Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Rahasia"
Beberapa hari berlalu sejak Alya pingsan di Kafe Senyawa.
Dan dalam beberapa hari itu, Zavian berubah menjadi seseorang yang terus mengamati—dalam diam.
Alya tidak dikurung. Tidak diawasi ketat. Ia tetap diantar ke sekolah oleh sopir Zavian, duduk di bangku belakang mobil hitam dengan tangan saling menggenggam di pangkuan. Pulang sekolah, ia kembali ke rumah itu. Rumah yang terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu rapi untuk hidup yang selama ini ia kenal.
Zavian tidak banyak bicara padanya. Hanya memastikan ia makan. Tidur. Minum obat. Sesuatu yang terdengar sederhana, tapi asing bagi Alya.
Dan justru karena itu, Zavian semakin memperhatikannya.
Cara Alya selalu meminta izin sebelum melakukan apa pun. Cara ia tersentak setiap mendengar suara keras. Cara ia otomatis menunduk ketika berbicara dengan siapa pun yang dianggap “lebih tinggi”.
Semua itu… terlalu familiar.
---
Malam itu, Zavian berada di ruang kerjanya.
Ruangan luas dengan dinding gelap, rak-rak berisi dokumen dan senjata tersembunyi, serta meja besar dari kayu solid. Cahaya lampu meja menyorot wajahnya yang dingin, rahangnya mengeras.
Di depannya berdiri tiga orang kepercayaannya.
Bayu.
Ilham.
Dan Bima.
Mereka bukan sekadar anak buah. Mereka adalah saksi hidup dari jalan berdarah yang telah Zavian tempuh selama bertahun-tahun.
“Boss,” kata Bayu membuka suara, “kami sudah pastikan. Ayah gadis itu tidak mencarinya. Bahkan tidak melapor ke mana pun.”
Zavian tertawa pendek. Tidak ada humor di sana.
“Tidak mengejutkan.”
Ilham melipat tangan. “Tapi kami masih belum mengerti. Kenapa Anda membawanya ke sini? Ini bukan kebiasaan Anda.”
Ruangan hening.
Zavian berdiri dari kursinya, berjalan perlahan ke jendela besar. Lampu kota berkelip di kejauhan, seperti luka-luka kecil yang menyala di kegelapan.
“Karena dia mengingatkan saya pada seseorang,” katanya akhirnya.
Bima mengernyit. “Siapa?”
Zavian diam cukup lama. Tangannya mengepal perlahan, seolah menahan sesuatu yang sudah lama terkubur.
“Adik saya,” ucapnya pelan.
Ketiga pria itu langsung terdiam.
Nama itu jarang sekali muncul. Bahkan hampir tidak pernah.
“Dia diculik,” lanjut Zavian, suaranya tetap rendah tapi terasa berat. “Waktu itu usianya… bahkan lebih muda dari Alya.”
Bayu menelan ludah.
“Musuh kita?” tanyanya hati-hati.
Zavian mengangguk.
“Mereka butuh uang. Butuh kekuasaan. Jadi mereka menjual anak kecil.”
Ia tertawa pahit. “Dengan kata-kata yang sama seperti yang digunakan pada Alya—‘cuma nemenin tamu’, ‘cuma senyum’.”
Ilham mengumpat pelan.
“Saya mencarinya,” kata Zavian. “Ke setiap sudut kota. Setiap tempat kotor yang bisa kalian bayangkan. Tapi ketika saya menemukannya—”
Suaranya terhenti.
Ruangan terasa makin sempit.
“Dia sudah rusak,” lanjut Zavian akhirnya. “Dan tidak lama setelah itu… mereka membunuhnya. Untuk menutup jejak.”
Bima mengepalkan tangan. “Bangsat.”
“Sejak hari itu,” ujar Zavian dingin, berbalik menghadap mereka, “hidup saya berhenti menjadi tentang bisnis. Ini tentang membalas.”
Ia menatap mereka satu per satu.
“Setiap jaringan yang saya hancurkan, setiap orang yang saya jatuhkan—semuanya mengarah ke satu nama. Orang yang memulai semuanya.”
Bayu mengangguk pelan. “Dan Alya?”
Zavian menoleh ke arah pintu kamar di ujung koridor.
“Alya adalah bukti,” katanya. “Bahwa mereka masih melakukan hal yang sama. Bahwa dunia masih membiarkan anak-anak kecil dijual, dipukul, dipatahkan… lalu disuruh diam.”
Ia menghela napas pelan.
“Saya tidak bisa menyelamatkan adik saya,” ucapnya. “Tapi saya tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi lagi. Tidak di depan mata saya.”
Sunyi.
Tidak ada yang berani menyela.
“Pastikan ayahnya tidak mendekat,” perintah Zavian akhirnya. “Dan awasi sekolahnya. Diam-diam.”
“Baik, Boss,” jawab mereka serempak.
---
Di lantai atas, Alya duduk di tepi ranjang, menatap buku pelajarannya tanpa benar-benar membaca.
Ia merasa… aneh.
Tidak takut seperti biasanya. Tapi juga tidak tenang.
Ia tidak tahu bahwa beberapa ruangan jauhnya, seseorang sedang memikirkan masa lalunya sendiri—dan masa depannya.
Alya hanya tahu satu hal.
Setiap kali Zavian menatapnya, itu bukan tatapan seorang pria berkuasa pada gadis lemah.
Itu tatapan seseorang yang melihat luka lama… terbuka kembali.
Dan tanpa Alya sadari, hidupnya sudah terseret jauh ke dalam dunia yang seharusnya tidak pernah ia masuki.
Dunia dendam.
Dunia rahasia.
Dan dunia di mana satu keputusan bisa mengubah segalanya.
Dan persimpangan itu… baru saja dimulai.
Malam semakin larut.
Setelah anak buahnya pergi, ruang kerja Zavian kembali sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang berdengung pelan, dan detak jam di dinding yang terdengar terlalu jelas. Zavian tetap berdiri di dekat jendela, menatap pantulan dirinya sendiri di kaca gelap.
Bayangan itu tidak berubah selama bertahun-tahun. Mata yang sama. Wajah yang sama. Tapi di baliknya, ada sesuatu yang sudah lama mati.
Ia mengambil ponselnya, membuka satu folder yang jarang sekali ia sentuh.
Satu foto muncul di layar.
Seorang gadis kecil, tersenyum canggung ke arah kamera. Rambutnya diikat asal, seragam sekolahnya sedikit kebesaran. Senyuman itu… terlalu mirip.
“Kalau kamu masih hidup,” gumam Zavian pelan, “kamu seumuran dia sekarang.”
Dadanya terasa sesak. Perasaan yang biasanya ia tekan dengan kekerasan dan darah, malam ini muncul begitu saja. Tidak meledak. Tidak mengamuk. Hanya sunyi yang menyakitkan.
Ketukan pelan di pintu menariknya kembali ke kenyataan.
“Masuk,” ucapnya.
Pintu terbuka sedikit. Alya berdiri di sana, ragu-ragu, mengenakan sweater longgar yang disediakan untuknya. Rambutnya masih sedikit basah, seolah baru selesai mandi. Matanya menunduk, seperti biasa.
“Maaf… aku ganggu?” tanyanya lirih.
Zavian mematikan layar ponsel.
“Ada apa?”
“Aku… Mbak yang jaga bilang aku boleh ambil teh sendiri, tapi aku nggak tahu di mana.” Alya tersenyum kecil, canggung. “Aku nggak mau salah.”
Zavian terdiam sejenak. Hal sesederhana itu—takut mengambil teh tanpa izin—membuat rahangnya mengeras.
“Biar saya,” katanya akhirnya.
Ia berjalan keluar ruangan, Alya mengikutinya dengan langkah kecil. Di dapur besar itu, Zavian menuangkan air panas, menyeduh teh, lalu menyerahkannya pada Alya.
“Terima kasih,” ucap Alya cepat, kedua tangannya memegang cangkir hangat itu seolah benda berharga.
Mereka berdiri beberapa detik dalam diam.
“Kamu nggak harus minta izin untuk hal kecil,” kata Zavian tiba-tiba.
Alya terkejut, lalu menunduk lagi. “Kebiasaan.”
Zavian menatapnya lama. Kata *kebiasaan* itu menyimpan terlalu banyak cerita.
“Tidurlah,” katanya kemudian. “Besok kamu sekolah.”
Alya mengangguk. Sebelum pergi, ia berhenti sebentar.
“Pak Zavian,” panggilnya ragu.
“Hmm?”
“Aku nggak tahu kenapa Bapak nolong aku,” katanya jujur. “Tapi… terima kasih. Aku nggak pernah… merasa setenang ini sebelumnya.”
Ia pergi sebelum Zavian sempat menjawab.
Zavian berdiri sendiri di dapur, cangkir teh masih mengepul di tangan Alya yang kini tak ada.
“Tenang,” gumamnya pelan. “Itu sesuatu yang seharusnya kamu punya sejak awal.”
Malam itu, Zavian kembali ke ruang kerjanya. Ia membuka peta jaringan lama di layar besar—nama, lokasi, alur uang, jalur gelap yang dulu merenggut adiknya.
Ia menandai satu nama dengan warna merah.
“Permainan lama,” katanya dingin. “Tapi kali ini… aku tidak sendirian.”
Bukan karena Alya akan ia libatkan.
Justru sebaliknya.
Untuk pertama kalinya, Zavian sadar: dendamnya bukan lagi sekadar membalas kematian.
Ini tentang menghentikan lingkaran yang sama.
Dan jika dunia gagal melindungi anak-anak seperti Alya—
maka ia akan melakukannya dengan caranya sendiri.
Dengan harga apa pun.