Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 — Ketakutan yang Tumbuh
Setelah ledakan emosi di Bab 14, penthouse Arganata diselimuti keheningan yang lebih berbahaya daripada badai. Aira menghabiskan waktu di kamarnya, yang kini terasa seperti bunker perlindungan. Ia menghindari Dion dengan segala cara, hanya keluar untuk mengurus Arvan. Ia tahu, Dion kini sedang menyusun strategi baru, dan itu akan jauh lebih brutal daripada hukuman fisik.
Arvan, yang biasanya menjadi sumber kebahangatan Aira, justru menjadi sumber kekhawatiran terbesar. Anak itu mulai menunjukkan gejala-gejala aneh.
Awalnya, hanya batuk kecil. Kemudian, nafsu makannya berkurang drastis. Arvan yang ceria dan penuh energi kini terlihat lesu, lebih sering meringkuk di tempat tidur mewah yang baru diberikan Dion. Ia merindukan kehangatan desa, udara segar, dan Ibunya.
Suatu pagi, Aira mencoba membujuk Arvan untuk sarapan.
“Arvan, Sayang, makan ya. Nanti Mama bacakan buku jet tempur baru,” bujuk Aira, menyuapi sesendok bubur.
Arvan menggeleng lemah. “Nggak mau, Ma. Perut Arvan sakit. Arvan mau pulang ke Nenek. Arvan nggak suka di sini.”
Aira merasakan jantungnya tercubit. “Kenapa, Sayang? Kamarnya besar, mainannya banyak.”
“Nggak ada udara bagus, Ma. Di sini dingin sekali,” keluh Arvan, suaranya parau. “Arvan mau ketemu Nenek. Mau diurut Nenek.”
Aira menyentuh dahi Arvan. Hangat. Bukan demam yang tinggi, tetapi cukup untuk membuat Aira panik. Ia segera memanggil dokter pribadi keluarga Arganata.
Dokter datang dan memeriksa Arvan. Diagnosisnya sederhana: Arvan mengalami tekanan pernapasan ringan akibat perubahan lingkungan yang drastis—dari udara desa yang alami ke lingkungan ber-AC penthouse yang steril, ditambah stres karena jauh dari neneknya. Dokter menyarankan istirahat total, obat ringan, dan yang paling penting, kembali ke lingkungan yang dikenal anak itu jika gejalanya memburuk.
Nasihat terakhir dokter itu seperti petir yang menyambar Aira.
Arvan perlu pulang ke kampung. Arvan butuh Neneknya.
Ketakutan Aira tumbuh. Jika Arvan sakit parah di penthouse ini, dan kondisinya memburuk, Dion pasti akan menyalahkannya. Setelah Dion tahu Arvan adalah putranya, ia akan menggunakan kondisi Arvan sebagai alasan untuk mengambil hak asuh penuh. Aira tidak bisa membiarkan itu terjadi.
Aira memutuskan untuk mengambil risiko terbesar: ia harus memohon izin Dion agar Arvan bisa kembali ke desa.
Aira menunggu Dion di ruang kerjanya. Setelah insiden semalam, ini adalah pertemuan pertama mereka, dan udaranya terasa seperti es.
Dion duduk di kursinya, tatapannya tajam dan menghakimi.
“Ada apa, Aira?” tanya Dion. “Aku sibuk. Jangan buang waktuku.”
Aira menelan ludah. Ia mencoba berbicara dengan tenang.
“Tuan Arganata, saya datang untuk memohon. Arvan sakit. Ia mengalami tekanan pernapasan ringan karena lingkungan yang terlalu steril dan dingin. Dokter menyarankan agar ia kembali ke lingkungan yang dikenalnya, di desa, setidaknya untuk beberapa hari.”
Dion menatap Aira lama, seringai kejam muncul di wajahnya.
“Sakit? Atau kau mencari alasan untuk melarikan anakku dari hadapanku?”
Aira terkejut oleh penggunaan kata ‘anakku.’
“Saya tidak melarikan siapa pun,” tegas Aira. “Saya hanya ingin Arvan pulih. Dia hanya anak empat tahun, Tuan Arganata. Dia tidak tahan dengan udara di sini. Dia merindukan Neneknya.”
Dion bangkit. Ia berjalan mengitari meja. “Kau tahu,” katanya, suaranya merendah. “Aku bisa memanggil dokter terbaik di dunia. Aku bisa menerbangkan ahli paru-paru dari mana pun. Anak Arganata tidak perlu kembali ke desa kotor untuk sembuh. Dia hanya perlu Ibunya yang fokus mengurusnya.”
“Saya fokus!” balas Aira. “Tapi obat terbaik untuknya adalah Neneknya, adalah rumahnya. Dia stres di sini!”
Dion berhenti tepat di depan Aira. “Kau ingin dia pulang? Kau ingin memutus ikatan yang baru terbentuk antara Ayah dan anak, setelah kau menyembunyikannya selama empat tahun?”
Dion meraih dagu Aira, memaksanya menatap. “Kau pikir ini mudah, Aira? Kau membawa dia ke sini sebagai sandera. Kau akan membawanya kembali sebagai sandera yang sakit. Tidak semudah itu.”
Aira memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir. “Tolong, Tuan Arganata. Jika Anda memang peduli, biarkan dia sembuh dulu. Setelah dia pulih, saya akan membawanya kembali. Saya janji. Saya akan menjadi Nyonya Arganata yang sempurna, saya akan menjalankan semua kontrak Anda, semua hukuman Anda. Tapi biarkan dia pergi sebentar.”
Dion menatap keputusasaan di mata Aira. Ia melihat ketakutan yang tulus dari seorang Ibu, bukan trik. Instingnya sebagai seorang Ayah yang baru ditemukan mulai berjuang melawan amarahnya. Jika Arvan benar-benar sakit…
Dion melepaskan Aira, melangkah mundur. Ia berjalan ke jendelanya, merenung.
“Baik,” kata Dion, akhirnya, suaranya dipenuhi keputusan yang mengerikan. “Aku akan mengizinkanmu.”
Aira merasakan gelombang kelegaan membanjirinya. “Terima kasih, Tuan Arganata. Terima kasih banyak!”
“Jangan berterima kasih dulu,” potong Dion, berbalik. Mata gelapnya menatap Aira, penuh perhitungan kejam.
“Kau tidak akan pergi sendiri.”
Aira terkejut. “Apa?”
“Jika Arvan adalah putraku, aku berhak atas kesehatannya,” jelas Dion. “Aku berhak tahu persis di mana dia tinggal, dan aku berhak melihat lingkungan yang kau sebut ‘udara bagus.’ Aku akan ikut.”
Aira merasakan panik total. Ini adalah skenario terburuk.
“Tidak! Anda tidak bisa!” Aira hampir berteriak. “Desa itu… itu jauh, jalannya buruk. Tempatnya tidak layak untuk Anda. Ibu saya akan curiga. Tetangga akan bertanya. Anda tidak bisa!”
“Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau,” balas Dion, nada mutlak. “Dan sekarang, aku ingin melihat tempat di mana pewarisku dibesarkan dalam kemiskinan dan kebohongan. Aku ingin melihat sejauh mana kau pergi untuk menyembunyikan kebenaran dariku.”
Dion melangkah mendekat, matanya berkilat penuh ancaman. “Kau akan mengizinkanku, Aira. Atau aku akan memanggil tim medisku, mengambil Arvan, dan melarangmu melihatnya sampai dia berusia delapan belas tahun. Pilih.”
Aira ambruk. Ia tahu ia tidak punya pilihan. Jika Dion mengambil Arvan, ia akan mati.
“Baik,” Aira berbisik, kalah. “Tapi tolong, jangan… jangan katakan apa-apa. Jangan bertemu Ibu saya.”
Dion menyeringai, kemenangan itu terlihat menyakitkan di wajahnya. “Aku tidak janji, Aira. Sekarang, siapkan barang-barang anak itu. Kita berangkat besok pagi.”
Aira berjalan keluar dari ruang kerja, tubuhnya terasa mati rasa. Ia berhasil membawa Arvan pulang, tetapi ia harus membawa iblis yang menciptakan Arvan bersamanya.
Malam itu, Aira tidak pergi ke kamar Dion. Dion tidak memanggilnya. Keheningan itu sendiri adalah hukuman. Dion membiarkan Aira tenggelam dalam ketakutan akan perjalanan yang akan datang, sebuah perjalanan ke masa lalu yang akan mengungkap segalanya.
Aira memeluk Arvan erat-erat di kamarnya.
“Mama akan lindungi kamu, Sayang,” bisik Aira di telinga putranya. “Mama tidak akan membiarkan dia menyentuhmu.”
Tetapi, Aira tahu, Dion sudah menyentuh Arvan, dan sentuhan itu adalah ikatan darah yang tidak akan pernah bisa ia lepaskan.
semoga cepet up lagi