NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 — Luka Lama yang Belum Sembuh

​Gudang padi tua yang dihuni Rho Jian adalah sebuah monumen keheningan dan kelembapan. Dibangun di atas fondasi batu besar untuk menghindari banjir, ruangannya terasa dingin bahkan di tengah hari. Aroma yang paling dominan di sana adalah bau kayu lapuk, jamur kering, dan tanah yang lembap, bercampur samar dengan bau darah lama dan balsem herbal yang biasa ia gunakan untuk membersihkan luka-lukanya.

​Di masa lalu, Jian terbiasa tidur di barak yang ramai, dengan ratusan pengawal berdesakan. Kini, ia hanya berbagi ruangan dengan keheningan, dan sesekali, suara angin yang berbisik nakal di celah-celah papan kayu yang retak. Kebisingan alam di sekelilingnya—gemerisik daun bambu, desauan sungai, lolongan anjing liar di malam hari—jauh lebih bisa ditoleransi daripada bisikan intrik di istana.

​Jian hidup dalam disiplin yang kaku. Setiap pagi sebelum fajar, ia menjalankan latihannya: serangkaian gerakan pedang tanpa senjata, menguatkan otot-otot yang menegang karena perjalanan panjang dan tidur yang tidak nyaman. Ia harus selalu siap. Insting pengawal dan prajurit di dalam dirinya tidak pernah mati. Ia tahu, dunia politik istana memiliki ingatan yang sangat panjang, dan tanda yang ia sembunyikan di balik jubahnya adalah tiket kematian.

​Setelah latihan, ia akan membuka jubahnya. Pagi ini, ia tidak bisa mengabaikan sayatan panjang yang ia dapatkan sebulan lalu, di pinggir hutan dekat perbatasan kota. Ia harus menahan napas saat menyeka darah yang mengering, membiarkan rasa sakit itu mengingatkannya bahwa ia masih hidup, dan ia masih dalam pelarian.

​Mata Jian terpejam saat rasa sakit itu menyeruak. Setiap parut di tubuhnya memiliki kisahnya sendiri, tetapi ada satu tanda yang tidak berupa parut pisau.

​Di bahu kirinya, tersembunyi di balik kulit yang kokoh, terdapat sebuah cap. Cap itu dulunya adalah simbol kehormatan tertinggi: lambang Singa Emas dari Pasukan Elit Istana, yang hanya diberikan kepada pengawal pribadi Kaisar. Namun, enam bulan lalu, simbol itu disambar dengan besi panas, meninggalkan bentuk kasar yang kini terasa seperti luka terbuka tanpa darah. Tanda itu, yang kini hanya terlihat seperti cacat kulit yang mengerikan, adalah cap baru yang diberikan istana: Pengkhianat.

​“Kau mengkhianati kepercayaan Kaisar, Rho Jian. Kau mengkhianati panji Singa Emas. Selamanya, Kau akan berjalan di bumi ini tanpa nama, tanpa kehormatan. Kau adalah bayangan, bukan manusia.”

​Suara serak Jenderal Wei, mantan mentornya, masih menghantuinya. Ia dituduh terlibat konspirasi kudeta yang dirancang oleh faksi lawan. Fakta bahwa ia menolak membunuh seorang perwira yang tidak bersalah membuatnya dituduh berkhianat. Jian berhasil lolos dari eksekusi karena keahliannya, bukan karena keberuntungan. Kini, ia hanya punya satu tujuan: bertahan hidup tanpa terdeteksi.

​Itulah mengapa Gudang Padi Terkutuk ini sempurna. Terlalu sunyi, terlalu jauh, terlalu dikuasai oleh takhayul desa. Di sini, ia adalah udara, dan itu adalah tujuannya.

​Hingga Mei Lan muncul di sungai pagi itu.

​Jian meraih jubahnya, menyembunyikan cap Pengkhianat itu dengan cepat, gerakannya sekaku perisai yang turun. Ia merasa marah—bukan pada Mei Lan, tetapi pada dirinya sendiri karena telah membiarkan orang asing melihat bagian dari dirinya yang rentan dan terluka. Ia telah membangun dinding pertahanan yang tinggi dan dingin, tetapi gadis itu, dengan kesunyian yang setara dengannya, telah menembus pertahanannya hanya dengan tatapan.

​“Kau seperti untaian benang yang putus di tengah-tengah tenunan yang sangat rumit. Itu menarik perhatian saya.”

​Kata-kata Mei Lan itu berputar-putar di benaknya. Ia terbiasa dianggap sebagai mesin, pedang, pengawal, atau pengkhianat. Ia tidak pernah dianggap sebagai ‘benang yang putus.’ Itu adalah deskripsi yang lembut, puitis, dan jujur.

​Kejujuran itu yang berbahaya. Jian hidup dengan kepalsuan. Ia adalah pria tanpa masa lalu dan tanpa masa depan, hanya bayangan. Tetapi gadis itu, dengan mata yang dipenuhi kesabaran penenun dan luka batin yang serupa, memaksanya untuk mengakui keberadaannya. Ia melihatnya, dan itu membuat Jian merasa terancam, namun di saat yang sama, ia merasakan kehangatan yang sudah lama ia lupakan—kehangatan yang hampir terasa seperti rumah.

​“Aku harus menjauh darinya,” bisik Jian pada dirinya sendiri, suaranya tercekat. Kedekatan hanya akan membawa bahaya bagi gadis itu. Jika istana menemukan dirinya, seluruh desa, termasuk Mei Lan, akan terseret dalam kehancuran.

​Jian memutuskan untuk mengubah rutinitasnya. Ia akan mengambil air sungai jauh sebelum fajar, dan ia akan mencari persediaan makanan di desa tetangga yang berjarak dua hari perjalanan. Ia tidak ingin melihat Mei Lan lagi. Ia tidak ingin mendengar lagi bisikan lembut yang memecah keheningannya.

​Namun, di hari yang sama, isolasi Jian terganggu bukan oleh Mei Lan, melainkan oleh kehadiran orang lain.

​Sore itu, saat Jian sedang mengasah belati kecilnya di ambang pintu gudang padi, matanya yang tajam menangkap pergerakan di batas hutan bambu. Sebuah siluet—seorang pria muda, bertubuh petani, berdiri di antara rumpun bambu yang tebal, mengawasi.

​Jian tidak bereaksi. Ia hanya terus mengasah belati, suara gesekan baja melawan batu asah terdengar tajam dan dingin. Ia ingin mengirim pesan: Aku tahu Kau di sana. Jangan mendekat.

​Pria muda itu adalah Shan Bo. Jian mengenalnya—pemuda dengan wajah tulus tetapi mata yang menyimpan kecemasan dan kepemilikan. Jian tahu Shan Bo adalah salah satu benang yang ingin menjaga Mei Lan tetap berada dalam ‘tenunan’ Desa Awan Jingga. Dan Shan Bo melihat Jian sebagai gunting yang akan memotong benang itu.

​Shan Bo berdiri di sana cukup lama, mengukur Jian. Matanya dipenuhi rasa cemburu yang kental, bercampur dengan ketakutan yang samar. Ia melihat Jian. Ia melihat aura bahaya dan misteri yang membalut tubuh Jian.

​Jian tahu apa yang dipikirkan Shan Bo. Ia tahu pemuda itu menganggapnya sebagai ancaman bagi Mei Lan dan desa. Dan Shan Bo benar. Jian memang ancaman.

​Setelah beberapa menit yang terasa seperti keabadian, Shan Bo berbalik. Ia tidak pergi dengan langkah tenang, melainkan dengan hentakan kaki yang menunjukkan kemarahan yang tertahan. Jian tahu Shan Bo akan segera bertindak. Entah dengan cara apa, tetapi Shan Bo tidak akan membiarkan Mei Lan menatap ke arah hutan bambu lagi.

​Jian kembali menatap belati di tangannya. Ia harus tetap dingin. Jika Shan Bo mendekat, Jian akan memperlakukannya seperti ia memperlakukan setiap ancaman. Dengan ketegasan, tanpa emosi.

​Tetapi malam itu, saat ia berbaring di atas tikar jerami yang tipis, ia tidak memikirkan Shan Bo. Ia memikirkan Mei Lan.

​Ia teringat betapa rapuhnya gadis itu saat ia menarik timba air, bagaimana bahunya sedikit bergetar karena dingin, dan bagaimana kehangatan samar yang ia rasakan ketika Mei Lan melihat lukanya.

​Mei Lan menyimpan lukanya di dalam hati, membiarkannya perlahan merusak jiwanya. Jian menyimpan lukanya di punggung, membiarkannya menjadi perisai. Keduanya adalah korban, tetapi mereka memilih cara yang berbeda untuk bertahan.

​Jian teringat betapa dingin dan hampa hidupnya di istana. Keindahan istana hanya berupa fasad, di bawahnya tersembunyi kekejaman, pengkhianatan, dan ambisi yang menggerogoti. Di sana, Jian hanyalah senjata, tanpa hati, tanpa emosi.

​Di Desa Awan Jingga, segalanya tampak nyata. Tanah yang becek, air sungai yang dingin, bau dedaunan. Dan Mei Lan, ia adalah sutra murni.

​Sebuah naluri protektif muncul di dalam dada Jian, naluri yang sangat asing baginya. Di masa lalu, ia melindungi Kaisar, melindungi panji, melindungi kehormatan. Kali ini, ia merasa ingin melindungi kelembutan Mei Lan. Melindungi gadis itu dari adat desanya, dari ambisi Kepala Desa Liang, dan terutama, dari dirinya sendiri.

​Jika Kau ingin menjaganya, Kau harus menjauh darinya.

​Prinsip itu, yang selama ini menjadi mantra hidupnya, terasa berat untuk dilaksanakan. Ia bisa berlari dari prajurit istana, ia bisa hidup dari memakan lumut di hutan, ia bisa menahan rasa sakit dari luka-luka lama. Tetapi ia kesulitan menahan diri dari keinginan sederhana untuk melihat gadis itu sekali lagi.

​Mei Lan telah menyentuh sesuatu yang tersembunyi di balik dinding besi Jian: rasa rindu. Rindu akan sesuatu yang sederhana, sesuatu yang murni, yang ia tahu tidak akan pernah bisa ia miliki.

​Jian bangkit, berjalan ke sudut gudang padi. Ia mengambil sekantong bubuk abu-abu yang disembunyikan di bawah tumpukan jerami. Itu adalah bubuk yang bisa ia gunakan untuk mengubah penampilannya sedikit, mewarnai kulitnya agar terlihat lebih lusuh, atau sekadar membuat dirinya tampak tidak menarik. Ia harus menjauh dari pandangan Mei Lan.

​Tetapi sebelum ia sempat menggunakan bubuk itu, sebuah gerakan kecil di luar jendela bambu menangkap perhatiannya. Seekor burung pipit kecil terbang, membawa sehelai benang sutra berwarna merah muda yang lembut, lalu melepaskannya ke udara. Benang itu terbang rendah, terbawa angin, lalu tersangkut di salah satu tiang gudang padi.

​Merah muda. Warna yang sangat bertolak belakang dengan warna gelap dan muram yang menjadi selimut kehidupan Jian.

​Jian menatap benang sutra itu—begitu halus, begitu rentan, begitu mudah putus. Itu terasa seperti pesan dari semesta. Sebuah pengingat akan keindahan dan kerapuhan yang ada di desa ini.

​Ia berjalan ke tiang, dengan hati-hati melepaskan benang sutra itu dari kayu. Jari-jarinya yang kasar, terbiasa memegang pedang, kini menggenggam kelembutan yang luar biasa itu.

​Benang itu terasa hangat, seolah masih menyimpan kehangatan tangan Mei Lan.

​Jian menutup tangannya, menggenggam benang sutra itu erat-erat. Ia tidak akan meninggalkannya. Ia tidak akan melupakannya. Tetapi ia harus memastikan benang itu tidak terseret ke dalam kekacauan yang akan ia timbulkan.

​Dengan tekad baru, Jian memasukkan benang itu ke kantong terdalam jubahnya. Keputusannya bulat: Ia harus menciptakan jarak, tetapi ia akan mengawasi gadis itu. Ia akan menjadi pelindung rahasia yang tersembunyi di balik hutan bambu.

​Malam itu, di antara keheningan hutan dan gudang padi yang dingin, seorang pengkhianat istana yang kejam menemukan hati nurani baru. Dan hati nurani itu terbuat dari benang sutra yang lembut dan kehangatan yang tidak sengaja.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!