Mata elang Layla mengamati pria yang akan menjadi suaminya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tindikan di telinga, tato di lengan, dan aura berbahaya yang terpancar, adalah definisi seorang badboy. Layla mendesah dalam hati. Menikahi pria ini sepertinya akan menjadi misi yang sangat sulit sepanjang karir Layla menjadi agen mata-mata.
Tapi untuk menemukan batu permata yang sangat langka dan telah lama mereka cari, Layla butuh akses untuk memasuki keluarga Bagaskara. Dan satu-satunya cara adalah melalui pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alisha Chanel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Layla menghela napas pelan, matanya tak lepas dari jam dinding yang terus berputar. Setiap detik terasa begitu lambat, seolah sengaja mengulur waktu. Di luar sana sang mentari mulai merunduk, menyisakan semburat jingga di langit Jakarta.
Kedatangan Layla ke kantor Adrian siang itu, bukan hanya sekedar untuk mengantarkan makan siang saja. Rencananya sore ini, Layla dan Adrian akan pergi ke butik untuk melakukan fitting terakhir baju pengantin mereka.
"Tok... tok..."
Lamunan Layla buyar oleh suara ketukan pintu. Senyumnya merekah saat melihat Adrian berdiri di ambang pintu, meski dengan wajah lelah namun tetap tampan.
"Maaf ya, aku telat. Ada sedikit masalah dengan pekerjaanku," ucap Adrian. Adrian masih belum terbiasa dengan pekerjaan kantoran, wajar jika melakukan kesalahan bukan.
"Nggak apa-apa, aku ngerti kok," balas Layla lembut. "Udah siap pergi ke butik?" tanya Layla antusias.
"Siap! Aku udah nggak sabar lihat kamu pakai gaun pengantin, pasti sangat cantik." Adrian mengangguk.
Wajah Layla langsung bersemu merah mendengar pujian itu. Gadis itu menunduk, berusaha menyembunyikan senyumnya yang tak bisa ia tahan.
"Kau bisa saja Adrian." Balasnya pelan, namun hatinya berdesir bahagia.
***
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 20 menit, akhirnya mereka berdua tiba di sebuah butik mewah di pusat kota. Adrian menggenggam erat tangan Layla, seolah tak ingin melepasnya walau sedetik pun. Para pegawai butik menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Selamat datang tuan Adrian, nona Layla. Mari saya antar ke ruang fitting," ujar seorang pegawai.
Mata Layla berbinar melihat gaun-gaun pengantin yang terpajang di patung manekin. Semuanya nampak indah, namun ada satu gaun yang langsung mencuri perhatiannya. Gaun putih dengan detail renda yang rumit, namun tetap terlihat sederhana dan elegan.
"Kamu suka yang itu?" tanya Adrian, seolah bisa membaca isi pikiran Layla.
"Hem..." Layla mengangguk malu.
"Kalau begitu, coba yang itu saja," kata Adrian sambil tersenyum.
"Baiklah, kamu tunggu di sini sebentar ya." Layla membawa gaun tersebut menuju ruang ganti.
Tak lama kemudian, Layla keluar dari ruang ganti tersebut dengan mengenakan gaun pengantin pilihannya, Adrian terpana. Layla terlihat begitu cantik dan anggun.
"Kamu terlihat sempurna Layla," bisik Adrian. Para pengunjung butik ikut terpukau melihat penampilan gadis berambut panjang itu.
"Eh itukan tuan Adrian, putra sulung keluarga Bagaskara. Beruntung sekali wanita cantik itu mendapatkan calon suami seperti tuan Adrian." Beberapa dari mereka berbisik-bisik. Adrian mendengar bisikan itu kemudian merangkul Layla erat.
"Justru aku yang beruntung mendapatkan calon istri seperti Layla," ujarnya dengan tulus. Ucapan Adrian cukup membuat bibir semua orang jadi bungkam. Layla tersenyum kala melihat respon Adrian yang telah membela dirinya.
***
Dua jam berlalu begitu cepat di butik. Layla dan Adrian baru saja menyelesaikan fitting baju pengantin mereka. Semua berjalan lancar, meski Layla merasa sedikit lelah.
"Layla, kita makan malam dulu, yuk? Aku lapar nih," ajak Adrian sambil mengusap perutnya.
"Maaf ya, Adrian. Aku nggak enak badan. Perutku sakit banget, kayaknya efek datang bulan deh." Layla menggeleng pelan.
"Wah, bagus dong kalau kamu lagi datang bulan. Itu artinya, kita bisa langsung bikin bayi setelah kita menikah nanti." Adrian tersenyum lebar mendengar jawaban Layla.
Wajah Layla langsung memerah mendengar candaan Adrian. Ia merasa malu sekaligus geli. Tanpa sadar, tangan gadis itu terangkat, kemudian memukul dada bidang Adrian dengan gemas.
"Ih, Adrian! Ngomongnya!" seru Layla sambil mencubit lengan Adrian.
Adrian tertawa melihat tingkah Layla. Pria itu meraih tangan Layla lalu menggenggamnya erat. "Iya, iya, maaf. Aku cuma bercanda kok. Tapi beneran, aku nggak sabar pengen punya anak dari kamu Layla." wajah Adrian berubah jadi serius.
"Aku juga pengen punya anak dari kamu Adrian. Tapi nanti ya, setelah kita siap." Layla tersenyum lembut.
Di bawah langit senja, mereka berdua berjalan bergandengan tangan menuju mobil. Candaan Adrian tadi membuat suasana menjadi lebih hangat dan romantis.
Layla tahu, hidupnya akan penuh warna dan kebahagiaan jika terus bersama Adrian.
***
Langit sudah berubah menjadi kanvas kelam bertabur bintang saat Adrian mengantarkan Layla pulang. Adrian memarkirkan mobil mewahnya di depan rumah Layla, namun enggan untuk langsung berpamitan.
"Aku mampir dulu ya? Mau mastiin kamu nggak dimarahin lagi kayak kemarin," ujar Adrian khawatir.
Layla tersenyum tipis. Kejadian kemarin memang membuatnya tidak nyaman. Orang tuanya selalu cerewet jika ia pulang terlambat. Tapi dari mana Adrian tahu? Sedangkan Layla tidak pernah mengadu sedikitpun terhadap Adrian.
"Nggak usah Adrian. Takut ngerepotin kamu. Kamu pasti sudah lelah dan ingin cepat istirahat juga kan." jawab Layla, meski dalam hati ia merasa sedikit lega dengan tawaran Adrian.
"Nggak apa-apa. Aku juga mau minta maaf karena kemarin telat nganterin kamu. Jadi kamu kena omel kan?" Adrian menatap Layla dengan tatapan bersalah.
Akhirnya, Layla mengangguk setuju. Mereka berdua masuk ke dalam rumah yang tampak sepi. Mama Mita menyambut mereka di ruang tamu dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Eh, ada nak Adrian. Kok malam banget baru nganterin Layla?" sapa wanita paruh baya itu.
"Maaf, Tante. Ada sedikit urusan di kantor. Saya jadi telat nganterin Layla, tolong jangan marahi Layla seperti kemarin." jawab Adrian sopan.
"Tukang ngadu rupanya anak Papa ini. Sampai Adrian tahu segala tentang kejadian kemarin malam." Papa Indra yang baru keluar dari kamar, menimpali dengan nada menyindir.
"Gak, bukan Layla yang ngadu kok pah." Wajah Layla langsung memerah. Ia merasa malu karena semua orang jadi menganggap dirinya tukang ngadu, padahal aslinya tidak begitu. Adrian menggenggam tangan Layla, mencoba menenangkannya.
"Bukan Layla yang mengadu, om, tante. Adrian cuma asal nebak kok." ujar Adrian bijak.
"Sudah larut malam, om dan tante pasti sudah lelah dan ingin istrirahat. Sebaiknya aku pamit pulang sekarang." ucap Adrian. Setelah memastikan Layla dalam keadaan baik-baik saja, Adrian bermaksud untuk langsung pulang karena sejujurnya Adrian juga merasa lelah.
"Adrian, tunggu sebentar," namun papa Indra mencegahnya.
"Layla, buatkan Adrian minum dulu, Nak. Tidak sopan membiarkan calon suami pulang tanpa dijamu apa-apa." Titah papa Indra.
"Iya, Pah." Layla, yang sudah berada di depan pintu kamarnya, menoleh dengan senyum manis.
"Tidak usah repot-repot om. Aku akan langsung pulang saja." tolak Adrian halus.
Namun, Papa Indra menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa begitu, Adrian. Kamu sudah jauh-jauh mengantar Layla, masa tidak minum apa-apa? Layla, cepat buatkan minum." titah papa Indra.
Layla pun bergegas menuju dapur, meninggalkan Adrian dan Papa Indra di ruang tamu. Adrian hanya bisa pasrah dan duduk kembali di sofa.
"Kamu ini sudah seperti anak sendiri bagi papa, Adrian. Papa senang melihat kamu dan Layla semakin dekat." ucap papa Indra, basa-basinya terasa natural sekali.
Tidak lama kemudian, Layla kembali dengan membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan sepiring kue kering. Ia meletakkan nampan itu di atas meja dan mempersilakan Adrian untuk minum.
"Ini, Adrian. Maaf kalau cuma teh hangat," kata Layla dengan nada lembut.
Adrian mengambil gelas teh itu lalu menyesapnya perlahan. "Terima kasih, Layla. Tehnya enak sekali," puji Adrian tulus.
Sambil menikmati teh hangat dan kue kering, Adrian dan Papa Indra terlibat dalam obrolan ringan.
"Adrian, Papa minta kamu tidak bertemu Layla lagi sampai hari pernikahan kalian!" ucap Papa Indra dengan nada tegas namun penuh kelembutan. Adrian yang sedang menyesap teh hangatnya di ruang keluarga, langsung tersedak.
"Tapi kenapa? Aku ingin memastikan semuanya baik-baik saja." Jawab Adrian dengan nada keberatan. Ia tidak mengerti mengapa ia harus menjauhi Layla, calon istrinya, justru di saat-saat menjelang hari pernikahan mereka.
"Ini demi kebaikan kalian berdua, Nak. Kata orang Jawa, pamali. Tidak baik bertemu calon pengantin sebelum hari H. Bisa membawa kesialan." Papa Indra menjelaskan.
"Papa tahu ini berat untukmu, Adrian. Tapi percayalah, ini hanya sementara. Anggap saja ini sebagai ujian kesabaran sebelum kalian benar-benar bersatu nanti." ucap papa Indra.
"Baiklah, om. Aku akan menurut." Setelah beberapa saat bergelut dengan pikirannya, Adrian akhirnya mengangguk pelan. Tak lama kemudian Adrian pamit pulang dan papa Indra tidak mencegahnya lagi.
"Makasih ya Adrian, udah nganterin aku pulang." bisik Layla saat mengantar Adrian ke depan pintu.
"Sama-sama Layla. Kalau terjadi sesuatu yang mengganggumu langsung katakan saja padaku." balas Adrian sambil mengecup kening Layla.
Malam itu, Layla merasa sedikit lebih tenang. Adrian selalu bisa untuk diandalkan.
Bersambung.