Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diagnosi Warna
Suara las menyala, menggema di seluruh markas bawah tanah yang tersembunyi di hutan Lembang. Bau logam terbakar bercampur dengan aroma kopi tubruk menyelimuti udara pagi. Melly berdiri di balik meja kerja besar, matanya menyipit menatap bagian torso dari Spectrum Core Suit yang telah ia bongkar habis-habisan. Di sampingnya, Ajie duduk di kursi besi tanpa baju, hanya mengenakan celana training dan selimut tipis di bahunya. Di balik kulitnya yang berkeringat, tampak samar garis-garis warna yang seharusnya tak ada—urat-urat berkilau merah, biru, bahkan hijau limau—mengalir di bawah kulitnya seperti sungai bercahaya.
“Gue gak nyangka... ternyata aliran warna lo lebih gila dari yang gue pikir,” kata Melly tanpa menoleh.
Ajie menjawab pelan, “Gue juga gak nyangka urat manusia bisa berpendar kayak neon jalan tol.”
“Lo itu bukan manusia jalan tol,” sahut suara asing dari belakang mereka. “Lebih kayak cat galon hidup.”
Ajie menoleh cepat. Seorang pria berkacamata bulat, berbaju lab yang sudah lusuh tapi penuh patch bergambar kartun ilmuwan gila, berdiri dengan koper aluminium di tangannya. Rambutnya berantakan, dan senyumnya terlalu lebar untuk ukuran pagi.
“Ajie, kenalin. Ini Faisal,” kata Melly. “Dia itu ilmuwan. Dulu bantu bikin alat pembaca gelombang energi buat pemberontak anti-Altheron di Ukraina. Sekarang dia freelance karena—”
“—karena bos gue diledakkan drone waktu video call,” potong Faisal santai sambil menjatuhkan kopernya ke meja. “Hari yang buruk. Tapi anyway, sekarang gue kerja buat teman lama gue. Torque Queen.”
Ajie menyeringai setengah takut. “Kita beneran bawa ilmuwan Rusia ke markas?”
“Dia bukan Rusia. Dia orang Depok. Cuma logatnya nyeleneh,” jelas Melly.
Faisal sudah membuka kopernya, mengeluarkan satu set alat aneh: scanner termal, mikroskop genggam, dan sebuah alat mirip pistol glue gun tapi berwarna emas.
“Berdiri, Ajie. Gue mau lihat isi daleman lo,” katanya sambil menyemprotkan semacam gel dingin ke bahu Ajie. “Tenang aja. Gak bakal sakit... kalau lo tahan.”
Ajie meringis ketika alat itu mulai mengeluarkan cahaya dan getaran. Sinar biru menyorot ke kulitnya, memperlihatkan struktur otot, urat, dan yang paling mengejutkan: gumpalan warna-warna berbeda yang mengalir seperti tinta di air.
“Whoa…” gumam Faisal. “Lo... bukan manusia biasa lagi, bro.”
Ajie melirik Melly, yang kini mendekat dengan ekspresi serius.
“Gue kira ini cuma efek radiasi, tapi ternyata warna-warna itu udah membentuk sistem distribusi baru dalam tubuh lo,” jelas Faisal, jari telunjuknya menunjuk layar kecil. “Kayak... ginjal warna. Atau paru-paru cat.”
“Lo ngomong gue punya organ baru?” tanya Ajie, nyaris berbisik.
“Bukan organ. Tapi semacam—ah, gimana ya jelasinnya—lo itu kayak perpaduan cat, zat kimia, dan sistem saraf. Dan mereka gak cuma hidup berdampingan. Mereka... bersatu. Lo gak cuma pakai kekuatan itu. Lo adalah kekuatan itu.”
Ajie terdiam. Nafasnya memburu sedikit.
Faisal menatapnya lekat-lekat. “Tubuh lo mulai berubah, Ji. Gue belum bisa pastiin arahnya ke mana, tapi beberapa warna di tubuh lo udah mulai beradaptasi sendiri. Lihat ini—warna kuning lo sekarang bercampur dengan partikel logam mikroskopis. Gue curiga, tubuh lo mulai bikin variasi sendiri. Evolusi spontan, gitu.”
Melly berujar pelan, “Gue kira armor itu yang ngubah dia...”
“Armor lo canggih, Mel. Tapi yang terjadi di dalam tubuh dia udah kayak eksperimen DNA. Dan bukan lo yang bikin,” sahut Faisal.
Ajie akhirnya bicara, suaranya serak. “Berarti... gue bukan manusia lagi?”
Faisal menyeringai. “Masih manusia. Cuma... upgrade-an. Versi cat deluxe.”
Ajie tertawa hambar. “Gue kayak... Paint Man?”
Faisal menjentikkan jarinya. “Exactly! Nama superhero lo harusnya itu. Bukan ‘The Painters’. Terlalu umum. Paint Man tuh catchy. Anak-anak pasti beli merchandise-nya.”
Melly ikut tertawa, meski suaranya getir.
“Jangan bercanda terus, Sal,” katanya. “Lo yakin ini aman? Maksud gue, kalau warna-warna itu berevolusi sendiri, apa gak bahaya?”
Faisal mengangkat bahu. “Lo tahu jawabannya. Ini wilayah yang belum pernah dicatat di jurnal manapun. Lo mau analogi? Ajie sekarang itu kayak kaleng cat hidup yang isinya gak bisa ditebak. Bisa jadi pelangi, bisa juga meledak.”
Ajie menunduk. “Jadi... gue bisa meledak?”
“Kalau lo stres berat, bisa jadi. Atau kalau warna dalam tubuh lo bentrok. Gue perlu lebih banyak data.”
Melly berdiri, matanya tajam. “Kalau gitu kita harus bikin sistem kontrol tambahan di armor-nya. Gue bisa tambah sistem deteksi warna tak stabil, terus pasang kompresor pendingin.”
Faisal mengangguk. “Dan mungkin semacam... regulator emosi. Karena gue curiga reaksi warna lo dipicu hormon. Marah \= merah. Takut \= biru. Cinta... entah apa. Warna pink?”
Ajie menyahut cepat, “Kalau pink keluar, tolong tampar gue.”
Melly tertawa. “Deal.”
Faisal menutup scan-nya. “Tapi gini, Ji. Lo sekarang udah bukan hanya manusia. Tapi lo juga bukan monster. Lo itu... sesuatu yang baru. Dan itu artinya, lo gak bisa lari dari siapa lo sekarang.”
Ajie menatap lantai.
“Sial,” katanya pelan. “Gue bahkan gak sempat upload CV sebelum kejadian ini.”
Melly menepuk bahunya. “Gue rasa CV lo sekarang isinya: ‘Bisa nyemprot cat dari tangan. Bisa nyelametin orang. Bisa jadi billboard hidup.’”
Ajie tersenyum kecil. “Dan lo, Torque Queen... lo gila ngajak gue ke dunia ini.”
“Gue kan memang gila,” sahut Melly ringan. “Tapi gue gak nyesel.”
Faisal mulai merapikan alatnya. “Gue bakal analisis sampel warna lo dan coba bikin pemetaan emosional buat tiap jenis cat. Tapi ingat, Ji... Kalau lo mulai ngerasa warna lo ‘ngobrol’ sama lo, kabari gue. Serius.”
Ajie mengernyit. “Ngobrol? Maksud lo—”
“Jangan anggap remeh radiasi. Kadang zat asing yang menyatu dengan sistem saraf bisa menciptakan halusinasi, atau... sesuatu yang lebih aneh.”
Ajie menelan ludah. “Noted.”
Hari itu, langit Lembang mulai mendung. Tapi di dalam markas tersembunyi itu, lahirlah kesadaran baru—bahwa The Painters bukan hanya identitas. Tapi juga evolusi. Ajie bukan lagi manusia biasa. Ia adalah pelukis dunia baru... dengan tubuh sebagai kuas, dan masa depan sebagai kanvas yang belum pasti.