NovelToon NovelToon
BEBEK GENDUT

BEBEK GENDUT

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:13k
Nilai: 5
Nama Author: Hyull

Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 | Belanja ke Pajak Bersama

“Abang nggak kasih duit sama Sora? Yang lain aja kasih,” protes Sora saat bersalaman dengan Yuto, tetapi tangan abangnya kosong.

Yuto tersenyum, menampar pipinya pelan. “Kemarin itu kan baru aja abang kasih. Udah sana pergi, si Biyu udah nungguin dari tadi. Yang betul kuliahnya, jangan banyak kali bolos.”

“Mana pula bolos. Sora itu rajin kali.”

Melayang tangan mamanya ke kepalanya. “Rajin apanya. Ini udah berapa hari meliburkan diri. Dari kemarin disuruh balik, bukan balik terus.”

“Kan mau balik sama Biyu loh, Ma… anak itu mana berani bawa mobil ke Medan.”

“**Heh, Sora! Kok lama kali**!”

Terdengar suara neneknya yang berteriak dari luar rumah, tentu hendak mengantarkan kepergian kedua cucunya yang akan kembali ke Medan.

Biyu dan Sora.

Sora lebih tua satu tahun dari Biyu. Sora kuliah jurusan sastra Jepang, sementara Biyu—anaknya Ran dan Arin—memilih kedokteran, hendak mengikuti jejak papanya yang merupakan dokter spesialis mata.

“Sibuk kali nenek lampir itu,” gumam Sora, sudah muak mendengar neneknya merepet. “Mana papa?” tanyanya, tak menemukan keberadaan papanya di dalam rumah.

Yuto langsung merangkul pundak adiknya, dan ia paksa untuk segera melangkah ke teras. “Papa udah tunggu di depan loh, Sora…”

Sora menghela napas panjang. Kembali ke Medan sama saja seperti kembali ke Medan perang. Bukan kotanya yang salah, tapi apa yang harus ia lakukan di sana yang membuatnya menyerah di awal.

Dia tidak suka belajar. Sama saja seperti mamanya dulu.

“Abis ini abang mau temani mama ke pajak, kan?” tanya Sora, sambil terus melangkah menuju teras. \[Di Kota Langsa, pasar disebut pajak\].

Yuto mengangguk.

“Cepat dikit perginya.”

“Kenapa?”

“Biar bisa ke pajak sama Fara.”

Langkah Yuto terhenti. “Apa maksudnya?” ia sudah menatap adiknya penuh tanya.

“Bentar lagi dia juga bakal di suruh mamanya belanja ke pajak. Kan enak, loh, ke pajak sama-sama. Sesekali, pacaran di pajak, sambil milih ikan, milih sayur, sekalian tawar-menawar, biar beda dari yang lain. Bilang sama mama, mama nggak usah ikut. Bilang aja terus, abang pergi sama Fara. Mama bakalan ngerti, kok.” Sora menambahkan, “Ini udah Sora kasih info penting, jangan lupa transfer, ya.” Itulah tujuannya.

“Oke.”

.

.

.

“Pakai uang Fara aja dulu.”

Fara yang sedang memakai jaket, langsung keluar dari kamarnya, melihat ke arah mamanya yang sedang sarapan bersama papanya, menyantap bihun goreng buatannya.

“Uang Fara sisa untuk isi minyak sama pegangan loh, Ma…” keluhnya.

“Loh, kok udah habis uangnya? Bulan depan kan masih ada seminggu lagi. Makanya, nggak usah sok sok belikan makanan kucing, sampai ikan untuk kucing pula, udah tahu ikan mahal. Untung kemarin mama masak ikannya. Kalau uang masih pas-pasan, nggak usah kepintaran mikir kasih makan kucing. Untuk sendiri aja nggak cukup.”

“Memangnya uang Fara habis karena siapa!”

Fara ingin mengatakan seperti itu, tetapi mulutnya tak tega untuk menyampaikannya.

“Ambil dompet mama di kamar!” bentak mamanya akhirnya.

Selalu saja seperti itu. Setiap kali dirinya ingin membela diri, lidahnya mendadak kelu. Bukan karena takut—tapi karena nggak tega.

Ia tahu, sekali saja ia menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya—tentang uangnya yang sering dipinjam oleh kakak dan tantenya yang entah kapan akan dibayar, bahkan sering kali dikembalikan dengan jumlah yang berbeda—mama pasti akan tersinggung. Lalu jadi sedih. Dan kalau sudah sedih, merasa yang paling merana hingga bisa jadi sakit.

Fara tahu kali pola itu.

Ia menahan napas, lalu memaksakan senyum tipis meski dadanya terasa sesak. “Iya, Ma,” sahutnya pendek. Kakinya melangkah pelan menuju kamar mamanya.

Ia melihat dompet mamanya diletak di atas meja, di samping Al’Qur’an. Ia raih dompet itu lalu ia berikan kepada mamanya. Tak lama kemudian, mamanya membuka dompet dengan kesal lalu memberikannya hanya selembar pecahan seratus ribu rupiah.

“Loh, segini mana cukup, Ma… Mama kan suruh beli udang, ayam, belum lagi mau beli telur sama sayur.”

Seketika dompet mamanya melayang ke lantai, tak jauh dari Fara berada.

“Lihat aja sendiri! Masih ada nggak uang mama!”

Fara berdiri kaku, mataku menatap dompet yang tergeletak di lantai. Dadanya sesak, tapi bukan karena kaget. Ini sudah terlalu sering terjadi, sudah biasa untuknya. Rasanya seperti, seperti luka lama yang terus dibuka dan dibiarkan berdarah tanpa pernah benar-benar diobati.

Dan seperti biasa, papanya hanya diam.

Dan seperti biasa juga, Fara masih mampu bertahan, bertahan untuk tidak melawan, bertahan menahan rasa sakit meski sebenarnya ia bisa membela diri.

Ia membungkuk, meraih dompet itu, lalu ia letak kembali di atas meja.

Dalam diam, Fara masuk kembali ke dalam kamar sambil mengantongi uang seratus ribu itu. Ia lanjut memakai jilbab, meraih dompet dan kunci motornya. Setelah itu, ia melangkah keluar dari kamar, lanjut keluarkan Filano kuningnya ke teras rumah.

Saat mesin motor sedang ia panaskan, ia memikirkan, kira-kira berapa harga udang dan ayam, juga bahan lainnya yang harus ia beli.

Di dalam dompetnya, ada dua lembar uang seratus ribu yang ia lipat sangat kecil, memang sengaja ia selipkan dan berharap tidak menggunakannya agar nantinya bisa ia gunakan saat ada hal mendesak. Tapi ternyata, hal mendesak itu bukan untuk keperluannya, tapi keperluan rumah.

Sekali lagi, untuk kesekian kalinya, Fara memilih pasrah, memilih mengalah.

Suara klakson motor mengagetkan Fara yang sejak tadi melamun di teras rumahnya. Begitu ia menoleh, ia melihat sudah ada Yuto di tepi jalan di depan rumahnya, duduk di atas motor N-Max, tersenyum padanya.

“Ayo, sama abang aja. Mau ke pajak, kan?” kata Yuto, masih tersenyum ramah.

Fara diam sejenak, masih kaget dengan keberadaan Yuto di sana. Kemudian, dia mematikan mesin motornya. “Abang mau ke pajak?” tanyanya.

Yuto mengangguk santai. “Mama abang suruh belanja,” bohongnya. Padahal niat awal ia akan pergi bersama mamanya, tetapi berkat Sora, hanya dirinya saja—karena berharap Fara akan menemaninya. “Ayo, sekalian bantu abang. Ini pertama kalinya abang belanja.”

“Kalau memang pertama kali, kenapa nggak pergi sama mama abang?”

“Pertanyaan yang bagus,” batin Yuto.

“Mama abang kecapean katanya, makanya abang aja yang pergi gantikan mama.”

Fara diam lagi, meyakinkan dirinya apa yang harus ia lakukan.

“Tolonglah, bantu abang… abang takut salah beli, nanti marah pula mama abang. Fara kan tahu, mama abang pelatih tinju. Sakit juga loh kalau kena tinju mama abang.” Suara Yuto mulai memelas, tahu bahwa Fara sulit menolak apalagi jika diminta pertolongan.

Dengan polosnya Fara percaya. “Mama abang pernah tinju abang?”

“Duh, salah ngomong aku. Maaf, ma…” batinnya lagi. “Enggak keras sih tinjunya, cuma main-main aja, tapi sakit,” bohongnya lagi.

Dan seperti yang Yuto duga, Fara langsung mengunci motornya lalu melangkah terburu-buru menghampirinya di tepi jalan. “Ayo, Bang. Nanti Fara bantu pilih. Abang udah tahu mau beli apa aja, kan?”

Yuto mengangguk sambil menahan senyum penuh kemenangan.

Usai itu, setelah Fara kesulitan naik ke atas N-Max karena motor itu terlalu tinggi untuknya yang pendek, Yuto pun lekas menarik gas dan motor papanya itu mulai melaju keluar dari komplek.

Tanpa Fara sadari, tak seperti sebelumnya yang memilih duduk menyamping saat dibonceng Yuto, pagi ini ia duduk menghadap depan, tampak sangat nyaman, jelas sekali ia tak menyadari itu.

“Fara udah sarapan?” tanya Yuto.

“Belum, Bang.”

“Loh, kenapa belum? Nggak bikin bakwan pagi ini?”

“Tadi niatnya pengen makan mie balap di depan PDAM, Bang. Di situ bakwannya enak, mie tiawnya juga enak.”

“Oh ya? Yasudah, nanti kita makan di sana.”

“Loh, nggak usah, Bang. Nanti Fara makan di rumah aja.”

“Kan katanya pengen mi tiaw depan PDAM. Nggak apa-apa. Abang juga belum sarapan,” bohongnya untuk ketiga kalinya. “Abang juga penasaran kayak apa enaknya bakwan di sana. Apa lebih enak dari buatan Fara. Soalnya abang suka kali buatan Fara. Rasanya pengen makan setiap hari.”

Mulai gombal si Yuto!

Tapi sayangnya, Fara terlalu polos dan tak menyadari gombalan itu.

Minggu pagi tentu saja pajak sangat ramai. Meski tampak syok dengan keramaian di sana, Yuto tetap tenang, mengikuti saran Fara itu memarkirkan motornya di parkiran depan pajak.

Setelah itu, mereka pun melangkah bersama memasuki area pajak.

Berisik kali di sana.

Fara tersenyum geli melihat Yuto yang tampak terpaku saat melangkah ke tengah keramaian pajak. Orang-orang lalu lalang membawa kantong belanjaan, ibu-ibu teriak menawarkan dagangan, ada yang menawar, dan samar-samar terdengar suara ayam hidup yang digendong para pedagang, bersahut-sahutan suara timbangan yang dihantam berat, dan suara kresek dibuka cepat.

“Biasanya memang seramai ini?” tanya Yuto, matanya bergerak ke segala arah.

Fara terkikik. “Ini minggu pagi, Bang. Udah pasti ramai.”

Yuto menghela napas. “Luar biasa juga perjuangan emak-emak, ya.”

Fara mengangguk sambil senyum. Lalu dengan lincah, dia mulai melangkah ke kanan, menuju pedagang ayam langganannya. “Ayo, Bang, ke bagian ayam dulu. Abang mau beli ayam?”

Yuto mengangguk. “Mama abang mau buat bakso.”

Lucunya, begitu tiba di sana, saat Fara hendak menawar—karena harga ayam perkilonya sedang mahal, sekitar tiga puluh ribu, Yuto mendadak berbisik padanya. “Jangan nawar.”

Membuat Fara menoleh kilat padanya. “Hah? Kenapa?” tanya Fara.

“Nggak apa-apa, kasihan abangnya.”

Tak hanya di situ, saat mereka pindah ke tempat lain hendak membeli bawang dan cabai, Yuto kembali membuat Fara merasa bingung, karena melarang Fara memilih bawang dan cabai merah.

“Loh, kalau nggak dipilih, ya pasti nggal bakal dapat yang bagus.”

Tapi Yuto menyela lembut, “Jangan… kalau dipilih, yang hampir busuk nggak akan ada yang beli.

Fara pun terpaku padanya, sesaat, sebelum akhirnya hanya bisa menghela napas.

"Tapi kan Fara jadi rugi loh, Bang... mana harganya mahal kali," jawab Fara lesu, tapi tetap melakukan perkataan Yuto.

Lalu, Yuto dengan santainya berkata, "Biar nggak rugi, biarkan abang yang bayar semua belanjaan Fara."

Fara pun terpaku menatapnya.

.

.

.

.

.

Continued...

1
~ Dyan Ramanda ~
lah asli modus kali bang yuto nih, 🤭🤭🤭....
sama kita fara, banyak yg ngira lagi hamil gara2 gendut, 🤣🤣🤣🤣
Ayu retonisa
yuto kalau belanja tiap minggu pasti di protes nek hani dan ruka /Joyful//Joyful//Joyful//Joyful//Joyful/
Umi Jasmine
bukan sedang tpi lgi endut, spti saya byk yg mengira hamil
Hyull: /Curse//Curse//Curse//Curse//Curse/
total 1 replies
titissusilo
kode alam....istri alias otw istri ye kn fara
Tita Rosmiati
gitu amat yh orang tua nya Fara bikin emosi ,,,,duh modus terus nih Abang yuto 🤭🤭
Kirey Ruby
Yaah..10 org model kek Yuto,para pedagang bisa naik haji bbrp kali ini sih,faktor kasihan ama penjual,pembeli kek Fara lah yg rugi kali,secara uangnya pas2an /Grin//Grin/
EsTehPanas SENJA
hangat pasti dadamu 😌 bahagia pasti ya kaaaan ! 😁
EsTehPanas SENJA
kan orangnya yang ngomong sendiri far ....😅😭 dia bilang sendiri kan! ahh gemes aku sama si gendut ini 😭
magdalenad dewi simarmata
kenapa la Mak sama bapak Fara ngk perhatikan si Fara, aneh kalii
titissusilo
boleh gak Thor scene ortu nya Fara dkit aja,jd esmoni trs soal nya,prnh di posisi itu soal nya,perlakuan gak adil tuh membekas,gtu pun sampai Fara nikah msih di rongrong....klu Yuto gak tegas bsa jd keset....kmrn nenek Hani kurang garang ancaman nya
titissusilo: cman ntu yg msih minjem2 itu loh Thor yg bkin gedeg gmn pun anak klu sdh kluarga sndri udah gak jaman rongrong bgtu memang hrs di tegesin lagi
Hyull: Kalau udah nikah, Yuto bakal bawa Fara keluar dari rumah itu kok...
total 2 replies
Umi Jasmine
klu ke pasar sama bang yuto brtul fara bisa rugi, semua karena kasihan bang....
~ Dyan Ramanda ~
modusnya abang yuto boleh juga.. 🤭🤭🤭
Kirey Ruby: pasti Sora nih gurunya kak /Facepalm/
Hyull: Pasti ada yang ajarkan /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 2 replies
Ikha Mangil
Yuto semangat buat luluhkan hati Fara🤗😌🥰
Ayu retonisa
🥰
Umi Jasmine
fara kelihatan org nya tenang damai dan penyabar
Hyull: Sama kayak Yuto /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
Ikha Mangil
katakan cinta ala si Yuto,,😁
EsTehPanas SENJA
wakakaak salah tingkah dia 🤣🤣🤣
Tita Rosmiati
Fara masih ragu takut di bully dia
Kirey Ruby
Pasti akan ada pertanyaan dlm diri Fara,knp Fara..? krn semua org memandang sebelah mata ke Fara,Fara yg dikatain gendut dll tp itu semua adl ciptaan Allah,siapa yg mau minta dilahirkan dg tubuh gendut,pipi tembam,pasti kalo boleh minta dikasihnya tubuh yg sempurna,jarang banget ada cowo spt Yuto,makasih Yuto krn sdh mau menikahi Fara agar terbebas dr keluarganya yg toxic 🤗🤗😘😘
mak² rempong
so sweet🥰🥰🥰🥰🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!