Wang Cheng, raja mafia dunia bawah, mati dikhianati rekannya sendiri. Namun jiwanya bereinkarnasi ke dalam tubuh seorang tuan muda brengsek yang dibenci semua orang.
Tapi di balik reputasi buruk itu, Wang Cheng menemukan kenyataan mengejutkan—pemilik tubuh sebelumnya sebenarnya adalah pria baik hati yang dipaksa menjadi kejam oleh Sistem Dewa Jahat, sebuah sistem misterius yang hanya berkembang lewat kebencian.
Kini, Wang Cheng mengambil alih sistem itu bukan dengan belas kasihan, tapi dengan pengalaman, strategi, dan kekejaman seorang raja mafia. Jika dunia membencinya, maka dia akan menjadi dewa yang layak untuk dibenci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 Lishan
Lishan mengangguk paham, tanpa disuruh ia tahu apa yang harus dilakukan.
Lishan mengambil handuk kecil dan menghampiri Wang Cheng, dengan gerakan lembut seolah membersihkan berlian, Lishan mulai mengeringkan tubuh indah tuannya.
Wang Cheng tetap diam, namun matanya mengamati setiap gerakan yang dilakukan oleh pelayan wanita itu. Lishan mengusap tubuh Wang Cheng dari satu bagian ke bagian lain. Sesekali menelan ludah sambil menunduk, entah gugup... Atau mungkin tergoda.
Wang Cheng tersenyum tipis sebelum ia menggenggam pergelangan tangan gadis itu, membuatnya sontak tersentak.
"Tuan?"
Lishan mengangkat pandangannya sejenak—dan terpaku.
Tubuh yang basah itu memantulkan cahaya lentera, menciptakan efek berkilau samar di kulitnya. Ada sesuatu yang menggetarkan dalam cara Wang Cheng menatapnya: tenang, mendominasi, tapi tidak memaksa.
Dan ketika tatapan mereka bersentuhan, waktu seolah melambat.
“Lishan...” ucap Wang Cheng dengan lembut, tidak seperti biasanya. “Apa kau membenciku?”
Lishan tertegun. Napasnya tertahan sejenak. Ia tidak tahu apakah harus jujur untuk menanggapi pertanyaan Tuannya itu. Apakah dia akan dibunuh jika berkata jujur? Tidak ada yang tahu. Namun, tatapan lembut tuannya seolah mengartikan untuk jujur.
“Saya... tidak tahu,” jawabnya pelan. “Kadang iya... kadang tidak. Tapi yang pasti, saya tidak bisa mengabaikan Tuan Muda.”
"Meskipun aku seringkali menyakitimu?" tanya Wang Cheng sekali lagi dengan jarak wajahnya yang lebih mendekat.
Lishan mengangguk, walau tampak gugup. "Sejak awal bertemu, saya sudah bertekad untuk melayani Anda dengan sepenuh hati saya. Saya yakin, suatu hari nanti, anda akan kembali seperti dulu."
Angin berhembus pelan melalui jendela yang setengah terbuka, membuat rambut indah Lishan tergerai bebas.
Cantik, mempesona, dan lembut, hanya itu yang tergambar dalam wajah Lishan saat ini. Tidak ada ketakutan ataupun kebencian.
Wang Cheng baru mengingat sesuatu, tepatnya dalam ingatan si pemilik tubuh. Lishan adalah gadis yang dia selamatkan dari desa yang hancur akibat serangan monster. Hanya dia yang tersisa dari banyaknya penduduk yang tewas.
Saat itu kebaikan masih ada di dalam hatinya, dan Teknik Kultivasi Demon belum merusak pikirannya. Mouth mengejeknya karena sempat-sempatnya menyelamatkan seseorang, namun pemilik tubuh hanya mengabaikannya dan mengatakan jika itu adalah pilihannya.
Dari mata Lishan, ia melihat sosok pahlawan darinya. Namun, itu sebelum efek samping dari Teknik Kultivasi Demon merusak pikirannya dan menenggelamkannya ke dalam kegelapan. Saat itu sifat tuannya mulai berubah menjadi lebih dingin dan kejam.
Namun, Lishan tidak pernah membencinya.
'Dia adalah gadis baik, sekeras apapun pemilik tubuh membuatnya membencinya, namun gadis ini tidak pernah melakukan itu...' batin Wang Cheng.
"Tuan?" panggil Lishan sekali lagi.
Wang Cheng tersadar dari lamunannya, saat itu juga ia langsung menarik Lishan ke dalam pelukannya. Ia menahan pinggang ramping gadis itu agar menyatu seutuhnya bersamanya.
Wang Cheng menatap Lishan yang masih berada dalam pelukannya. Gadis itu tak mampu menyembunyikan rona merah yang merayap dari leher hingga pipinya. Dadanya naik turun dengan cepat, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi.
Keduanya berdiri diam sejenak dalam keheningan yang menegangkan namun hangat. Wang Cheng mengangkat dagu gadis itu dengan dua jarinya, memandang dalam ke mata bening yang bergetar antara gugup dan pasrah.
“Kau sudah bekerja keras untuk melayaniku, Lishan,” bisiknya pelan, nyaris seperti napas. “Kurasa... sudah saatnya kau menerima hadiah.”
Lishan mengerjap pelan. “Hadiah...?”
Sebelum sempat mempertanyakan lebih lanjut, Wang Cheng menunduk dan mencium bibirnya. Lembut, namun dalam. Tidak terburu-buru, tidak memaksa, namun mendominasi.
Ciuman itu membawa kehangatan yang membuat lutut Lishan lemas. Gadis itu sempat mendorong dada tuannya, namun tenaganya lenyap seperti tertelan oleh udara malam yang pekat.
Wang Cheng melepaskan ciumannya perlahan, membiarkan napas Lishan tercekat di antara bibir mereka yang nyaris masih bersentuhan.
Ia tersenyum kecil.
“Lishan,” bisiknya. “Maukah kau melayaniku sekali lagi... bukan sebagai pelayan, tapi sebagai wanita?”
Lishan tidak menjawab. Tapi matanya berbicara. Dan itu cukup bagi Wang Cheng.
Dengan gerakan tenang namun penuh kepastian, Wang Cheng membungkuk dan mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongannya. Lishan hanya bisa menutup wajahnya dengan tangan, malu setengah mati.
Tapi dia tidak melawan. Dia memilih untuk tetap di sana.
Langkah kaki Wang Cheng menuju ranjang begitu pelan, seakan menghormati momen yang tak akan terulang dua kali. Sesampainya di tepi ranjang, ia meletakkan tubuh gadis itu di atas kasur yang hangat oleh cahaya lentera.
Wang Cheng menunduk, mencumbu kembali bibir Lishan—kali ini lebih dalam, lebih panas, dan lebih menuntut. Lishan membalas dengan tangan yang perlahan melingkar di leher pria itu, meskipun tubuhnya gemetar hebat.
Ketika Wang Cheng mencoba membuka bagian atas pakaian gadis itu, Lishan dengan gugup menutupi dadanya. “T-Tuan... saya...”
“Aku tahu,” Wang Cheng menahan kedua pergelangan tangan gadis itu dan menariknya di atas kepala. Tatapannya tak berubah—serius, dalam, namun tanpa kekasaran sedikit pun.
“Biarkan aku melihatmu... Lishan,” katanya.
Lishan menggigit bibirnya pelan, lalu mengangguk kecil.
Dengan gerakan lambat dan sensual, Wang Cheng melepaskan pakaian gadis itu, membiarkannya terbuka seperti kelopak bunga yang enggan namun tak mampu menahan musim mekar.
Cahaya lentera menciptakan bayangan indah di atas tubuhnya, menyorot lekuk yang selama ini tersembunyi di balik kain pelayan yang sederhana.
....
Sementara itu, di lorong utama...
Jiulei berjalan dengan langkah ringan, membawa nampan berisi teh herbal. "Kenapa Tuan Muda memanggilku malam-malam begini?" gumamnya pelan.
Ia melirik ke sekeliling, namun tidak melihat Lishan di mana pun.
"Ke mana Lishan pergi? Tidak biasanya dia menghilang seperti ini..."
Perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Saat ia semakin dekat ke kamar utama Wang Cheng, langkahnya melambat.
Ia menatap pintu yang sedikit terbuka, dan di dalam sana, samar-samar... terdengar suara desahan lirih seorang gadis.
Jiulei membeku, tangannya yang memegang nampan gemetar.
"Apa yang terjadi...? Siapa di dalam sana...? Bukankah pelayan Tuan Muda hanya aku dan... Lishan..."
Wajahnya berubah pucat, nafasnya tersengal seorang ada batu yang mengganjal di paru-parunya.
Jiulei melangkah pelan menuju celah pintu. Semakin dekat, semakin jelas juga suara desahan dan pegas ranjang yang terdengar.
Cahaya lentera dari dalam kamar melalui celah pintu hingga akhirnya menerpa matanya dengan garis vertikal. Di depan sana, tepatnya diatas ranjang, Jiulei dapat melihatnya dengan jelas.
Firasat buruk yang menyertai langkahnya selama ini, ternyata bukan sekedar firasat.
"Tidak mungkin... Lishan..." bisiknya nyaris tak terdengar.
Lishan, wanita yang dia cintai dengan segenap hatinya, kini tengah berhubungan badan dengan tuan yang sangat dia benci. Terlebih lagi, gadis itu tampaknya tidak menolak dan dengan senang hati memberikan segenap jiwa raganya.
Clank...
Suara pecahan porselen mengguncang keheningan malam.
Jiulei masih berdiri kaku di depan pintu, tangannya masih terbuka dalam posisi memegang nampan yang kini sudah berantakan di lantai.
Teh herbal tumpah, menciptakan genangan coklat yang perlahan merembes di antara ubin. Tapi ia tidak peduli.
Matanya terpaku pada pemandangan di dalam kamar—pada tubuh Lishan yang telanjang bulat, pada Wang Cheng yang menindihnya dengan tatapan penuh kepemilikan.
Disisi lain, suara bising itu menyita perhatian Lishan di tengah kenikmatan duniawi yang menerpanya.
"Tuan... Tunggu sebentar... Ada orang di luar sana, ahh..." ucap gadis itu di sela-sela desahannya.
Namun Wang Cheng sama sekali tidak peduli, ia terus mengguncang tubuh polos Lishan yang kini dipenuhi keringat sensual.
'Tidak masalah... Semua ini berjalan sesuai rencanaku,' batin Wang Cheng dalam hatinya.
Saat itu juga suara notifikasi sistem terdengar:
[Jiulei membencimu: +100 Poin Kebencian]
[Jiulei membencimu: +100 Poin Kebencian]
[Jiulei membencimu: +100 Poin Kebencian]
....
sering sering update Thor