Aisyah yang mendampingi Ammar dari nol dan membantu ekonominya, malah wanita lain yang dia nikahi.
Aisyah yang enam tahun membantu Ammar sampai berpangkat dicampakkan saat calon mertuanya menginginkan menantu yang bergelar. Kecewa, karena Ammar tak membelanya justru menerima perjodohan itu, Aisyah memutuskan pergi ke kota lain.
Aisyah akhirnya diterima bekerja pada suatu perusahaan. Sebulan bekerja, dia baru tahu ternyata hamil anaknya Ammar.
CEO tempatnya bekerja menjadi simpatik dan penuh perhatian karena kasihan melihat dia hamil tanpa ada keluarga. Mereka menjadi dekat.
Saat usia sang anak berusia dua tahun, tanpa sengaja Aisyah kembali bertemu dengan Ammar. Pria itu terkejut melihat wajah anaknya Aisyah yang begitu mirip dengannya.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Ammar akan mencari tahu siapa ayah dari anak Aisyah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Tuhan, Bantu Aku Untuk Melupakannya
Di tempat kerjanya, Aisyah merasakan dadanya berdebar. Pikirannya jadi tertuju pada mantan kekasihnya itu.
Aisyah membuka laptop, mencoba melupakan semua dengan bekerja. Kemarin Alby, sebagai pemilik perusahaan menetapkan dia sebagai asisten pribadinya.
Saat Aisyah sedang mencoba larut dalam pekerjaan, gawainya berdering. Dia melihat nama salah seorang sahabatnya. Gadis itu mengangkatnya.
"Ada apa, Ve?" tanya Aisyah.
"Aku harap kamu jangan sedih ya, kalau aku mengatakan ini," jawab Vera di seberang sana.
"Ada apa sih, Ve? Jangan buat aku jadi penasaran," ucap Aisyah.
"Ammar hari ini menikah dengan seorang wanita, Dokter Mia," jawab Vera dengan suara sedikit pelan, tapi masih dapat di dengar oleh Aisyah.
Walau mereka telah putus dan Aisyah juga telah pergi jauh, tapi kabar itu tetap mengejutkan baginya. Dalam waktu kurang dari satu bulan, pria itu telah menikah dengan wanita lain.
Mereka selama ini telah berpacaran lebih dari lima tahun. Itu bukan waktu yang singkat untuk dapat melupakan seseorang. Apa lagi sejak kedua orang tuanya meninggal, Ammar lah pusat dunianya. Dia tak lagi bergaul dengan yang lain kecuali jika ada acara Sekolah.
"Ammar menikah ...?" tanya Aisyah dengan suara terbata. Air mata tak dapat dia bendung lagi. Jatuh membasahi pipinya.
Tanpa Aisyah sadar, Alby telah berada kembali di ruangan itu. Bukannya bermaksud menguping, tapi tadi dia masuk karena ada yang harus dan segera dikerjakan.
"Sabar ya, Aisyah. Mungkin dia bukan jodohmu. Aku doakan kamu dapat jodoh yang lebih baik dari pria itu," ujar Vera di seberang sana.
"Vera, aku sudah mengikhlaskan Ammar. Pria seperti dia tak pantas diperjuangkan. Cuma apa salah jika aku belum sepenuhnya bisa melupakannya?" tanya Aisyah.
"Aisyah, melupakan seseorang itu tak akan bisa. Karena kita memiliki akal pikiran dan itu untuk mengingat. Cara kita melupakannya adalah dengan jauh darinya dan biasakan tanpa dirinya. Itu sudah kamu lakukan, aku yakin sebentar lagi kamu akan terbiasa dan perlahan rasa itu akan hilang. Tutup lembaran lama, dan buka lembaran baru. Cobalah menerima kehadiran orang baru," ucap Vera.
"Aku akan menutup semua kenangannya, tapi untuk menerima kehadiran orang baru, mungkin itu tak mudah. Butuh waktu," balas Aisyah.
"Kamu tau, Aisyah. Fakta psikolog, jika kamu sangat sulit melupakan seseorang dari pikiranmu bahkan kamu harus berperang dengan perasaan mu sendiri, itu artinya orang itu sangat mencintaimu," ungkap Vera.
"Ve, aku tak percaya itu. Jika dia memang sangat mencintaiku, dia tak akan mengkhianati'ku dan meninggalkan aku," ucap Aisyah.
Aisyah yang menghidupkan pengeras suara di gawainya tak menyadari jika semua obrolannya di dengar jelas oleh Alby. Atasannya itu telah duduk di kursinya, tapi Aisyah masih belum mengetahuinya.
"Ve, sudah dulu, aku mau lanjutkan kerja dulu. Terima kasih, Ve," kata Aisyah selanjutnya.
"Kamu jangan banyak pikiran. Jaga kesehatan. Aku doakan kamu dapat pria yang jauh melebihi Ammar. Yang kuat ya," pesan Vera sebelum sambungan telepon diputuskan.
Aisyah menghapus air mata yang jatuh membasahi pipinya. Tak mau Alby melihat, padahal pria itu telah mengetahui semuanya.
Tuhan, sedalam apapun perasaanku sekarang, aku tak akan pernah memintanya kembali. Tapi, tolong ... permudahkan'lah jalanku melupakannya. Dia sudah merayakan kebahagiaan bersama istri pilihannya, sementara aku di sini mati-matian untuk melupakannya. Tidak adil rasanya Tuhan, jika dia masih terus selalu ada di hatiku, sedangkan raga dan hatinya sudah milik istrinya. Aku ingin sembuh, walau setiap hari lukaku ini terus tumbuh. Maka dari itu Tuhan, tolong permudahkan'lah untuk aku melupakannya.
"Hhhmmm ...." Deheman Alby membuat Aisyah tersadar dari lamunannya. Dia lalu menghapus air matanya.
"Bapak ...! Sejak kapan Bapak masuk?" tanya Aisyah.
"Sejak zaman purba. Apa kamu tak melihat kalau aku dah berlumut di sini? Kamu tak acuhkan kehadiranku!" seru Alby.
"Maaf, Pak. Aku tak mendengar Bapak masuk."
"Bagaimana bisa kamu dengar, kamu aja asyik menelepon!"
"Maaf, Pak."
"Kamu ini kebanyakan maaf. Sudah selesai nangisnya. Temani aku makan siang," ujar Alby.
"Sekarang, Pak?" tanya Aisyah.
"Nggak ... bulan depan!" seru Alby dengan wajah sedikit kesal.
"Oh, bulan depan. Aku pikir hari ini. Kenapa ngomongnya sekarang, Pak?" tanya Aisyah.
"Tentu saja sekarang, Aisyah. Minggu depan belum tentu aku makan siang di kota ini!" jawab Alby dengan penuh penekanan karena kesal. Dia mengusap wajahnya kasar. Heran melihat Aisyah yang begitu lugu sehingga semua ucapan orang di anggap benar.
Aisyah mengerutkan dahinya, tak paham dengan atasannya itu. Kadang bilang hari ini kadang bulan depan. Dia yang ngomong begitu, dia yang marah.
"Kenapa Bapak keliatan kesal. Salahku dimana? Bapak sendiri yang bilang bulan depan," cicit Aisyah.
Alby menghela napas, merasa bahwa Aisyah tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Tak percaya masih ada gadis seperti itu. "Aku kesal karena kamu tidak mengerti apa yang aku katakan. Aku bilang temani aku makan siang, bukan bulan depan, tapi sekarang. Sekarang ini, Aisyah!" ujar Alby dengan suara yang penuh penekanan.
Aisyah mengangkat bahu, merasa bahwa dia tidak salah. "Tapi'kan, Bapak sendiri yang bilang bulan depan. Aku hanya mengulangi apa yang Bapak katakan," balas Aisyah dengan suara yang polos.
Alby menggelengkan kepala, hampir tak percaya jika Aisyah memang tidak mengerti dengan kata-katanya tadi. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan kamu, Aisyah. Kamu terlalu polos dan jujur dalam memahami kata-kata," kata Alby dengan suara yang sedikit frustrasi.
"Maaf, Pak," ucap Aisyah lagi.
"Sudahlah, sehari tak terhitung kamu minta maaf."
Alby lalu berdiri dari duduknya. Aisyah mengikuti dari belakang. Luna yang melihat mereka berdua keluar, memasang wajah cemberut. Dia melihat kalau atasannya itu sangat perhatian dengan gadis itu.
Aisyah yang tak tahu jika Luna sedang kesal dengannya karena di angkat jadi asisten pribadi, tetap memberikan senyuman. Namun, Luna tak membalas, bahkan dia membuang mukanya.
"Enak benar jadi Aisyah. Baru kerja sudah langsung jadi asisten pribadi. Sebenarnya ada hubungan apa antara keduanya?" tanya Luna dalam hatinya.
Sampai di halaman perusahaan, Alby membuka kunci mobil dan membukakan pintu depan. Mengertilah gadis itu jika dia diminta duduk di samping atasannya itu.
Setelah Aisyah masuk, Alby juga masuk dan langsung melajukan mobilnya. Beberapa saat keduanya terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing.
"Masih saja kepikiran kekasihmu itu?" tanya Alby.
Pertanyaan Alby membuat Aisyah tersadar dari lamunannya. Dia memandangi atasannya yang sedang mengemudi.
"Apa tadi Bapak menguping?" tanya Aisyah.
Alby tersenyum, tak tahu harus menjawab apa. Dia tak mungkin menyangkal ucapan Aisyah.
seperti cintanya alby yg nyantol di hati wanita yg sudah hamil anak orang lain.../Smile//Smile/
next...
alby rela melakukan ini...
ngelamar nih ceritanya si alby?