Shiratsuka mendecak, lalu membaca salah satu bagian esai yang ditulis Naruto dengan suara pelan tetapi jelas:
"Manusia yang mengejar kebahagiaan adalah manusia yang mengejar fatamorgana. Mereka berlari tanpa arah, berharap menemukan oase yang mereka ciptakan sendiri. Namun, ketika sampai di sana, mereka menyadari bahwa mereka hanya haus, bukan karena kurangnya air, tetapi karena terlalu banyak berharap."
Dia menurunkan kertas itu, menatap Naruto dengan mata tajam. "Jujur saja, kau benar-benar percaya ini?"
Naruto akhirnya berbicara, suaranya datar namun tidak terkesan defensif. "Ya. Kebahagiaan hanyalah efek samping dari bagaimana kita menjalani hidup, bukan sesuatu yang harus kita kejar secara membabi buta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyudi0596, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 13
Setelah tiga hari berlalu, suasana di kelas terasa lebih hidup dari biasanya. Hiratsuka-sensei berdiri di depan kelas dengan tangan terlipat, menatap para siswa yang mulai berbisik-bisik dengan antusias begitu mendengar pengumuman yang dia sampaikan.
“Seperti yang sudah kalian dengar, kita akan mengadakan study wisata dalam waktu dekat.” Hiratsuka-sensei mengetukkan penghapus papan tulis ke meja, membuat suara keras yang langsung membungkam beberapa siswa yang terlalu berisik. “Namun, ada satu syarat penting: kalian wajib membentuk kelompok yang terdiri dari tiga orang.”
Sekejap, kelas dipenuhi suara obrolan riuh. Para siswa mulai berdiskusi dengan teman-teman mereka, mencari rekan yang cocok untuk dijadikan satu tim.
Di tengah kekacauan itu, Naruto tetap santai di kursinya, tidak terlalu memusingkan hal tersebut. Dia sudah tahu dengan siapa dia akan berkelompok, dan itu membuatnya lebih tenang dibandingkan siswa lain yang masih kebingungan mencari tim.
Ketika beberapa siswa mulai panik karena kehabisan pilihan, Naruto hanya menyilangkan tangan di belakang kepala dan menyeringai kecil. "Setidaknya aku tidak perlu repot-repot."
Begitu jam pelajaran berakhir, dia tidak membuang waktu dan langsung berjalan keluar kelas. Tujuannya sudah jelas—klub relawan.
Saat dia membuka pintu ruangan klub, matanya langsung menangkap sosok Yukino yang duduk di kursinya dengan ekspresi serius seperti biasa.
“Kau datang lebih awal,” komentar Naruto sambil melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya.
Yukino mengangkat alis. “Atau mungkin kau yang datang lebih lambat dari biasanya.”
Naruto terkekeh kecil. “Mungkin saja.”
Dia mengambil tempat duduknya, bersandar dengan santai. “Jadi, apa kita akan membahas sesuatu hari ini?” tanyanya, menatap Yukino yang tampak memikirkan sesuatu.
Namun, sebelum Yukino bisa menjawab, pintu klub terbuka kembali, dan suara langkah kaki masuk ke dalam ruangan.
Seseorang baru saja datang.
Pintu klub terbuka, dan dua sosok yang sudah tidak asing lagi melangkah masuk.
“Yo, kalian sudah di sini duluan, ya?” ujar Yuigahama dengan senyum cerah seperti biasa. Dia berjalan masuk dengan semangat, diikuti oleh Hachiman yang terlihat malas seperti biasa.
“Hmph, sepertinya kita yang terakhir datang,” gumam Hachiman, lalu menghela napas. “Sejujurnya, aku berharap kita tidak perlu bertemu hari ini.”
Naruto melirik mereka berdua, menyeringai kecil. “Jangan begitu. Lagipula, aku penasaran juga bagaimana kelanjutan dari kasus yang kemarin.”
Yukino mengangguk ringan. “Memang ada hal yang ingin kita bahas. Tapi sebelum itu...” Dia menatap Naruto dengan sorot penuh pertimbangan.
“Ada apa?” Naruto menaikkan alis.
Yukino sedikit menyipitkan matanya sebelum akhirnya menghela napas. “Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Apa kau sudah menemukan kelompok untuk study wisata nanti?”
Naruto mengangkat bahu. “Sudah. Aku tidak perlu repot-repot mencari.”
Yuigahama tampak tertarik. “Eeh? Serius? Aku penasaran siapa kelompokmu, Naruto!”
Naruto hanya tersenyum samar, membiarkan mereka menebak-nebak.
Namun, sebelum percakapan bisa berlanjut lebih jauh, Yukino kembali mengambil kendali. “Kembali ke topik utama. Aku ingin membahas sesuatu yang sejak awal sudah mengusik pikiranku.”
Hachiman mendesah. “Jangan bilang ini tentang kasus yang lalu lagi.”
Yukino mengabaikannya dan mengarahkan pandangannya ke Naruto. “Aku ingin tahu lebih dalam... bagaimana kau bisa sampai pada kesimpulan bahwa pelakunya adalah Shiraishi Maho?”
Ruangan seketika menjadi lebih hening. Bahkan Yuigahama, yang biasanya selalu bersemangat, ikut terdiam dan menatap Naruto dengan rasa ingin tahu.
Naruto hanya tersenyum tipis, tampaknya sudah menduga pertanyaan ini akan muncul. Dengan tenang, dia menyandarkan punggung ke kursi dan mulai berbicara. “Baiklah. Kalau kalian ingin tahu, aku akan menjelaskannya...”
Dan dengan itu, diskusi pun dimulai.
Setelah Naruto selesai menjelaskan detail langkah-langkah yang dia ambil dalam mengungkap kasus Shiraishi Maho, Yukino tampak mengangguk kecil, seolah menganalisis kembali setiap bagian dari penyelidikan itu.
“Jadi begitu... Sejujurnya, aku cukup terkejut kau memperhatikan sampai sejauh itu.” Yukino menutup buku catatannya. “Aku akui metodenya cukup efektif.”
Naruto hanya tersenyum tipis. “Aku hanya mengikuti apa yang masuk akal.”
Hachiman, yang sejak tadi mendengarkan dengan setengah tertarik, akhirnya mendesah. “Kalau begitu, kasus ini sudah selesai, kan? Bisa kita lanjut ke hal lain?”
“Tentu saja.” Yukino mengangguk, sebelum bangkit dari kursinya. “Aku ada sesuatu yang perlu aku urus. Kalian bisa tinggal di sini kalau mau.”
Tanpa menunggu jawaban, Yukino berjalan keluar dari ruangan klub, meninggalkan Naruto dan Yuigahama di dalam bersama Hachiman, yang tampaknya sudah tenggelam dalam dunianya sendiri.
Naruto menyandarkan kepalanya ke belakang dan menarik napas dalam. “Akhirnya ada sedikit ketenangan.”
Yuigahama menoleh ke arahnya dengan senyum kecil. “Ngomong-ngomong, Naruto, soal study wisata nanti... Aku penasaran, siapa yang jadi kelompokmu?”
Naruto meliriknya sekilas sebelum mengangkat bahu. “Aku tidak akan bilang.”
Yuigahama mendengus kesal. “Eeeh? Kenapa?”
“Biar tetap jadi kejutan.” Naruto menutup matanya sebentar, menikmati suasana yang sedikit lebih santai. “Lagipula, siapa pun kelompokku, itu tidak akan mengubah apa pun.”
Yuigahama cemberut sebentar, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Baiklah, baiklah. Tapi serius, aku penasaran. Pasti bukan kelompok yang biasa, kan?”
Naruto hanya tersenyum misterius. “Kita lihat saja nanti.”
Obrolan mereka terus berlanjut, membahas hal-hal ringan—dari makanan yang dijual di kantin hingga rencana mereka setelah study wisata. Untuk sesaat, ruangan klub terasa jauh lebih nyaman tanpa tekanan dari kasus yang baru saja mereka selesaikan.
Yukino akhirnya kembali ke ruangan klub, ekspresinya tetap dingin seperti biasa, tetapi ada sedikit ketenangan dalam gesturnya. Dia duduk di kursinya dengan anggun, merapikan helaian rambutnya sebelum menatap ke arah mereka.
Yuigahama, yang selalu punya energi untuk mencairkan suasana, segera menyapanya dengan senyum cerah. “Yukinon, kau pergi ke mana tadi?”
Yukino meliriknya sekilas sebelum menjawab dengan nada datar. “Hanya mengurus sesuatu yang tertunda. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Yuigahama tetap tersenyum, tidak terpengaruh oleh sikap dingin temannya. “Hmm~ Aku penasaran sih. Apa sesuatu itu penting?”
Yukino menyilangkan tangannya, lalu menatap ke arah mereka berdua. “Tidak sepenting pembicaraan kalian barusan, kurasa.”
Naruto hanya tersenyum kecil, sementara Hachiman mendengus pelan. “Kalau tidak penting, kenapa repot-repot bertanya, Yuigahama?”
“Eh? Aku hanya ingin tahu, kok!” Yuigahama menggembungkan pipinya sebelum tertawa kecil.
Naruto, yang sejak tadi menikmati obrolan santai itu, akhirnya menambahkan, “Kalau Yukino tidak ingin berbagi, kita tidak perlu memaksanya. Lagipula, kita baru saja menyelesaikan satu masalah. Aku yakin, kita pantas menikmati sedikit ketenangan.”
Yukino mengangguk tipis, sebelum akhirnya memandang ke luar jendela. “Kurasa kau benar.”
Percakapan berlanjut dengan suasana yang lebih ringan. Untuk sesaat, ruang klub terasa seperti tempat yang lebih damai, tanpa ada beban atau misteri yang harus dipecahkan.