Sejak usia tujuh tahun, Putri Isolde Anastasia diasingkan ke hutan oleh ayahandanya sendiri atas hasutan selir istana. Bertahun-tahun lamanya, ia tumbuh jauh dari istana, belajar berburu, bertahan hidup, dan menajamkan insting bersama pelayan setia ibundanya, Lucia. Bagi Kerajaan Sylvaria ia hanyalah bayangan yang terlupakan. Bagi hutan, ia adalah pewaris yang ditempa alam.
Namun ketika kerajaan berada di ujung kehancuran, namanya kembali dipanggil. Bukan untuk dipulihkan sebagai putri, melainkan untuk dijadikan tumbal dalam pernikahan politik dengan seorang Kaisar tiran yang terkenal kejam dan haus darah. Putri selir, Seravine menolak sehingga Putri Anastasia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Di balik tatapannya yang dingin, ia menyimpan dendam pada ayahanda, tekad untuk menguak kematian ibunda, dan janji untuk menghancurkan mereka yang pernah membuangnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hukuman Mati
Balairung istana berubah menjadi lautan suara. Sorakan rakyat menggema bagaikan gemuruh badai, mengguncang sendi-sendi pilar istana menuntut keadilan bagi Ratu Lysandra dan Putri Anastasia.
Raja Roland berdiri dengan pedang terhunus, namun genggamannya mulai goyah. Sorot matanya berkelana menyapu rakyat yang bersatu membela Anastasia. Penasihat kerajaan yang menunduk bungkam dan para prajurit istana yang tak sanggup mengangkat senjata melawan putri sah kerajaan.
“Diam!” suaranya menggema, namun tak lagi didengarkan. Rakyat tetap berseru, “Keadilan untuk Ratu Lysandra! Hidup Putri Anastasia!”
Wajah sang raja mengeras, hatinya berkecamuk ketakutan. Satu keputusan keliru saja dapat menjatuhkan tahtanya malam itu juga.
Anastasia tersungkur masih tersedu, air mata masih berjejak di pipinya. Semua orang dapat melihat bertapa dirinya sangat tersakiti. Bahkan sebagian rakyat ikut menangis menyaksikan penderitaan sang putri.
Akhirnya, Raja Roland menurunkan pedangnya dengan berat hati. Bahunya jatuh seiring dengan sorot matanya yang padam. “Baiklah… demi keadilan dan ketertiban negeri ini… Saya Raja Roland memutuskan Lady Morgana akan dijatuhi hukuman mati.”
Balairung sontak bergemuruh, rakyat sontak bersorak kegirangan dan para bangsawan saling berbisik dengan wajah lega.
Lady Morgana terjatuh berlutut, wajahnya pucat pasi, sementara Putri Seravine meraung histeris. “Ayahanda! Tidak! Tidak!” ratapnya, mencoba meraih simpati dengan airmata namun suaranya tenggelam oleh sorakan rakyat.
Anastasia menunduk dalam-dalam, namun matanya berkilau penuh kemenangan. Kau pantas mati, bisiknya diam-diam tersenyum menyeringai ke arah Lady Morgana tepat saat wanita itu menoleh padanya.
“Dia bersandiwara! Dia bersandiwara!” Lady Morgana berteriak ke tengah bailarung seperti orang gila. Namun tiada seorang pun percaya kata-kata yang keluar dari mulutnya. Sebab fakta yang mereka lihat di depan mata adalah Putri Anastasia sedang menangis penuh kesedihan.
Prajurit istana menyeret Lady Morgana dari kerumunan.
“Lepaskan aku, lepas… Yang Mulia tolong lepaskan hamba, hamba tidak bersalah.”
Bahkan Raja Roland tidak dapat menghalanginya.
Di penjara bawah tanah Lady Morgana meringkuk di balik jeruji besi, gaun sutra ungunya kini lusuh dan ternoda tanah lembap. Rambutnya kusut, wajahnya yang dulu selalu dihiasi riasan kini pucat, matanya liar mencari jalan keluar.
“Aku tidak bisa mati di tempat busuk ini…” bisiknya sambil menggenggam jeruji dengan tangan gemetar. Kuku-kukunya mencakar besi, menimbulkan bunyi berdecit yang menusuk telinga.
Seravine berada di luar jeruji, menangis tersedu-sedu sambil memegang tangan sang ibu. “Ayahanda tak mungkin tega! Kakak Anastasia pasti menghasutnya! Ibu, kita harus melawan!”
Morgana menoleh tajam, kepalanya pusing mendengar tangisan putrinya. “Diam, Seravine! Jika kau menangis seperti seperti ini, kita benar-benar akan mati. Dengar aku… kita masih punya satu jalan. Kita harus mencari sekutu di antara bangsawan yang membenci Anastasia. Ada banyak yang iri padanya!”
Namun langkah para penjaga terdengar semakin dekat. Seravine menggenggam tangan ibunya lebih erat. “Tapi… siapa yang berani melawan rakyat sekarang? Semua orang berpihak pada Kakak….”
Morgana memukul batu dingin dengan kepalan tangannya hingga berdarah. “Tidak! Aku tidak akan mati seperti ini! Aku adalah istri seorang raja!” suaranya mulai bergetar, campuran antara kemarahan dan ketakutan.
Sementara itu di permukaan, persiapan eksekusia hukuman mati Lady Morgana sudah dilakukan. Seravine semakin ketakutan, bagaimana ia bisa mendapatkan kedudukannya tanpa dukungan sang ibu. Ia berlutut di depan Putri Anastasia, nada suaranya serak meminta belas kasihan. “Kakak Anastasia! Jika kau punya hati, tolong bebaskanlah ibuku! Jangan bunuh dia, Kakak!”
Putri Anastasia tersenyum licik, “Jangan buang waktumu, Adik. Bangkitlah dan saksikan kematian Ibumu seperti aku dulu menyaksikan kematian ibuku yang mati perlahan-lahan.” Ia menatap lurus ke depan. “Atau kau ingin mendapatkan hukuman yang sama seperti ibumu?”
Putri Seravine langsung bangkit berdiri. Tidak, aku tidak akan mati hanya karena membela ibunda.
Putri Anastasia berdecih di dalam hati. Iblis melahirkan seorang iblis. Ia bahkan secepat itu menyerah untuk keselamatan ibundanya hanya karena ancaman.
Morgana menangis getir melihat Seravine menyerah untuk menolongnya. Ia bahkan tidak menoleh padanya lagi setelah diancam oleh Putri Anastasia. Ia mengepalkan tangannya erat, tidak ada celah untuk kabur. Prajurit istana selalu berjaga di sekelilingnya.
Lonceng istana Kerajaan Sylvaria berdentang satu kali. Suara itu menandai hari ini adalah hari eksekusi. Rakyat dari pelosok negeri sudah berkumpul di alun-alun, membawa obor, bendera kerajaan dan meneriakkan nama Anastasia.
“Hidup Putri Anastasia! Hancurkan pengkhianat!”
Tanah alun-alun bergetar karena gema suara massa yang berkumpul di sana.
Anastasia berdiri di balkon atas istana mengenakan gaun hitam kebesaran ibundanya. Matanya menatap lurus ke kerumunan, wajahnya dingin namun penuh wibawa. Momen ini sudah ia tunggu selama sepuluh tahun lamanya.
Dua prajurit menyeretnya Lady Morgana keluar.
“Lepaskan aku! Aku istri Raja Roland! Kalian semua akan menyesal telah memperlakukan aku seperti ini!”
Saat melewati lorong sempit Lady Morgana menundukkan kepala, matanya berkilat penuh tipu daya. Dari balik lengan bajunya, ia menyembunyikan sebuah pecahan logam tajam hasil dari usahanya semalam mengikis rantai. Dengan cekatan ia menyayat tali belenggu, mencoba melonggarkan ikatannya.
“Sebentar lagi, aku akan melarikan diri dari sini dan membalas kalian semua.” gumamnya dengan napas memburu.
Namun seorang prajurit menangkap gerakannya. “Hei! Apa yang kau lakukan, penyihir tua!” Ia merebut pecahan logam itu dengan kasar. Morgana menjerit marah, tapi jeritannya diabaikan.
Ketika gerbang alun-alun terbuka, Lady Morgana dipaksa naik ke panggung kayu eksekusi. Sorakan rakyat semakin keras, bagaikan badai yang tak terhentikan.
Anastasia melangkah turun didampingi Lucia. Gaun hitamnya berkibar, tatapan matanya menatap kepuasan pada Lady Morgana yang kini terikat di tiang eksekusi.
Morgana masih mencoba berbicara, suaranya nyaring bercampur putus asa.
“Akulah permaisuri sejati kerajaan ini! Kalian semua akan binasa jika mempercayai gadis sampah itu!”
Penghinaan Morgana justru membuat rakyat semakin marah. Mereka melemparkan lumpur, batu dan sayuran busuk ke arahnya.
Sorak-sorai semakin keras. “Pengkhianat harus mati! Demi keadilan dan demi Ratu yang telah gugur!”
Anastasia berdiri di tengah panggung, tenang namun auranya mengerikan. Ia mengangkat pedangnya dan mengangkatnya tinggi di hadapan rakyat. Sementara Raja Roland berdiri di sisi panggung, wajahnya gelap oleh amarah bercampur ketakutan. Ia menyesal membawa Anastasia kembali dari Moonveil. Ini semua gara-gara Seravine yang merengek menolak saat tahu akan dijodohkan dengan kaisar Lexus.
Suasana di alun-alun menegang. Rakyat yang tadinya bersorak kini menahan napas.
Dentang lonceng istana kembali menggema tiga kali, menandai eksekusi akan dimulai.
“Nyawa dibalas dengan nyawa. Hidup Kerajaan Sylvaria”
Dengan satu tebasan tegas, pedang pusaka turun. Suara baja yang melintas udara diikuti keheningan mencekam. Sekejap kemudian tubuh Lady Morgana terkulai, kepalanya terpisah dari tubuh.
Sorak rakyat meledak bagai guntur, mengguncang seisi alun-alun.
“Hidup Putri Anastasia! Hidup keadilan! Hidup Sylvaria!”
Seravine menjerit histeris, dipeluk oleh para dayang yang membawanya pergi dalam keadaan pingsan. Raja Roland menunduk dalam dengan wajah pucat pasi. Setetes air mata mengalir dari sudut matanya untuk Lady Morgana, wanita yang ia cintai.
Sejarah Sylvaria berubah pada hari itu. Darah pengkhianat tertumpah dan bintang baru mulai bersinar. Seorang putri yang kini lebih dicintai rakyat daripada rajanya sendiri.
kaisar tiran bakalan tunduk/luluh gak sama putri Anastasia??? 🙂🙂🙂
meskipun udah sah tp itu keterlaluan