Saat keadilan sudah tumpul, saat hukum tak lagi mampu bekerja, maka dia akan menciptakan keadilannya sendiri.
Dikhianati, diusir dari rumah sendiri, hidupnya yang berat bertambah berat ketika ujian menimpa anak semata wayangnya.
Viona mencari keadilan, tapi hukum tak mampu berbicara. Ia diam seribu bahasa, menutup mata dan telinga rapat-rapat.
Viona tak memerlukan mereka untuk menghukum orang-orang jahat. Dia menghukum dengan caranya sendiri.
Bagaimana kisah balas dendam Viona, seorang ibu tunggal yang memiliki identitas tersembunyi itu?
Yuk, ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13
Viona keluar dari kantor polisi setelah melaporkan kejahatan yang menimpa Merlia. Ia juga menyerahkan semua bukti berikut video yang sudah diperbanyak. Mengenakan kaos lengan pendek, jeans hitam, serta topi, dan juga masker yang menutupi wajah, Viona berjalan menuju sebuah tempat tongkrongan anak-anak jalanan.
Rambut panjangnya diselipkan pada lubang topi, bergoyang-goyang ke kanan dan kiri saat berlenggok di jalan. Tak terlihat seperti seorang perempuan yang sudah memiliki anak.
Di sana, di tepi jalan yang sepi, sekelompok remaja berkumpul. Bersenda gurau, tertawa tanpa beban hidup yang berarti. Di samping mereka motor-motor yang sering digunakan balap liar berjejer rapi.
"Itu dia!" Viona bergumam saat menemukan seseorang yang dikenalnya sedang duduk bersama salah satu pemuda yang bertubuh lebih besar darinya.
"Oh, jadi ketua gang?" Viona menghela napas, berjalan berseberangan dengan mereka.
Santai dan seolah-olah tak peduli, padahal sedang mengintai. Tak seperti para gadis yang mengenakan pakaian seksi, tak satu pun dari mereka berani menggoda Viona meski tahu seorang wanita.
"Dia tidak ingin membantuku kali ini. Dia sudah tidak ingin terlibat dengan masalahku."
Suara familiar mengusik pendengaran Viona, ia melirik dan tetap berjalan agar tidak dicurigai.
"Salah kita kenapa tidak membunuhnya saja waktu itu?"
Deg!
Nyaris langkah Viona terhenti, beruntung dia masih bisa mengendalikan diri. Tangannya mengepal, mengancam dalam hati. Ia pastikan satu per satu dari mereka akan mendapat balasannya.
****
Di markas Viona yang dulu, ketua terlihat senang sekaligus sedih setelah mendapat telpon dari bawahannya yang selalu bisa diandalkan itu. Tak ada misi yang tak berhasil saat Viona sudah turun tangan.
"Bagaimana, Ketua? Apakah agen Vi bersedia kembali?" tanya salah seorang bawahan sumringah.
Perempuan yang tengah duduk sendiri di sana mengangkat kepala mendengar nama itu disebutkan. Tatapan matanya dipenuhi kebencian dan dendam, dia tak suka kepada Viona. Entah apa yang sudah terjadi di antara mereka.
"Tidak. Dia meminta uangnya malam ini juga," jawab ketua mereka seraya berjalan menuju sebuah ruang penyimpanan.
Perempuan yang tak senang tadi mengekor di belakang, tak rela uang Viona yang dia inginkan diberikan kepadanya.
"Apa kau akan benar-benar memberikan uang itu kepadanya?" tanyanya berjalan cepat mengikuti langkah lebar sang ketua.
"Itu memang miliknya," sahut ketua sedikit ketus.
"Tidak bisa!" Perempuan itu berdiri menghadang langkah ketua. Wajahnya menyiratkan kebencian yang tiada tara terhadap sosok Viona.
"Uang itu tidak boleh diberikan kepadanya. Dia sudah lama tidak bekerja, kenapa kau harus peduli? Lagi pula dia sendiri yang memilih keluar dari sini," protesnya tak lagi menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap Viona.
Sang ketua menelisik wajah perempuan di hadapannya. Dulu, dia dan yang lainnya sering salah paham setelah perempuan itu masuk ke dalam kelompok mereka. Viona yang tidak pernah berbuat ulah, berubah menjadi sosok menyebalkan yang selalu mencari perhatian. Satu-satunya orang yang percaya padanya hanyalah Ghavin.
"Aku menyadarinya sekarang. Ternyata bukan agen Vi yang bermasalah, tapi kau!" tudingnya sengit.
Perempuan itu salah tingkah, dia sudah salah berucap sehingga menampakkan sifat aslinya.
"Ah, ti-tidak! Bukan seperti itu, Ketua. Maksudku adalah ...."
"Maksudmu adalah kau menginginkan posisi agen Vi dan juga segala apa yang sudah dicapainya. Bukan begitu, Kania?" Suara seorang pemuda juga ketukan langkahnya yang khas mengalihkan perhatian mereka.
Dia Ghavin datang setelah mendapat kabar tentang Viona yang menelpon markas mereka.
"Ghavin?" Keduanya bergumam.
Pemuda itu pun memutuskan keluar saat Viona tak lagi bekerja di sana.
"Apa maksudmu?" Perempuan bernama Kania itu bertanya tak senang, tapi Ghavin enggan menanggapi.
"Ketua! Bagaimana kabar Anda?" Ia menghampiri ketua mereka, dan berjabat tangan dengannya.
"Aku merasa baik-baik saja setelah melihatmu sekarang," katanya menepuk-nepuk bahu Ghavin lega.
"Kudengar agen Vi menelpon markas?" tanyanya.
Kedua orang itu tak mempedulikan Kania yang masih berdiri di hadapan mereka. Ketua membawa pergi ke Ghavin masuk ke dalam ruang penyimpanan untuk menyiapkan uang Viona.
"Ya, dia meminta uangnya malam ini juga, tapi menolak datang. Aku sangat ingin dia kembali. Kepergiannya membuatku kehilangan seseorang berharga dalam hidupku," keluh sang ketua menyesal karena sudah membiarkan Viona pergi.
"Kemarin dia datang ke rumahku. Sepertinya sedang menghadapi masalah serius. Uang itu sangat penting baginya," ucap Ghavin membuat sang ketua tertegun.
"Malam ini, gedung tiga belas," katanya seraya mengangkat sebuah koper berisi uang milik Viona.
Ghavin menganggukkan kepala, mengambil koper itu dan membawanya. Tanpa mereka sadari, Kania menguping pembicaraan dengan tangan mengepal kuat.
"Dia tidak boleh mendapatkan uangnya!" gumam Kania seraya bersembunyi di balik dinding agar tidak terlihat Ghavin.
****
Malam yang dinanti-nanti, gedung tiga belas yang dimaksud Viona adalah sebuah bangunan yang berada di tengah kota. Gedung rumah sakit yang diapit dua apartemen mewah. Ia mengintai, menggunakan teropong, menunggu kedatangan seseorang meletakkan uangnya di atas atap.
"Itu dia. Ghavin?" Kerutan terbentuk di dahi Viona saat melihat sosok Ghavin yang membawa koper itu.
Ghavin memutar tubuh, memberi isyarat bahwa uangnya sudah di sana. Ia tahu Viona ada di sekitar tempat tersebut, bersembunyi dan mengintai. Semua orang ingin perempuan beranak satu itu muncul dan berhadapan dengan Ghavin.
Namun, beberapa saat menunggu, sosok Viona tak terlihat. Ghavin menghela napas, berniat meninggalkan koper itu. Sebuah pergerakan dia rasakan di belakang tubuh, begitu cepat menyambar koper berisi uang.
"Terima kasih." Viona sudah berada di ujung atap saat Ghavin berbalik. Ia melompat tanpa ragu, turun ke bawah.
"Dia masih sama cepatnya seperti dulu," gumam Ghavin menatap takjub pada sahabatnya itu.
"Agen Vi benar-benar kembali, tapi bukan untuk kita," ucap teman-teman Ghavin yang bermunculan di atas atap bersama ketua mereka.
"Kedatangannya tak terduga, berlari secepat kilat!"
Ketua menatap ujung atap di mana Viona melompat. Dia merindukan perempuan itu. Perempuan yang namanya selalu di hati, tak tergantikan. Mereka berbalik pergi.
Sementara Viona berjalan di dalam gang sempit dan gelap di antara dua bangunan itu. Langkahnya terhenti saat seseorang berdiri di ujung gang lainnya, menghadang. Viona tersenyum sinis, dia mengenali sosok itu.
kyknya Peni yg terakhir.. buat jackpot bapaknya.. si mantan Viona..!! 👻👻👻