Berita kematian Rosa, kakak satu-satunya membuat Olivia sangat terguncang.
Olivia curiga Thomas, suami Rosa punya andil dalam kematian istrinya yang tiba-tiba karena 5 hari sebelum kematiannya, Rosa sempat mendatangi Olivia dan bercerita sedikit soal prahara rumah tangganya.
Kecurigaan Olivia makin bertambah saat Thomas menjual rumah dan mobil pribadi milik Rosa seminggu setelah kematian istrinya.
Tidak ingin harta peninggalan Rosa yang jatuh ke tangan Thomas dipakai untuk wanita lain sekaligus ingin membuktikan rasa curiganya, Olivia nekad menawarkan diri menjadi ibu sambung untuk Gaby, putri tunggal Rosa dan Thomas yang berusia 5.5 tahun.
Akankah Thomas menerima Olivia yang bertekad membuktikan firasatnya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peringatan Tujuh Hari
Sekitar pukul sepuluh pagi Olivia keluar dari kamarnya, sudah mandi tapi mengenakan pakaian rumah.
Terpaksa hari ini ia tidak masuk kantor lagi karena sakit. Jam 5 subuh Olivia terbangun dan muntah-muntah sampai asam lambungnya ikut keluar.
Sampai di ujung tangga dilihatnya mama sedang ngobrol di telepon sambil mondar-mandir, dari nada suaranya terdengar sedang kesal tapi entah siapa yang jadi lawan bicaranya Olivia tidak bertanya bahkan saat mereka berpapasan di lantai dasar.
Olivia langsung ke dapur untuk sarapan yang terlambat. Nafsu makannya belum normal tapi perutnya harus diisi atau sakitnya tambah parah.
“Kok nggak kerja lagi, Liv ? Lagi sakit atau cuti ?” tanya mama sambil menarik kursi lalu duduk persis berseberangan dengan Olivia.
“Kayaknya masuk angin, Ma. Tadi pagi sempat pusing dan muntah tapi sekarang sudah enakkan. Mama kenapa ?”
Mama Ina menarik nafas panjang dan meneguk air putih yang baru dibawakan bik Jum.
“Tom benar-benar kelewatan !” oceh mama.
“Kenapa lagi ?”
“Dia tidak kasih tahu mama kalau acara doa tujuh hari kakakmu nanti malam dibatalkan dengan alasan sudah serah terima dengan pembeli rumah.”
“Maksud Mama rumah mbak Rosa dijual ?” tanya Olivia dengan mata membola.
“Hhhhmmm.” Mama mengangguk dengan lesu “Tom sudah kasih tahu mama tapi nggak bilang langsung serah terima sehari sesudah transaksi.”
Wajah Olivia kelihatan kesal. “Rumah itu yang beli mbak Rosa dan setahuku surat rumahnya juga atas nama mbak Rosa.”
“Mereka nggak punya perjanjian pisah harta jadi Tom berhak menjadi ahli warisnya.”
Mama Ina kembali menarik nafas dalam-dalam dan menghelanya perlahan-lahan.
“Lalu dia kemanakan barang-barang milik mbak Rosa ? Jangan bilang dia menjual rumah itu beserta seluruh isinya.”
“Mama belum tanya soal itu dan sekarang Tom tinggal di apartemen tapi Gaby dititipkan ke orangtuanya karena dia tidak bisa cuti lama-lama untuk mengurus Gaby.”
Sekarang Olivia yang menarik nafas lalu meneguk susu hangatnya dengan niat ingin meredakan emosi.
“Mobil Rosa juga sudah dijual,” ujar mama.
“Mama serius ?” Mata Olivia kembali membola saking kagetnya dan melengos kesal saat kepala mama mengangguk
“Benar-benar kelewatan !” geram Olivia sampai memukul meja.
“Aku tahu kalau semua kepunyaan mbak Rosa adalah miliknya juga tapi minimal dia memberitahu mama dan papa sebelum menjualnya pada orang lain atau dia bisa menawarkan kita untuk jadi pembelinya, mungkin untuk kenang-kenangan.”
“Papa bilang biarkan saja dan tidak usah dipermasalahkan, toh semua itu hanya benda mati. Kenangan tentang Rosa tidak akan pernah hilang di hati dan ingatan kita.”
“Apa papa dan mama nggak curiga sama Tom ?” tanya Olivia dengan mata menyipit.
“Curiga untuk apa ?”
“Waktu di rumah duka, Tom terlihat biasa-biasa saja, seolah mbak Rosa bukan siapa-siapanya. Awalnya aku pikir dia berusaha tegar demi Gaby tapi kalau seperti ini kelanjutannya, bukan tidak mungkin Tom memang mengharapkan mbak Rosa meninggal.”
“Jangan menuduh orang sembarangan, Livi ! Kita tidak tahu apa yang Tom rasakan sekarang. Sejak awal kita sama-sama tahu sifatnya yang pendiam dan tertutup dan Rosa juga tidak banyak bercerita soal suaminya.”
Olivia tidak langsung merespons karena ia baru saja teringat soal pertemuan terakhir dengan Rosa, sekitar 5 hari sebelum kakaknya meninggal.
Sebelum berpisah, Rosa kembali menegaskan supaya Olivia merahasiakan obrolan mereka dari papa dan mama tapi sekarang Olivia tidak yakin harus menuruti permintaan Rosa.
“Kamu kenapa lagi, Livi ? Masih pusing ? Mau mama temani ke dokter ?”
Tidak ingin gegabah dan merasa bukan waktu yang tepat untuk bercerita pada mama, Olivia pun menunda niatnya dan menggelengkan kepala.
“Nggak usah, Ma. Aku hanya perlu banyak istirahat dan tidur.”
Handphone mama berdering, Olivia sempat melirik tulisan di layarnya : Yuli, Mama Thomas.
“Sepertinya doa tujuh hari kakakmu akan mama adakan di sini saja nanti malam.”
“Boleh. Kalau mama butuh bantuanku bilang aja.”
Mama mengangguk dan menekan logo centang biru untuk menerima panggilan dari maminya Thomas.
***
Tamu yang hadir malam ini didominasi oleh teman-teman papa dan mama dari lingkungan di sekitar rumah.
Mengingat acara ini benar-benar mendadak, keluarga bersyukur masih cukup banyak yang menyempatkan diri untuk datang, jumlahnya sekitar 30 orang termasuk keluarga Thomas dan Rosa.
Gaby terlihat lebih baik malam ini bahkan bocah itu sudah bisa tertawa dan bercanda dengan Olivia. Mungkin karena terbawa suasana yang cukup ramai atau kedua orangtua Thomas berhasil membuat Gaby pelan-pelan menerima kepergian maminya.
“Tom nggak datang, Ma ?” bisik Olivia saat acara hampir dimulai.
“Tante Yuli bilang Tom mendadak harus ke Bandung sama bossnya.”
“Tapi acara malam ini untuk mendoakan istrinya bukan pesta hura-hura !” omel Olivia dengan suara ditahan.
“Mama juga belum tanya detilnya, Livi tapi tante Yuli bilang Tom sudah bicara dengan om Wisnu. Bisakah kita bahas setelah acara selesai ? Tahan emosimu dulu, setidaknya untuk menghormati kakakmu.”
Olivia sempat menggerutu namun kepalanya mengangguk, membiarkan mama duluan bergabung dengan tamu-tamu yang sudah siap melaksanakan doa bersama.
“Auntie duduk di sebelah Gaby, ya ?”
Bibir Olivia langsung tersenyum melihat Gaby bukan hanya berdiri di dekatnya tapi jemari mungil itu sudah menggandengnya.
“Boleh dong.”
Keduanya menyusul dan duduk di bangku kosong yang sudah disiapkan untuk keluarga. Olivia sempat menghela nafas saat melihat satu bangku kosong yang disiapkan untuk Thomas.
Hanya cukup membayangkan sosok Thomas dan menyebut namanya di dalam hati, emosi Olivia langsung ingin meledak.
Batas toleransi Olivia sudah mentok, tidak bisa ditambah apalagi dikurangi karena menurutnya kelakuan Thomas sudah sangat kelewatan.
Tidak peduli dia manusia paling introvert di dunia, sungguh tidak pantas seorang suami malah memilih pergi tugas keluar kota di malam peringatan kematian istrinya.
Niat Olivia yang ingin tetap fokus selama acara doa langsung buyar, pikirannya malah dipenuhi sejumlah rencana menghadapi Thomas termasuk mengajaknya bertemu. Manusia seperti itu harus diberi pelajaran karena sudah melewati batas kewajaran.
Gaby yang sejak tadi memperhatikan tingkah auntie-nya mengerutkan dahi, tangannya menarik-narik lengan baju Olivia dan memintanya untuk mendekat.
“Auntie kenapa ?” bisik Gaby persis di telinga Olivia.
“Nggak apa-apa,” sahut Olivia dengan suara berbisik pula dan menutupi mulutnya.
“Lagi mikirin pacar ya ?” ledek Gaby sambil cekikikan.
‘Hush !” Olivia meletakkan telunjuk di bibirnya sendiri lalu dengan gerakan isyarat mengajak Gaby kembali fokus pada acara yang sebentar lagi akan selesai.
Gaby mengangguk-anggukkan kepala sambil senyum-senyum. Sesekali ia melirik Olivia yang kelihatan serius tapi Gaby tahu auntie-nya tetap saja tidak fokus.
Malamnya setelah para tamu pulang, Gaby merengek supaya diperbolehkan menginap di rumah keluarga maminya tapi tidak mungkin karena belum waktunya libur.
Jarak sekolah Gaby dari rumah orangtua Rosa cukup jauh.
“Beneran ya, auntie bakalan ngajak aku jalan-jalan kalau liburan nanti.”
“Hhhhmm iya auntie janji.”
“Sama pacar auntie ?” tanya Gaby dengan mata menyipit.
Spontan kedua orangtua Olivia dan Thomas yang berdiri di dekat situ langsung menghentikan obrolan mereka dan menatap Olivia dengan wajah bingung.
“Kamu kok nggak bilang-bilang kalau udah punya pacar, Livi ?” Mama mendekati Olivia dan menatapinya penuh selidik.
Gaby cekikikan saat Olivia melotot kepadanya sambil bertolak pinggang.