kerja Kun A Tai sudah penuh saat mereka masuk. Beberapa orang berdiri di sekitar meja besar. Layar menampilkan peta, data, dan rekaman CCTV. Udara terasa berat, penuh tekanan yang tidak diucapkan. Kun A Tai berdiri di tengah. Begitu Wei Li masuk, tatapannya langsung mengunci ke arahnya. “Duduk,” katanya singkat.
Wei Li duduk. Ia menyandarkan punggung ke kursi, lalu condong sedikit ke depan iq sadar dan siaga. Tangannya terlipat di meja. Jari-jarinya saling menekan. “Pesan masuk pagi ini,” kata Kun A Tai tanpa pembukaan. “Bukan cuma ke dirimu.” Wei Li mengangkat alis ia sedikit heran. “Ke siapa lagi?”
“Ke dua orang yang seharusnya aman,” jawab Kun A Tai. “Satu di Shanghai. Satu di Shenzhen.” Wei Li menelan ludah. Dadanya mengencang. “Artinya?” tanyanya.
“Artinya kau benar,” jawab Kun A Tai. “Ada pihak ketiga.” Keheningan muncul tiba-tiba. Wei Li mengusap lengannya perlahan. “Mereka nggak mau keliatan.”
“Dan mereka tidak suka kau ngintip,” tambah Kun A Tai. Wei Li tertawa kecil. “saya belum ngintip jauh.”
“Buat mereka, itu sudah cukup,” jawab Kun A Tai. Salah satu pria di ruangan bicara, “Kami kehilangan satu jalur komunikasi pagi ini.” Wei Li menoleh. “Diputus?”
“Lebih tepatnya… diperingatkan,” jawab pria itu. Wei Li mengepalkan tangannya. “Mereka menunjukan kekuatan.”
Kun A Tai menatap Wei Li tajam. “Dan mereka mengarah ke dirimu.” Wei Li mengangkat bahu pelan. “saya bisa berhenti.” Kalimat itu membuat ruangan hening. Kun A Tai berjalan mendekat. Setiap langkahnya berat, penuh tekanan. Ia berhenti tepat di depan Wei Li.
“kau bisa,” katanya rendah. “Tapi mereka sudah melihat mu.” Wei Li mendongak. Matanya tenang, meski jantungnya berdetak cepat. “Berarti saya bukan cuma sebuah pion lagi,” katanya.
Kun A Tai menatapnya lama. Lalu berkata, “Belum. Tapi kau menuju ke sana.” Wei Li menghela napas, lalu tersenyum miring. “Hebat. Baru juga mulai.” pujian yang terkesan untuk diri sendiri. Setelah rapat bubar, Wei Li berjalan keluar bersama Jae Hyun. Langkahnya pelan, pikirannya sibuk.
“Mereka serius,” kata Wei Li. “Iya,” jawab Jae Hyun. “Dan anda sekarang di radar.” Wei Li berhenti berjalan. Ia memutar badan menghadap Jae Hyun. “Kalau gue terusin,” katanya, “apa yang paling mungkin terjadi?”
Jae Hyun berpikir sejenak. “Ancaman lebih jelas. Tekanan. Atau… kecelakaan.” Wei Li mendecak. “hais klasik.”
“Kalau anda berhenti,” lanjut Jae Hyun, “mereka tetap nggak bakal lupa.”
Wei Li tertawa kecil. “Jadi dua-duanya buruk.” gumam Wei Li sambil tersenyum miring. “Selamat datang nyonya,” jawab Jae Hyun, “di dunia orang penting.” lanjut nya lagi terkesan seperti ucapan selamat yang mengharukan.
Malam itu, Wei Li kembali ke ruang kerjanya. Lampu meja menyala lagi. Laptop terbuka. Data yang sama—tapi rasanya berbeda. Ia duduk, tapi tidak langsung bekerja. Tangannya melipat di depan dada. Ia menatap layar kosong, pikirannya berputar. 'Kalau gue mundur, gue aman sementara kalau gue maju, gue target'. Wei Li menggaruk kepalanya, frustrasi.
“Gue benci pilihan kayak gini,” gumamnya. Pintu terbuka pelan. Kun A Tai masuk, sendirian. Wei Li mendongak. “nggak tidur?”
“Belum,” jawab Kun A Tai. Ia berdiri di dekat meja, menatap layar. “Dan kau?” tanyanya terkesan basa basi. Wei Li mengangkat bahu. “Sama.” Keheningan menyelimuti ruangan. Bukan canggung lebih seperti dua orang yang tahu mereka berdiri di tepi jurang yang sama.
“kau bisa berhenti,” kata Kun A Tai akhirnya. Wei Li menoleh. “Dan kau biarkan?”
“aku bisa,” jawab Kun A Tai. “Tapi kau nggak akan tenang.”
Wei Li tertawa kecil. “kau mengenalku cepet juga ya.” Kun A Tai menatapnya. “kau bukan tipe yang bisa pura-pura tak tau.” Wei Li menunduk sebentar. Tangannya mengepal, lalu membuka lagi. “Kalau aku lanjut,” katanya pelan, “aku butuh satu hal.” Kun A Tai mengangkat alis. “Apa?”
“Kejujuran,” jawab Wei Li. “Kalau ini sudah terlewat bahaya kau harus bilang. Bukan menyimpan nya sendiri.” Kun A Tai menatapnya lama. Sangat lama. “Deal,” katanya akhirnya. Wei Li mengangguk. “Deal.”
Kun A Tai berbalik pergi, lalu berhenti di pintu. “Dan Wei Li,” katanya tanpa menoleh, “orang yang mulai menggoyang sistem jarang berhenti di tengah.” Wei Li menatap punggungnya. “ya aku tau.”
Pintu tertutup. Wei Li kembali menatap layar. Tangannya bergerak ke keyboard. Kali ini, tanpa ragu. “Kalau gue mau mati,” gumamnya, “bukan sebagai penonton.” Jari-jarinya mulai bergerak. Dan di luar sana seseorang memperhatikan.