Ayra tak pernah menyangka bahwa hidupnya bisa seabsurd ini. Baru saja ia gagal menikah karena sang tunangan-Bima berselingkuh dengan sepupunya sendiri hingga hamil, kini ia harus menghadapi kenyataan lain yang tak kalah mengejutkan: bos barunya adalah Arsal—lelaki dari masa lalunya.
Arsal bukan hanya sekadar atasan baru di tempatnya bekerja, tetapi juga sosok yang pernah melamarnya dulu, namun ia tolak. Dulu, ia menolak dengan alasan prinsip. Sekarang, prinsip itu entah menguap ke mana ketika Arsal tiba-tiba mengumumkan di hadapan keluarganya bahwa Ayra adalah calon istrinya, tepat saat Ayra kepergok keluar dari kamar apartemen Arsal.
Ayra awalnya mengelak. Hingga ketika ia melihat Bima bermesraan dengan Sarah di depan matanya di lorong apartemen, ia malah memilih untuk masuk ke dalam permainan Arsal. Tapi benarkah ini hanya permainan? Atau ada perasaan lama yang perlahan bangkit kembali?
Lantas bagaimana jika ia harus berhadapan dengan sifat jutek dan dingin Arsal setiap hari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
INSIDEN
Bekerja sebagai ilustrator membuat Ayra sering berinteraksi dengan berbagai model penulis. Setelah pertemuannya dengan penulis baru tadi pagi, kini Ayra baru saja keluar dari toko roti untuk ia berikan ke rekannya di ruangan. Sebelah tangannya menggenggam erat kantong berisi beberapa roti, sedangkan tangannya masih memegang ponsel, berniat mengecek pesan. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan panik terdengar di seberang jalan.
“Awas! Anak itu!”
Refleks, Ayra mengangkat wajah. Pandangannya langsung menangkap seorang anak kecil yang berlari ke arah jalan, mengejar sebuah bola berwarna merah yang menggelinding.
Saat itu juga, Ayra melihat sebuah mobil melaju cepat dari arah kanan, pengemudinya jelas tidak menyadari ada seorang anak di tengah jalur. Tanpa pikir panjang, Ayra berlari.
Adrenalinnya memuncak, jantungnya berdebar keras. Ia tidak tahu siapa anak itu, tapi yang ia tahu, ia harus menyelamatkannya.
Beberapa langkah sebelum mobil mendekat, Ayra berhasil meraih tubuh mungil itu, menariknya sekuat tenaga ke samping. Tapi, karena dorongan mendadak itu, keseimbangan Ayra hilang, membuatnya jatuh keras ke aspal.
Bruk!
Rasa perih langsung menyebar di telapak tangannya yang menahan tubuhnya di permukaan kasar itu. Lututnya terasa nyeri akibat benturan.
Teriakan panik orang-orang di sekitar lokasi terdengar di telinga Ayra. Beberapa orang segera mendekat. Salah satu dari mereka membantu Ayra, sementara yang lain memastikan anak itu baik-baik saja.
Saat itulah, seorang perempuan berlari dari dalam toko roti ke arah anak kecil itu dan langsung memeluknya erat. “Kalya! Kamu nggak apa-apa?!”
Ayra masih sedikit pusing ketika mendengar nama itu. Kalya? Ia seperti tidak familiar dengan nama itu.
Ia menoleh, ingin memastikan, tapi sudut pandangnya tertutup oleh tubuh sang perempuan. Ayra hanya bisa melihat rambut hitam anak yang dipanggil Kalya dan bahunya yang masih gemetar.
Sementara itu, beberapa orang mencoba membantu Ayra berdiri. Seorang pria muda berjongkok di sampingnya. “Mbak nggak apa-apa? Lututnya luka, tuh.”
Ayra baru menyadari rasa perih di kakinya. Ketika ia melirik ke bawah, ada lecet besar di lututnya, sedikit berdarah. Telapak tangannya juga terasa panas akibat gesekan dengan aspal.
“Saya nggak apa-apa,” gumamnya, meskipun sebenarnya ia masih sedikit limbung.
Sementara itu, Kalya masih memeluk erat perempuan muda yanh tidak lain adalah adalah Amanda. Gadis kecil itu tampak syok.
“Kalya, kamu kenapa lari begitu, hah?!” Amanda setengah menangis, tangannya memeriksa wajah keponakannya, memastikan ia benar-benar baik-baik saja.
Perempuan itu tidak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi pada Kalya. Bagaimana pandangan Arsal terhadapnya nanti jika tadi Kalya celaka.
Kalya menggeleng lemah. “Maaf, Tante…” suaranya bergetar.
Amanda kembali mendekap Kalya erat. Matanya berkaca-kaca, tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi kalau anak itu benar-benar tertabrak.
Sementara itu, Ayra mengamati mereka dari kejauhan. Ia masih tidak sadar bahwa anak yang baru saja ia selamatkan adalah Kalya, putri Arsal. Dua perempuan berbeda usia itu segera masuk ke mobil yang terparkir di depan toko roti.
Orang-orang mulai bubar setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Mereka juga membantu memasukkan kembali beberapa roti yang berserakan di jalan. Ayra akhirnya bisa berdiri setelah beberapa saat, sedikit meringis karena nyeri di lututnya. Tidak lama kemudiam, sebuah taksi muncul dan Ayra pun segera masuk begitu taksi tersebut berhenti.
Ra, dimana?
Pesan dari Riana muncul. Sambil menahan sakit karena tangannya kanannya masih terasa nyeri, ia pun mengetikkan balasan kepada Riana.
Masih di jalan. Rapatnya tunggu aku, ya. Sampaikan ke Mas Haikal.
Tidak lama kemudian balasan dari Riana muncul.
Siap Almahyra yang cantik
Ayra tersenyum kecil membacanya. Setelah itu ponselnya ia masukkan ke tas selempangnya. Sesekali ia meringgis menahan sakit. Karena tidak hanya tangannya, lututnya pun terasa sakit.
Lima belas menit kemudian, Ayra sampai di kantor. Ia segera masuk lift dan menuju ruangannya. Ruangannya ternyata kosong karena masih jam istirahat. Ia kemudian meletakkan kantong belanjaannya dan tasnya di meja kerjanya.
Setelah itu ia segera melangkah ke kantin dengan langkah sedikit tertatih karena lututnya yang masih terasa nyeri. Perutnya minta diisi. Apalagi setelah jam istirahat, ia masih harus rapat dengan divisi mereka.
Begitu tiba di kantin, matanya langsung menangkap sosok Riana dan Haikal yang sudah lebih dulu duduk di meja dekat jendela. Mereka terlihat mengobrol santai, sesekali tertawa pelan.
"Ayra, sini!" Riana melambai, menyuruhnya bergabung.
Ayra tersenyum kecil dan berjalan mendekat. Begitu ia duduk, Riana langsung menyenggol lengannya pelan dan mengisyaratkan sesuatu dengan dagunya.
"Lihat ke depan," bisiknya penuh arti.
Ayra mengerutkan kening, lalu mengikuti arah pandangan Riana.
Di sudut lain kantin, Arsal duduk di meja bersama dua perempuan. Salah satunya adalah perempuan muda yang cantik dan begitu anggun. Sementara yang satunya lagi adalah anak kecil.
Ayra mengingatnya. Itu adalah Kalya, anak kecil yang ia jumpai di toko buku dan di kafe tempo hari. Namun perempuan yang berada di depan Arsal? Ayra tidak mengenalnya.
Ayra berusaha tetap bersikap biasa. Namun, entah kenapa, pemandangan itu membuat dadanya terasa aneh. Namun ia berusaha menepis perasaan aneh itu.
"Siapa mereka?" tanya Riana pelan, matanya masih terpaku pada meja Arsal.
Haikal yang ikut mengamati akhirnya bersuara, "Anaknya Pak Arsal itu. Iya kan, Ra?"
Ayra menghela napas pelan, "Iya."
Riana menaikkan alis. "Yang satunya? Kayaknya dekat banget sama Pak Arsal."
"Nggak tahu," jawab Ayra sekenanya.
"Kayak keluarga kecil bahagia. Kamu nggak cemburu?" tanya Riana pelan.
"Ntahlah. Bingung juga." Ayra hendak bangkit dari duduknya karena sedari tadi ia belum memesan makanan.
Namun, sebelum Ayra benar-benar akan melangkah, Haikal tiba-tiba berseru panik, "Ayra! Tangan kamu berdarah!"
Setelah Haikal berseru panik, Ayra mengerutkan kening dan melihat sikunya yang berdarah. Luka lecet akibat terjatuh tadi. Ia kira hanya nyeri biasa, ternyata tidak. Darah merembes di lengan bajunya, meski tidak terlalu banyak.
"Astaga, kamu kenapa, Ayra?" Riana buru-buru mendekat, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Ada sedikit insiden tadi sebelum kesini," jawab Ayra santai, mencoba tidak mempermasalahkannya.
Namun, Haikal tidak sependapat. Ia langsung merogoh saku celananya dan mengeluarkan tisu basah. "Biar aku bersihin dulu, jangan sampai kena debu atau kotoran." Haikal segera menahan tangan Ayra.
Menyadari tangan Haikal berada di tangannya, Ayra segera menarik tangannya tersebut. Bagaimana pun Haikal bukanlah mahromnya. "Biar aku bersihin sendiri, Mas. Ini juga kayaknya nggak parah kok." Ayra mengambil alih tisu basah yang berada di tangan Haikal.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan, Arsal memperhatikan. Tatapannya tajam saat melihat bagaimana Haikal menampakkan kekhawatirannya pada Ayra. Lelaki itu bahkan memegang tangab Ayra dengan santainya. Rahangnya menegang, tapi ia tetap berusaha menahan ekspresinya.
Di depannya, Amanda menyadari perubahan sikap Arsal. Ia mengikuti arah pandangan kakak iparnya itu, lalu melihat seorang perempuan yang sedang dibantu oleh dua orang lainnya.
Amanda tidak mengenali perempuan itu, tapi melihat bagaimana Arsal bereaksi, ia bisa menebak kalau gadis itu bukan orang biasa dalam hidup Arsal. Namun ia sama sekali tidak mengingat siapa gadis tersebut.
"Kenapa?" tanya Amanda pelan. "Kok Mas lihat kesana terus?"
Arsal menoleh sekilas, lalu kembali menyesap kopinya tanpa menjawab.
Amanda menatap Arsal dengan bingung. "Mas kenal siapa dia? Staf di sini, ya?"
Arsal meletakkan cangkirnya dan menatap Amanda sekilas. Ia sudah akan menjawab namun tiba-tiba Kalya berseru keras.
"Papa itu Kakak Toko Buku!"
Semua yang ada di kantin menatap pada Kalya. Begitu pula Ayra, Riana dan Haikal. Namun pandangan Ayra segera ia alihkan begitu melihat tatapan dingin Arsal.