Sebuah rumah besar nan megah berdiri kokoh di tengah pedesaan yang jauh dari perkotaan. Rumah yang terlihat megah itu sebenarnya menyimpan banyak misteri. Rumah yang dikira biasa, nyatanya malah dihuni oleh ribuan makhluk halus.
Tidak ada yang tahu tentang misteri rumah megah itu, hingga satu keluarga pindah ke rumah tersebut. Lalu, mampukah mereka keluar dengan selamat dari rumah tempat Iblis bersemayam itu? Ikuti perjalanan mistis Bachtiar Purnomo bersama keluarganya!k
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
"Bella, kamu enggak lagi bikin cerita horor di pagi hari kan?" tanya Anggun, dia mencoba untuk merespon cerita sang anak dengan sikap tenang.
"Enggak, Ma. Bella serius, tadi Bella ngelihat Mama, kita bicara dan bertatapan langsung."
"Jangan dibahas lagi! Mending kita makan aja sekarang, papa udah bener-bener laper ni," sela Bachtiar mengalihkan topik pembicaraan mereka yang hanya akan membuat suasana menjadi tegang di pagi hari.
Anggun mengikuti arahan suaminya, dia langsung mengambil piring dan memasukkan nasi ke sana.
Bella tetap saja tidak tenang, tapi dia tidak lagi membahas kejadian aneh itu.
Cukup hatinya saja yang terus bertanya-tanya, mulutnya cuma bisa diam, dia tidak mau kalau hal itu membuat Anggun yang sedang hamil jadi kepikiran, dan akhirnya akan berdampak buruk bagi calon bayinya.
"Lahap banget makannya, Bell." Anggun tersenyum melihat cara putrinya makan.
Bella kembali kebingungan, pasalnya kali ini dia tidak makan sama sekali, Bella cuma menatap saja makanannya sambil sesekali mengaduknya, karena selera makannya sudah hilang.
"Ma, Bella enggak makan sama sekali, makanan Bella masih utuh," ucap Bella, ia mendekatkan piring nasinya ke depan Anggun. Barangkali mamanya itu tidak bisa melihat dari arah jauh, wajah Bachtiar berubah kebingungan.
"Bella, nasi di piring kamu tinggal setengah lagi," timpal Bachtiar.
"Mama, Papa, Bella enggak makan kok. Ini beneran masih utuh," ucap Bella mulai panik.
Keringat sebesar biji jagung terasa menetes dari keningnya.
Bella kembali melirik ke dalam mangkuk berisi gulai itu, mendadak dia melihat jeroan yang tadi dimasaknya ada di sana.
Satu demi satu ulat juga ikutan muncul, aneh tapi nyata.
Bella memutuskan untuk pergi dari ruang makan, dia semakin resah gelisah.
Mbah Ijan dan mbak Dewi sudah pulang ke rumah masing-masing, tinggal dia dan kedua orangtuanya dalam rumah penuh tipu daya Iblis itu.
Baru saja kaki Bella melewati kamar kakaknya, di sana dia bertemu dengan papanya yang kebetulan sedang berdiri menghadap jendela.
Bella berpura-pura tidak melihatnya, dia beneran sudah takut, tidak bisa membedakan mana orangtuanya mana yang bukan.
"Mau ke mana, Bell?" tanya Bachtiar.
Yang sekarang berada di depannya bukanlah Bachtiar. Orangtua aslinya masih berada di ruang makan, mereka bingung kenapa Bella pergi begitu saja.
"Be-Bella mau ke tempat teman, Pa," jawab Bella gugup.
"Di rumah aja, enggak usah pergi!"
"Ada yang harus Bella bahas soal materi di sekolah, Pa."
"Di rumah aja, Bell!"
Bachtiar masih tetap menatap ke luar jendela, posisinya tetap memunggungi Bella. Cara bicaranya dingin dan tidak bersahabat, Bella berjalan pelan-pelan berusaha pergi dari sana.
Kalau bisa dia ingin lari dengan langkah seribu.
"Ta-tapi ini penting, Pa."
"Kamu tidak boleh keluar dari rumah ini!" teriak Bachtiar, wajahnya mendadak berubah jadi menyeramkan.
Bella segera kabur dari sana, ia pergi dari rumahnya dan menuju kediaman ki Seto.
Di tengah perjalanan, meski sudah keluar dari rumah itu, perasaan Bella juga tetap tidak tenang. Ia merasakan ada orang yang mengikutinya dari belakang, Bella mempercepat langkahnya supaya tiba di tempat ki Seto secepat mungkin.
"Aku tidak bisa tinggal di rumah itu terus, aku harus pergi dari sana. Aku enggak mau jadi tumbal mereka," ucap Bella. Saat beberapa menit lagi hampir tiba di rumah ki Seto, ia bertemu dengan Rendra.
Rendra memikul satu karung rumput di atas pundaknya.
"Kak, kebetulan sekali kita ketemu di sini," ucap Bella, ia mulai menghentikan langkahnya.
Rendra juga berhenti, ia meletakkan karung berisi rumput untuk makan ternaknya di atas tanah.
Rendra memperhatikan Bella dengan ekspresi datar. "Kamu kenapa panik gitu?" tanya Rendra.
Bella mulai menjaga jarak dengan Rendra, kini hatinya diselimuti keraguan. Dia mulai ragu kalau yang berada di depannya saat ini bukanlah Rendra yang sesungguhnya, Rendra kemudian tersenyum melihat Bella yang ketakutan.
"Kamu takut karena ekspresi aku?" tanya Rendra.
"Kamu bukan Kak Rendra."
"Aku Rendra, Bell. Aku tahu kenapa kamu jadi begini, kamu pasti kebingungan karena di rumah bukan cuma ada kalian sebagai penghuni rumah itu kan? Ada makhluk lain yang juga menyerupai kalian, benar kan tebakanku?"
Perkataan Rendra semakin membuat Bella syok, bagaimana mungkin Rendra tahu akan hal itu?
"Kenapa? Kamu pasti kaget kan? Kamu kaget karena aku juga tahu hal itu. Enggak usah kaget, Bella. Bulan purnama sudah hampir tiba, ini baru gangguan awal, kalian akan merasakan diganggu lebih parah lagi daripada ini," ujar Rendra.
"Kak, aku mau ketemu sama ki Seto. Ayo anterin Bella ke sana! Bella cuma mau bertemu ki Seto, karena bi Iren sudah tidak bisa dipercaya lagi," ucap Bella.
Rendra kembali meletakkan karung itu di atas pundaknya, dia dan Bella berjalan beriringan menuju rumah ki Seto.
****
"Kak, ini kan bukan jalan menuju rumah kamu. Ngapain kita ke sini?" tanya Bella.
"Aku mau ngasih makan kambing dulu, kandangnya enggak jauh kok dari sini. Nanti pulangnya kita muter ke jalan itu aja!" tunjuk Rendra, "jadi enggak jauh dari rumah," sambungnya lagi.
Bella patuh saja, dia mengikuti ke mana pun Rendra melangkah.
Begitu sampai Rendra langsung memberikan binatang ternaknya makan, ia tidak berlama-lama di sana. Mereka kemudian kembali melanjutkan perjalanan begitu semuanya selesai.
Saat keluar dari jalan setapak itu, Rendra dan Bella tak sengaja melihat bi Iren pergi menuju kebun teh sendirian.
Sikapnya membuat mereka curiga, entah apa yang masih disembunyikan wanita itu.
"Kak, bi Iren kira-kira mau ke mana ya?" tanya Bella.
"Enggak tahu, kita ikutin aja!"
Gerak gerik bi Iren sangat mencurigakan, beliau celingukan sana sini, pandangannya juga tampak awas memperhatikan area sekelilingnya.
Saat dirasa aman, bi Iren masuk ke salah satu gubuk yang ada di sana.
Tidak jauh dari lokasi kebun teh memang ada dua gubuk, satu gubuk adalah tempat untuk disimpannya daun teh yang telah dipetik, dan gubuk satu lagi adalah gubuk yang tidak pernah dimasuki oleh orang lain kecuali bi Iren, bu Arum, dan pak Purnomo. Mungkin ki Seto juga tidak tahu apa isi gubuk tersebut.
"Kak, bukannya itu gubuk yang tidak pernah ada orang masuk ya?" tanya Bella.
"Lebih tepatnya sudah lama kosong, Bell. Dulu waktu nenek sama kakek kamu masih ada, mereka sering ke sana. Tapi anehnya aku tidak tahu apa nenekku pernah ke sana atau tidak? Melihat nenek dengan tingkahnya yang sangat mencurigakan, aku yakin kalau dia nyimpen rahasia di belakang kita, ayo kita cari tahu!" Rendra berjalan lebih dulu, Bella di belakangnya dengan perasaan was-was.
"Wahai penguasa dari kegelapan, bangkitlah dalam jiwa yang kosong! Ku panggil kau untuk kembali, merasuki jiwa-jiwa yang meminta, jiwa-jiwa yang kesepian. Bangkitlah dalam jiwa yang kosong! Bangkitlah! Bangkitlah!"
Bella jadi merinding, seluruh bulu-bulu halus di tangan Bella berdiri tegak, ia menatap Rendra dengan pandangan tak percaya.
Wanita yang tampaknya begitu baik hati dan lemah lembut, ternyata juga tak kalah mengerikannya.
Rendra terpaku diam, tubuhnya menegang. Mulutnya tak sanggup berkata-kata, dia gemetar.
Keduanya saling bertatapan dan berpegangan tangan, Bella ingin menjerit, dan Rendra segera memeluk gadis itu.
"Kak, itu bukan bibi. Sebaiknya kita pulang!" bisik Bella.
Bi Iren sudah mengganti bajunya dengan pakaian gamis warna hitam. Rambutnya yang biasa disanggul juga dibiarkan tergerai bebas, ada lingkaran hitam di bawah matanya.
Rendra dan Bella bersembunyi di balik tong besi yang terletak dalam gubuk tua itu.
Ada banyak sekali alat ritual di sana, ada juga kepala ayam yang di gantung di sepanjang pintu masuk.
Bi Iren berdiri, ia mengeluarkan seekor ayam dari dalam kurungan, lalu leher ayam itu dipotong hingga darahnya menetes dan jatuh ke dalam sebuah wadah.
"Kak, apa itu? Apa yang ada di atas meja itu?" tanya Bella.
"Enggak tahu." Rendra menggeleng pelan.
Bi Iren mulai menyingkap kain putih polos yang menutupi sebuah meja panjang di depannya.
Dari bentuknya Bella curiga kalau itu adalah mayat, tapi mayat siapa?
Rendra tahu kalau itu adalah neneknya, tapi kenapa neneknya jadi seperti ini?