Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pelanggan pertama - Amara
# MERENDAH UNTUK MELANGIT
---
## **BAB 22: PELANGGAN PERTAMA - AMARA**
Hari ketiga operasional BUMI BERSIH LAUNDRY.
Fajar duduk di depan ruko dengan wajah yang jauh lebih tenang dari hari pertama—meski masih ada kekhawatiran di matanya. Hari kedua kemarin mereka dapat dua pelanggan: seorang ibu-ibu warga gang yang laundry lima kilogram, dan seorang mahasiswa cowok yang laundry dua kilogram. Total omzet hari kedua: tiga puluh lima ribu rupiah.
Tidak banyak, tapi setidaknya ada progress.
Jam sepuluh pagi, Fajar sedang mencuci pakaian pelanggan pertama dengan sangat hati-hati—memisahkan berdasarkan warna, menggunakan deterjen dengan takaran yang pas, memastikan mesin cuci berjalan dengan benar—ketika ia mendengar suara yang sangat familiar dari depan.
"Permisi, ada orang?"
Fajar tersentak. Ia kenal suara itu.
Ia keluar dari area pencucian, dan matanya langsung bertemu dengan sosok yang sudah sangat ia kenal—Amara, gadis dari perpustakaan yang sering diskusi bisnis dengannya.
"Amara?" Fajar terkejut. "Kamu... kenapa ke sini?"
Amara tersenyum lembut sambil mengangkat kantong plastik besar berisi pakaian kotor. "Aku mau laundry. Ini laundry kan?"
"I-iya, tapi... maksudku, kamu tahu dari mana tentang tempat ini? Ini kan lokasi terpencil, di gang—"
"Aku lihat banner kalian waktu lewat kemarin," jawab Amara sambil masuk. Matanya melihat-lihat ruangan kecil yang sudah dicat hijau segar, mesin cuci di belakang, area counter sederhana. "Dan aku ingat kamu pernah cerita tentang rencana bisnis laundry kamu. Jadi aku pikir, ini pasti laundry-nya Fajar."
Fajar tidak tahu harus berkata apa. Dadanya terasa hangat—ada perasaan aneh yang ia tidak bisa definisikan.
Pak Ganes yang sedang menjemur pakaian di belakang keluar dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Mbak. Mau laundry berapa kilogram?"
"Aku belum tahu, Pak. Tolong ditimbang," jawab Amara sambil menyerahkan kantong plastiknya.
Pak Ganes menimbang dengan hati-hati. "Tiga kilogram pas, Mbak. Lima belas ribu."
"Oke," Amara mengeluarkan dompetnya, menyerahkan uang dua puluh ribu. "Tidak usah kembalian. Anggap aja tip untuk usaha baru."
"Tidak bisa, Mbak," Fajar langsung menolak dengan tegas tapi sopan. "Kami terima bayaran sesuai harga. Tidak lebih. Itu prinsip kami—jujur dan transparan."
Amara menatap Fajar lama sekali dengan tatapan yang sulit diartikan—ada kagum, ada respek, ada sesuatu yang lain.
"Oke," katanya akhirnya sambil tersenyum. "Kembalian lima ribu ya."
Pak Ganes memberikan kembalian dengan nota kecil yang ditulis tangan dengan rapi.
"Kapan bisa diambil, Pak?" tanya Amara.
"Besok sore jam lima sudah siap, Mbak. Atau kalau Mbak mau, kami bisa antar ke alamat Mbak gratis."
"Wah, ada layanan antar-jemput juga?" Amara terlihat terkesan. "Oke, besok aku ambil sendiri aja. Kebetulan lewat sini juga."
Sebelum pergi, Amara berbalik menatap Fajar dengan senyum yang sangat tulus—senyum yang membuat jantung Fajar berdegup sedikit lebih cepat.
"Aku percaya sama kualitas dan kejujuranmu, Jar," katanya dengan nada serius tapi lembut. "Aku pelanggan pertamamu yang beneran percaya—bukan cuma coba-coba. Dan aku akan rekomendasikan Bumi Bersih ke teman-teman. Kalian pasti bisa sukses."
Fajar merasakan tenggorokannya tercekat. Kata-kata Amara sangat berarti—jauh lebih berarti dari sekadar dukungan biasa. Ini adalah kepercayaan. Kepercayaan yang tulus dari seseorang yang ia hormati.
"Terima kasih, Amara," katanya dengan suara sedikit bergetar. "Terima kasih banyak."
Setelah Amara pergi, Fajar berdiri terdiam di depan ruko dengan senyum tipis di wajahnya—senyum pertama yang tulus dalam berbulan-bulan. Bukan senyum karena senang dapat pelanggan, tapi senyum karena merasa... dihargai.
"Mbaknya baik ya, Nak," komentar Pak Ganes sambil tersenyum penuh arti. "Dan kayaknya... dia spesial buat kamu."
Fajar langsung salah tingkah. "Enggak, Pak. Kami cuma teman. Teman yang sering diskusi di perpustakaan."
"Hmmm..." Pak Ganes hanya tersenyum bijaksana—senyum orang tua yang tahu lebih banyak dari yang ia katakan.
---
Sementara itu, di seberang jalan—tersembunyi di balik tembok rumah warga—sepasang mata menatap tajam penuh kebencian ke arah ruko BUMI BERSIH LAUNDRY.
Damar Wicaksana—musuh bebuyutan Fajar di kampus—berdiri dengan rahang mengeras, tangan mengepal kuat, mata menyipit penuh amarah.
Ia baru saja melihat Amara—gadis yang ia incar sejak lama, gadis yang selalu menolaknya—masuk ke laundry murahan milik Fajar. Ia melihat bagaimana Amara tersenyum pada Fajar dengan senyum yang tidak pernah ia berikan pada Damar.
*Fajar... anak miskin sialan itu...*
Damar menggertakkan giginya keras-keras. Tangannya mengepal semakin kuat hingga kuku-kukunya menancap ke telapak tangan.
*Dia pikir dia bisa sukses? Dia pikir dia bisa deket sama Amara? Lihat saja. Aku akan hancurkan dia. Aku akan buktikan bahwa orang miskin kayak dia tidak pantas ada di dunia kami.*
Dengan tatapan penuh kebencian untuk terakhir kalinya, Damar berbalik dan pergi—meninggalkan rencana jahat yang mulai terbentuk di kepalanya.
---
## **
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.