NovelToon NovelToon
Dinikahi Duda Mandul!!

Dinikahi Duda Mandul!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Romantis / Janda / Duda / Romansa / Chicklit
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Hanela cantik

Kirana menatap kedua anaknya dengan sedih. Arka, yang baru berusia delapan tahun, dan Tiara, yang berusia lima tahun. Setelah kematian suaminya, Arya, tiga tahun yang lalu, Kirana memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menjadi pelindung tunggal bagi dua harta yang ditinggalkan suaminya.

Meskipun hidup mereka pas-pasan, di mana Kirana bekerja sebagai karyawan di sebuah toko sembako dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar kontrakan bulanan dan menyambung makan harian, ia berusaha menutupi kepahitan hidupnya dengan senyum.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanela cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21

Beberapa hari berlalu sejak pesan terakhir itu terkirim. Hubungan Yuda dan Kirana masih sebatas percakapan ringan.

Siang itu, Yuda duduk di ruang kerjanya. Berkas-berkas terbuka di meja, namun tak satu pun benar-benar ia baca. Matanya berkali-kali melirik ponsel di samping laptop.

“Pak Yuda, ini laporan stok minggu depan—” suara Asman terhenti ketika melihat Yuda masih melamun.

“Taruh saja di situ, Man. Nanti saya cek,” jawab Yuda cepat, sedikit gugup.

Begitu Asman keluar, Yuda menarik napas panjang. Ia meraih ponselnya, membuka percakapan dengan nama Kirana. Tangannya sempat gemetar.

Apa aku terlalu cepat?

Atau justru terlalu lama?

Ia menutup mata sejenak, mengingat nasihat ibunya: jangan mundur duluan sebelum berjuang.

Yuda mulai mengetik.

Yuda:

Assalamualaikum, Mbak Kirana. Maaf ganggu waktunya.

Pesan itu terbaca beberapa menit kemudian. Yuda menegakkan punggungnya, jantungnya berdetak lebih cepat.

Kirana:

Waalaikumsalam, Mas Yuda. Iya, kenapa ya, Mas?

Yuda menghela napas, lalu melanjutkan.

Yuda:

Begini, Mbak… kalau Mbak Kirana tidak keberatan, saya ingin bertemu itupun kalo mbak punya waktu. Ada hal yang ingin saya sampaikan.

Beberapa detik terasa seperti menit. Yuda memijat pelipisnya, menunggu balasan dengan perasaan campur aduk.

Tak lama kemudian, layar ponselnya menyala lagi.

Kirana:

Bertemu? Ada perlu apa ya, Mas?

Yuda tersenyum kecil. Ia tahu Kirana tipe yang berhati-hati. Ia mengetik dengan jujur.

Yuda:

Tidak ada urusan berat, Mbak. Saya cuma ingin bicara langsung. Soal anak-anak… dan mungkin soal saya juga.

Kalau Mbak tidak nyaman, tidak apa-apa. Saya mengerti.

Yuda meletakkan ponselnya, menunggu dengan pasrah.

Beberapa saat kemudian, balasan itu datang.

Kirana:

Kalau begitu… boleh. Tapi sebentar saja, Mas.

Mungkin di cafe dekat taman? Besok sore setelah saya pulang kerja.

Yuda menatap layar ponselnya lama, lalu tersenyum lebar tanpa sadar.

Yuda:

Terima kasih, Mbak Kirana. Besok sore saya jemput, kalau Mbak berkenan.

Kirana:

Saya ke sana sendiri saja, Mas. Lebih enak begitu.

Yuda:

Baik, Mbak. Saya tunggu di sana.

Yuda menurunkan ponselnya perlahan. Dadanya terasa hangat, namun juga penuh degup yang tak biasa.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama,

Yuda merasa… harapan itu benar-benar ada di depan mata.

Keesokan sorenya, langit tampak cerah dengan angin yang berembus pelan. Cafe kecil di dekat taman itu tidak terlalu ramai hanya beberapa pengunjung yang duduk santai, sebagian sibuk dengan ponsel mereka, sebagian lagi berbincang pelan.

Yuda sudah tiba lebih dulu. Ia duduk di kursi dekat jendela, mengenakan kemeja kasual berwarna gelap dan celana bahan. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang sejak tadi nyaris tak tersentuh. Matanya beberapa kali melirik jam tangan, lalu ke arah pintu masuk.

Tak lama kemudian, sosok yang ditunggunya muncul.

Kirana melangkah masuk dengan hijab warna lembut dan baju sederhana. Wajahnya terlihat sedikit lelah.

Saat pandangan mereka bertemu, Kirana tersenyum kecil senyum sopan yang membuat dada Yuda terasa menghangat.

“Mbak Kirana,” sapa Yuda sambil berdiri.

“Mas Yuda,” balas Kirana, sedikit canggung.

Mereka duduk saling berhadapan. Sejenak, hanya suara sendok yang beradu dengan cangkir dan musik pelan dari sudut ruangan yang mengisi keheningan.

“Gimana kabar Tiara?” tanya Yuda membuka pembicaraan, berusaha terdengar santai.

“Alhamdulillah sudah jauh lebih baik,” jawab Kirana. “Sekarang sudah lincah lagi. Arka juga sudah cerewet seperti biasa.”

Yuda tersenyum lega. “Syukurlah. Saya sempat kepikiran terus.”

Kirana mengangguk, menunduk sejenak sebelum menatap Yuda kembali. “Terima kasih ya, Mas. Untuk semuanya.”

“Tidak usah sungkan, Mbak,” jawab Yuda pelan.

Kirana mengguk pelan. "Ada apa ya mas.mas ngajak saya kesini, sepertinya ada hal yang mas ingin sampaikan"

Ia menarik napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya.

“Mbak Kirana…” panggilnya lebih serius.

Yuda menatapnya dengan tenang, meski di dalam dadanya jantungnya berdetak keras.

“Saya tidak pandai bicara berputar-putar,” katanya jujur. “Jadi saya akan langsung saja.”

Kirana terdiam, tangannya refleks menggenggam ujung tas di pangkuannya.

“Saya pria tiga puluh tahun, Mbak. Pernah gagal dalam rumah tangga, punya banyak kekurangan,” lanjut Yuda, suaranya rendah namun mantap. “Tapi sejak mengenal Mbak, saya merasa… ingin mengenal lebih dekat. Bukan hanya sebagai tetangga, bukan hanya soal Arka dan Tiara.”

Ia berhenti sejenak, memberi ruang.

“Saya ingin lebih dekat dengan Mbak Kirana. Dengan cara yang baik. Dengan niat yang jelas,” ucapnya akhirnya.

Hening menyelimuti meja mereka.

Kirana menunduk lama. Kata-kata Yuda terasa begitu berat.

Yuda tersenyum kecil, ada ketegangan di sudut matanya.

“Saya tahu Mbak punya dua anak. Dan jujur, itu tidak membuat saya mundur. Justru… saya menghormati Mbak karena itu. Tapi saya juga sadar, saya tidak boleh egois.”

Ia berhenti sejenak, lalu berkata lirih,

“Kalau pada akhirnya Mbak merasa saya tidak pantas, saya bisa menerima. Asal Mbak tahu, niat saya sungguh-sungguh.”

Kirana menunduk lama. Hatinya terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena kejujuran Yuda datang tanpa paksaan.

“Mas Yuda…” suaranya bergetar. “Saya tidak pernah menyangka akan ada pembicaraan seperti ini.”

Ia mengangkat wajahnya.

“Saya berterima kasih atas kejujuran Mas. Tapi hidup saya rumit. Anak-anak adalah prioritas saya."

Yuda mengangguk pelan.

“Saya paham, Mbak,” katanya lembut. “Dan saya tidak meminta jawaban hari ini. Saya juga tidak ingin Mbak merasa tertekan.”

Ia tersenyum, kali ini lebih tenang.

“Ambil waktu sebanyak yang Mbak butuhkan. Kalau Mbak hanya ingin saya tetap di posisi sekarang, sebagai orang yang bisa dipercaya, saya terima.”

Kirana menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Saya butuh waktu, Mas.”

Yuda mengangguk mantap. “Saya akan tunggu tunggu mbak. Saya akan tunggu Dengan sabar.”

1
Ds Phone
marah betul tak ada ampun
Ds Phone
orang kalau buat baik balas nya juga baik
Ds Phone
baru bunga bunga yang keluar
Ds Phone
mula mula cakap biasa aja
Ds Phone
terima aja lah
Ds Phone
orang tu dah terpikat dekat awak
Ds Phone
orang berbudi kitaberbads
Ds Phone
dia kan malu kalau di tolong selalu
Ds Phone
tinggal nikah lagi
Ds Phone
terlampau susah hati
Ds Phone
dia tak mintak tolong juga tu
Ds Phone
orang tak biasa macam tu
Ds Phone
senang hati lah tu
Ds Phone
dah mula nak rapat
Ds Phone
emak kata anak kata emak sama aja
Ds Phone
dah mula berkenan lah tu
Ds Phone
itu lah jodoh kau
Ds Phone
kenapa kau tak bagi dia balik
Ds Phone
anak yang kau pinjam wang nya
Ds Phone
makan nasi dengan mee insten campur telur
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!