NovelToon NovelToon
Alice Celestia Dalian

Alice Celestia Dalian

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Beda Usia / Cinta Beda Dunia / Teen School/College / Identitas Tersembunyi / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:216
Nilai: 5
Nama Author: Umi Nurhuda

"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.

Jalanan licin membuat mobil tergelincir.

"Kyaaa!!!"

Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.

"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.

Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.

"Selamat datang, gadis berambut hitam."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nggak, nggak ada.

Dalian berjalan dengan langkah berat menuju lapangan basket di belakang sekolah ketika di jam kosong.

Udara terasa lembap, dan angin sejuk berhembus pelan, mengusap wajahnya yang masih dipenuhi kegelisahan.

Ia menggenggam bola basket erat-erat, seolah benda itu mampu menenangkan pikirannya yang kacau.

Lapangan sepi. Hanya ada suara gemerisik dedaunan dan derit tiang basket yang berayun tertiup angin. Dalian memantulkan bola ke tanah, bunyinya menggema, ritmis, mengiringi detak jantungnya yang mulai mereda.

Ia mencoba melepaskan semua pikiran tentang Pak Pandita, tentang Kaya, tentang mimpi yang masih menghantui.

Dengan gerakan cepat, Dalian melepaskan tembakan ke arah ring. Bola melayang di udara, berputar, lalu masuk dengan mulus.

Tapi, alih-alih merasa lega, perasaan kosong tetap menguasainya. “Kenapa semuanya terasa begitu rumit?” gumamnya pelan.

Ia menembak lagi, lagi, dan lagi, hingga keringat mengalir di pelipisnya. Tetapi pikiran tentang Pak Pandita tidak bisa diusir. Sosok itu terlalu nyata, terlalu serupa dengan Kaya, tapi dingin seperti bayangan gelap yang menyusup ke dalam mimpinya.

Saat ia bersiap menembak lagi, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Langkah itu ringan, tapi ada sesuatu yang membuat Dalian terhenti.

Ia menoleh dan melihat Chelsey berdiri di pinggir lapangan, memandangnya dengan tatapan cemas.

"Masih mikirin guru baru itu?" tanya Chelsey, berjalan mendekat sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.

Dalian mengangguk pelan. "Ada sesuatu yang aneh tentang dia. Rasanya... dia seperti bukan manusia."

Chelsey menghela napas, duduk di bangku kayu di sisi lapangan. "Dalian, gue tahu elo terganggu. Tapi elo harus berhenti memikirkan hal-hal yang nggak jelas. Gue nggak mau sahabat gue makin terpuruk."

Dalian menatap bola di tangannya. "Tapi, Chelsey, dia tahu nama gue sebelum gue menyebutkan. Dan dia bilang gue satu-satunya yang bisa mengingat kejadian itu."

Chelsey terdiam sesaat, lalu menatap Dalian dengan tatapan serius. "Kalau elo yakin ada yang aneh, kita cari tahu bareng. Gue nggak mau ninggalin elo sendirian."

Dalian terkejut, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. "Makasih, Chelsey."

Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, Suara langkah kaki lain terdengar lagi, lebih berat, dan kali ini membuat bulu kuduk Dalian meremang ketika langkah kaki itu terdengar semakin cepat.

Ketakutan akan diserang sesuatu atau lebih bahaya dari apa yang dia pikirkan.

Kedatangannya langsung menyerobot bola Dalian, "Jangan lengah." Bisiknya.

Dalian terkejut. Bukan terkejut karena takut tapi melihat sesuatu yang tidak biasa baginya. Seorang siswa cupu. Kehadirannya cukup membuat Dalian terhibur, dia sejenak menahan tawanya.

Penampilannya mencolok dan aneh. Cowok itu mengenakan kemeja putih yang dikancingkan hingga ke leher, dihiasi dasi kupu-kupu merah.

Celananya terlalu tinggi, ikat pinggangnya berada di atas perut, rambut hitamnya licin disisir ke belakang, dan kacamata tebal bertengger di hidung. Punggungnya sedikit membungkuk, membawa kesan culun yang kentara.

Ketika permainan berhenti, cowok itu berjalan mendekat dengan langkah kikuk, tapi anehnya penuh percaya diri. "Hai, kalian!" serunya dengan suara riang yang terdengar sedikit canggung. "Boleh ikutan main kan?"

Dalian dan Chelsey saling berpandangan, kebingungan. Dalian mengangguk pelan, masih mencoba memahami kehadiran aneh murid ini.

Cowok itu kembali memungut bola basket yang tergeletak di tanah, lalu memantulkannya dengan cara yang canggung.

"Nama gue Karel," katanya sambil tersenyum lebar, menunjukkan gigi yang terlalu putih. "Gue murid baru di sini."

Dalian memperhatikan Karel dengan penuh waspada, namun tak ada tanda-tanda ancaman. "Gue Dalian, dan ini Chelsey," ucapnya singkat.

Tanpa menunggu lebih lama, Karel melempar bola ke arah Dalian, tapi lemparannya melenceng jauh. Dalian menahan tawa, terhibur meski merasa aneh. "Main basket lo parah banget, Karel."

Karel menggaruk kepala, tertawa canggung. "Hehe, maklum, gue lebih sering main catur daripada olahraga."

Namun, ada sesuatu yang membuat Dalian merasa nyaman di sekitar Karel. Mungkin karena sikapnya yang polos dan ramah.

Mereka mulai bermain bersama, meskipun jelas Karel tidak memiliki kemampuan bermain basket. Setiap kali Karel mencoba mencetak poin, dia gagal dengan cara yang konyol, membuat Chelsey tertawa terbahak-bahak. Dengan Dalian marah-marah karena kesal.

Tawa mereka memenuhi lapangan membuat Dalian mulai melupakan sejenak kekhawatirannya tentang Pak Pandita.

Permainan berlangsung dengan penuh canda tawa. Karel terus melakukan kesalahan yang tidak terduga, membawa bola tanpa melakukan drible, terlalu lama mendrible, melempar bola terlalu jauh hingga hampir mengenai pohon di pinggir lapangan.

"Karel, serius deh! Elo itu beneran murid baru atau aktor komedi? Salah mulu" komentar Dalian.

Karel tertawa kecil, mengangkat bahu. "Gue lebih ke murid baru yang pengen bikin teman baru. Kalau harus jadi badut supaya kalian senang, gue nggak keberatan."

"Lo aneh banget, tapi gue suka. Udah lama gue nggak ketawa kayak gini."

Karel tersenyum lebar, matanya berbinar di balik kacamata tebalnya. "Hidup udah cukup serius, kan? Gue cuma pengen kita semua bisa santai sebentar."

Dalian menatap Karel, masih merasa ada sesuatu yang aneh, tapi entah kenapa, dia merasa tenang. "Karel, lo selalu seceria ini?"

Karel menatap Dalian dengan senyum misterius. "Nggak selalu, tapi gue percaya satu hal: terkadang tawa adalah cara terbaik buat melawan kegelapan."

Matanya menyipit sejenak, seolah ada rahasia yang disembunyikan di balik keceriaannya.

Dalian terdiam, seolah-olah kata-kata itu menyentuh sesuatu yang dalam di hatinya. "Lo nggak sesederhana yang gue kira, ya?"

Karel hanya mengangkat bahu, lalu berdiri sambil menepuk-nepuk celananya yang berdebu. "Siapa sih yang benar-benar sederhana, Dalian?"

Saat Karel berjalan menjauh untuk mengambil bola yang terlempar jauh, Dalian dan Chelsey saling berpandangan. "Menurut lo, dia aneh nggak sih?" tanya Chelsey sambil menahan tawa.

Dalian mengangguk pelan, tapi kali ini dengan senyuman samar. "Aneh, tapi kayaknya gue butuh orang aneh kayak dia."

Saat Dalian dan Chelsey berniat kembali ke kelas, tubuh Dalian tiba-tiba terasa tidak seimbang sehingga dia hampir saja jatuh.

Sebelum Dalian benar-benar jatuh, Karel dengan sangat cepat langsung datang menolong.

Tatapan mata mereka bertaut, dan dalam sekejap suasana di sekitar terasa hening. Dalian menatap Karel yang masih memegang lengannya, merasa aneh dengan kecepatan reaksi Karel.

Seolah-olah Karel sudah tahu Dalian akan terjatuh. "Lo baik-baik aja?" tanya Karel, suaranya terdengar lembut, lebih serius daripada biasanya.

Dalian mengangguk pelan, masih mencoba memahami perasaan aneh yang menggelayut di hatinya. "Iya, cuma pusing dikit."

Chelsey, yang memperhatikan dari samping, mengangkat alis heran. "Cepet banget lo nolongnya, Karel. Lo punya radar atau gimana?"

Karel tertawa kecil, melepaskan pegangan tangannya dengan perlahan. "Kebetulan aja. Refleks."

Namun, ada sesuatu di mata Karel yang membuat Dalian ragu. Tatapan itu terasa familiar—seperti tatapan seseorang yang pernah dia kenal.

"Lo kayak... Kaya," gumam Dalian tanpa sadar.

Karel tersentak, namun segera menyembunyikan keterkejutannya dengan senyuman. "Kaya? Siapa itu?"

Dalian menggeleng pelan, menepis pikirannya. "Nggak, nggak ada. Lupakan aja."

"Yuk balik ke kelas," ajak Chelsey sambil merangkul Dalian. "Gue nggak mau kita kena marah gara-gara kelamaan di sini."

Dalian mengangguk dan berjalan pelan, tetapi pikirannya terus dipenuhi dengan kebingungan. Refleks Karel, tatapannya, bahkan cara dia berbicara—semuanya mengingatkan Dalian pada Kaya.

1
Bu Kus
wah serem dan menegangkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!