Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.
Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.
Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
DUNG!
Gong kecil dipukul, tanda ritual pernikahan telah usai. Orang-orang yang tadinya khusyuk langsung bercakap-cakap, tertawa, dan bergerak menuju aula makan yang luas.
Aku masih berdiri kaku. Sumpah, kakiku pegal. Namun tiba-tiba Tenzin kembali menggenggam tangan kananku.
“Ayo,” ajaknya pelan, seolah tahu aku sudah hampir tumbang karena berdiri terlalu lama.
“Ayo.” Norbu tiba-tiba menggenggam tangan kiriku. “Sekarang kamu sudah resmi jadi istriku.” Dia tersenyum jahil, membuat bulu kudukku merinding.
“Bukan cuma istrimu, tapi istriku juga,” suara Sonam tiba-tiba terdengar, tapi tak terlihat wujud aslinya.
Dengan cepat aku menoleh ke belakang, ternyata Sonam sedang berdiri kokoh di belakangku, ludahku reflek terteguk di tenggorokan kering saat melihat raut tegasnya itu.
“Gak usah rebutan, aku memang udah jadi istri kalian,” sahutku, lantas melepaskan tangan Tenzin dan Norbu dari pergelangan tanganku.
“Ya sudah, sekarang kita makan,” sahut Tenzin.
“Makan di mana?”
“Ikut saja jika tidak mau digandeng,” jawab Norbu.
Akhirnya ke tiga suamiku itu berjalan terlebih dulu, aku mengekor di belakang mereka. Aku tak peduli pada apa pun karena sekarang perutku sedang lapar. Sejak acara pernikahan dimulai, aku belum sempat sarapan.
“Duduk,” titah Sonam, saat kami sampai di meja panjang dari kayu tua. Meja itu rendah, tanpa kursi. Semua orang duduk di bantal-bantal tebal berlapis kain warna merah dan emas.
Duduknya gimana? Duduk di bantal?
Tenzin tiba-tiba menarik lenganku. “Di sini.” Lanjut mendudukkanku di atas bantal.
Semua tamu yang ada di meja makan ini reflek mamandangku. Malunya setengah mati. Aku duduk di tengah Sonam dan Tenzin, sedangkan Norbu duduk tepat di seberangku—tatapannya entah kenapa seperti sedang menahan tawa.
Ada yang lucu, kah?
Aku beralih dari pandangan Norbu saat hidangan mulai disajikan satu per satu. Dari mulai mangkuk besar berisi sup hangat dengan mie tebal, potongan daging yak, dan sayuran. Lalu roti kukus yang mengepul, disusul keju yak kering, daging panggang, dan semangkuk kecil makanan yang tampak asing bagiku.
Balai perjamuan ini pun dipenuhi cahaya mentega dari puluhan lampu kecil yang berderet di sepanjang dinding. Aroma dupa juniper bercampur wangi teh mentega dan daging yak rebus, membuat kepalaku sedikit pening—entah karena lelah, gugup, kelaparan, masuk angin, atau sulit menerima kenyataan bahwa aku sudah menikah.
Segera kulirik kain yang katanya kain pangden bergaris cerah yang melingkar di pinggangku—kata Deti, ini tanda bahwa aku sekarang seorang perempuan bersuami. Manik di kain ini pun ada 3 buah, sesuai jumlah banyaknya suamiku.
Duh, ternyata ini beneran. Ini bukan mimpi.
**
**
Malam akhirnya jatuh di rumah keluarga Dorjen. Aku menghempaskan pakaian adat Tibet yang berat dan ribet itu ke kursi kayu di sudut kamar.
Rasanya pun lega seperti baru saja menurunkan ransel pasir dari pundak, lanjut memakai baju tidur sederhana.
Berdiri di depan cermin besar, aku mengusap wajahku dengan kapas pembersih. Sisa bedak, lipstik merah, dan riasan mata perlahan menghilang, memperlihatkan wajah asliku. Wajah perempuan biasa, yang entah bagaimana caranya bisa berakhir menikah di sini.
Kamarku sepi.
Sunyi yang aneh, karena di balik pintu kayu tebal ini, suara tawa tamu masih terdengar. Gelas beradu, percakapan dalam bahasa Tibet yang gaje, dan suara alat musik tradisional masih digaungkan karena pesta belum benar-benar selesai.
Aku menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang besar yang terlalu luas untuk satu orang. Lanjut memandang seprai putih bersih, bantal-bantal tersusun rapi, yang mungkin akan menjadi tempatku gak suci lagi.
“Aku beneran udah nikah, ya?” gumamku masih gak percaya.
Aku melirik pintu kamar yang tertutup rapat. “Apa malam ini aku bakal kehilangan keperawananku? Tapi sama siapa? Sonam? Tenzin? Atau Norbu?”
Tiba-tiba aku teringat perkataan Deti, tentang suami pertama lah yang akan mengatur semuanya.
“Duh, jangan-jangan Sonam duluan yang iclik aku.” Aku jadi gelisah. “Pasti iya, mana mungkin kakak tertua mau dapet barang bekas dari adiknya?”
Kepalaku jadi cenut-cenut karena membayangkan diiclik Sonam. Wanita mana sih yang bisa menikmati diiclik pria yang gak dicintai? Aku kan belum pengalaman jadi LC.
Aku bangkit dengan perasaan semakin gelisah, berjalan ke arah jendela, lalu sedikit membuka tirai. Di halaman, aku melihat lampu-lampu mentega masih menyala, orang-orang berlalu-lalang, dunia di luar sana masih hidup, masih merayakan pernikahanku—sementara aku di sini, sendirian, deg-degan, dan sangat takut diiclik Sonam.
TOK... TOK...
Ketukan pelan membuatku langsung menegakkan punggung. Jantungku seakan berhenti sedetik, lalu berdetak terlalu cepat. Tangan yang tadinya memegang gorden pun mendadak dingin dan gemetar.
Gak.
Siapa itu?
Apa itu Sonam?
Gak!
Jangan sekarang!
Pikiranku langsung gak karuan. Itu pasti Sonam yang akan minta jatah malam pertamanya. Tapi aku belum siap, sumpah. Semuanya terlalu mendadak.
TOK… TOK… TOK...
Ketukan kali ini lebih keras. Aku menelan ludah, napasku terasa pendek, kepalaku mendadak penuh skenario buruk.
“Siapa?” tanyaku.
Tanpa menjawab, orang di luar kamarku itu menekan gagang pintu, namun tidak terbuka karena sudah kukunci.
“Deti?” Aku melangkah pelan mendekati pintu, sangat berharap itu Deti.
“Ini aku.”
DEG!
Jantungku semakin berdebar saat mendengar suara Sonam.
“Sial, beneran Sonam. Dia pasti pingin mulai duluan biar gak dapet bekasan,” gerutuku pelan.
“Honay?”
Aku membeku saat Sonam memanggilku dengan sebutan itu.
Honay?
“Buka pintunya, honay.” Sonam terus menekan gagang pintu.
“Mau apa?” tanyaku.
“Aku suamimu. Aku berhak masuk kamarmu.”
“Ya mau apa? Kamu sendirian?”
“Tidak, ada aku,” suara Tenzin.
“Tenzin?” Jantungku semakin berdebar karena ternyata Sonam tidak sendirian.
“Ya, ini aku, sweety."
Sweety?
Aku tertegun saat mendengar Tenzin berani memanggilku seperti itu.
“Buka kuncinya,” titah Tenzin.
“Kalian cuma berdua?” tanyaku memastikan.
“Tidak, ada aku juga, baby,” sahut Suara Norbu.
“MAMPUS!”