"Mas! Kamu tega!"
"Berisik! Gak Usah Bantah! Bersyukur Aku Kasih Kamu 10 Ribu sehari!"
"Oh Gitu! Kamu kasih Aku 10 Ribu sehari, tapi Rokok sama Buat Judi Online Bisa 200 Ribu! Gila Kamu Mas!"
"Plak!"
"Mas,"
"Makanya Jadi Istri Bersyukur! Jangan Banyak Nuntut!"
"BRAK!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Setelah Anisa memastikan bahwa rekannya yang berangkat bersama bisa kembali sendiri, kini Anisa dan Bambang, berdua duduk diatas motor, keduanya membisu.
Tak ada kata setelah Bambang sempat menawarkan makan dulu, namun jawaban Anisa singkat, "Kita langsung pulang Mas."
"Sayang, Kamu masih marah sama Mas?"
Sejak pulang, Anisa tak banyak bicara. Dengan santai Anisa menyelesaikan pekerjaan rumahnya, menyediakan Bambang makan dan kopi namun satu yang Anisa tidak lakukan, bicara!
Bukan bermaksud mendiamkan Suami, Anisa hanya butuh Bambang memberikan alasan yang masuk akal.
Bagaimana bisa tukang ojek, ikut mengantar penumpang sambil digandeng begitu dekat oleh penumpangnya.
Anisa hanya butuh kejelasan dan Bambang sejak tadi sibuk membela diri. Tanpa mengerti apa yang anisa inginkan.
"Mas tadi sudah jelaskan sama Kamu, Nita, Anita itu sama Mas gak ada hubungan apa-apa. Ya namanya juga rekan kerja, dan Kamu tahu sendiri dunia malam gimana, ya Mereka mungkin biasa melakukan hal begitu. Tapi Mas gak menanggapi Sayang."
Terserah! Nisa sedang hamil. Tentu saja selain rasa cemburu, hormon kehamilan juga berpegaruh. Siapa yang gak mendidih, melihat ada wanita menggandeng mesra Suaminya, ya marahlah! Sudah bagus Anisa masih bisa menahan emosinya tadi saat di Mall.
Kalau wanita lain, mungkin wanita kegatelan yang nempel kayak cicak sudah diguyur atau dijambak!
"Mas lebih baik cari kerja ditempat yang lain. Ditempat yang baik lingkungannya." Anisa menatap tajam. Emosinya masih memenuhi hati dan pikirannya.
"Kamu pikir cari kerja gampang? Mas saja bisa kerja disana kalo gak dibawa Irma mana bisa. Kamu gak usah berlebihan Nisa! Mas gak macam-macam!"
"Sekarang mungkin iya. Mas tak macam-macam. Nanti, siapa yang bisa jamin. Setiap hari bergaul dengan wanita seperti itu, dunia malam dan Club. Apa Mas bisa tahan?"
Nafas Anisa memburu. Perutnya mulai terasa kencang. Namun Anisa masih menahan. Rasa sakit dihatinya lebih mendominasi.
"Mas, kalau memang Mas mau, bisa. Mas resign saja dari sana. Nanti Nisa bantu cari pekerjaan yang normal dan lingkungannya bener. Gak kayak tempat kerja Mas sekarang. Isinya gak bener."
Nisa merasakan perut bagian bawahnya sakit, namun masih Ia tahan, dan Nisa kembali meluapkan emosinya, "Mas, sudah macam-macam dengan perempuan tadi?"
Bambang semakin naik pitam, tak terima dituduh, "Kamu gak percaya dengan Suami Kamu sendiri?"
"Siapa yang jamin, dibelakang Nisa saja Mas jalan sama L@nte!"
PLAK!
Nisa balik menatap wajah Bambang. Merah padam. Nisa memegang pipi yang bekas ditampar Bambang. "Nisa gak mau, dikasih nafkah dari uang haram!"
"Apa Mas! Mau pukul! Pukul aja! Nisa gak peduli!"
Bambang menahan telapak tangannya, tak jadi menampar Nisa.
Dengan gerak cepat, Bambang meraih kunci motor dan jaketnya, berjalan keluar rumah dan membanting pintu saat menutupnya.
Suara knalpot sember Bambang berlalu dengan gas yang menggeber, Nisa melihatnya dari jendela rumah Mereka. Perih.
"Astagfirullah." Nisa memejamkan matanya, mengusap perutnya yang semakin terasa sakit.
"Nak, maafkan Ibu, Ibu salah. Maafkan Bapak juga ya,"
***
Bambang dengan emosi meledak, bukannya introspeksi diri, malah melajukan motornya menuju Cafe tempatnya bekerja.
"Tumben nih sudah dateng, biasanya anter Istri sampe telat baru sampe!"
Irma rupanya juga berada di Cafe, meski belum buka tapi Bambang bisa melihat Irma seperti baru saja selesai melakoni side jobnya dan Bambang tak peduli.
"Nyari siapa? Anita?"
Bambang memutar kedua bola matanya malas, "Belum dateng?"
"Hahaha. Kenapa? Tadi ditinggalin di Mall! Ya Nitanya udah pergi lah! Si Boss nyuruh antar paket, ya mungkin sekalian kali!" Irma menyalakan sebatang rokok yang terlebih dulu Ia tawarkan kepada Bambang.
"Aku mau resign."
Sebetulnya, perasaan Bambang kian bersalah, setelah selama ini berkhianat dan bohong tentang pekerjaannya kepada Anisa, Bambang juga berpikir, kata-kata Nisa tadi.
"Ga usah dibawa kehati. Namanya Istri wajar sih marah. Mas Bambang juga sih, kurang pinter! Makanya ketangkep basah!" Ledek Irma.
Irma menyodirkan segelas minuman surga yang membawa Bambang dalam dunia yang membuatnya semakin relax seolah lupa akan masalah yang sedang dihadapi.
"Kamu masukin apa ke minumanku Ir?" Setelah beberapa tegukan, Bambang mulai semakin pusing tak biasanya.
"Relax Mas, pokoknya enak!"
Entah, Bambang tiba-tiba tak sadarkan diri.
***
Anisa membuka mata, kepalanya pusing, jangankan untuk bangun, membuka mata saja sudah kunang-kunang.
Namun, Anisa menyadari, dirinya bukan dirumah kontrakannya, dinding serba putih, cahaya terang dengan lampu neon panjang dan tirai menutupi sekeliling membuat Anisa memaksakan diri hingga gerakannya membuat tirai tersibak.
"Nisa, pelan-pelan. Jangan paksa bangun. Kamu tadi pingsan."
Nisa menoleh, disisinya, Mbak Nani, rekan Nisa di Laundry yang tadi pergi bersama Nisa berbelanja kebutuhan Laundry.
"Mbak, Aku kenapa bisa disini?"
"Tadi Mbak mau antar dompet Kamu yang tertinggal, dan Mbak kerumah Kamu, pas Mbak datang, pintu rumah Kamu tidak dikunci dan Mbak buka ternyata Kamu sudah tergeletak dilantai Nis. Mbak minta tolong tetangga Kamu bawa ke klinik."
Nisa sejenak memejamkan matanya, memorinya memutar kejadian saat sebelum Ia tak sadarkan diri, dari mulai cekcok dengan Bambang, ditampar dan hingga Bambang keluar rumah sambil membanting pintu Nisa ingat namun setelahnya Nisa tak ingat lagi.
Nisa membuka matanya, perlahan ingin bangun namun bagian perutnya sakit sekali. "Mbak, Aku gapapa kan?"
Nisa belum sadar, pakaiannya sudah berganti dengan baju lain, dan wajah Mbak Nani seketika sedih, seakan tak kuasa menyampaikan sesuatu yang memang harus Nisa ketahui.
"Nis, Mbak panggil perawat ya. Kamu jangan kemana-mana. Mbak balik lagi kesini ya."
Nisa mengerutkan dahi, pening dikepala, sakit dibagian perutnya semakin membuat Nisa kembali merebahkan tubuhnya meski tanda tanya besar memenuhi dirinya.
***
"Sudah bangun Mas?"
Bambang menguap, melebarkan matanya dan langsung membuat Bambang memeriksa seluruh tubuhnya.
"Irma! Nita!" Bambang terkejut, keduanya ada dalam satu ranjang yang sama dengan Bambang dan ketiganya dalam keadaan memalukan.
"Duh, kaget bener! Padahal tadi garang banget loh! Gak nyangka deh! Pantes aja ya, Si Mbak Bini segitunya tadi cemburu sama Aku, gak mau kehilangan Perkutut Jumbo!"
"Kalian jebak Aku! Kalian Benar-Benar!" Bambang memukul kedua sisi ranjang besar.
"Sut! Gak usah ngamuk, marah-marah! Habis enak-enak kok malah begini! Udah gak usah dipikirin!"
"Kalian enteng bilang begitu! Gimana kalo Nisa tahu!" Bambang buru-buru meraih pakaiannya yang tercecer sana sini, dan segera menutup aset Jumbonya yang menjadi bahan mainan Irma dan Anita.
"Ya kalo memang Mas Bambang masih mau resign, Aku bisa kirim loh video Kita bertiga ke Mbak Nisa, gimana?"
Irma dengan sekali klik, langsung mengarahkan dagunya agar Bambang memeriksa ponselnya.
Bambang dengan patuh, segera meraba ponsel yang ada disaku celananya dan memutar video berdurasi 1 menit.
"Kalian?"
"Sudah, Mas pokoknya disini aja, ngapain resign. Soal Istri gampang lah! Kalo emang gak mau nurut, ya lepasin aja!"
dan tak berdaya dia SDH di monitor oleh si bos
Nisa jg trllu bodoh jd istri