Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10.
Rumah mewah Keluarga Perkasa terlihat hening mengarah ke sunyi, cukup aneh untuk sebuah rumah dengan deretan mobil mewah dan juga pekerja yang terbilang cukup banyak tidak mampu membuat rumah itu memiliki jiwa. Hari yang cukup cerah juga udara bersih nan hangatnya berubah menjadi suram juga dingin ketika berusaha masuk ke dalam setiap celah di ruangan rumah itu. Ibu Rania terlihat di ruang baca perpustakaan mininya, wanita yang masih terlihat cantik diusianya itu meneguk kopi yang disuguhkan sambil membaca sebuah buku. Pandangan matanya tiba - tiba teralihkan sedikit kepada sebuah telepon rumah bergaya retro di dekatnya.
"Halo...," sapa singkat dengan nada tenangnya.
Ditutup buku yang cukup lama dibacanya dan dibiarkan diatas paha wanita itu, begitu dengan kacamata baca dengan kemudian satu jemari yang masih memegang alat bantu matanya mengusap pelan bibir wanita itu yang terlihat sangat sehat. Tatapan sinis dengan satu alis terangkat perlahan terbentuk, ketika orang diseberang telepon terus berbicara.
"Awasi terus dan kirimkan semuanya ke email saya...," ucapan terakhir Ibu Rania yang kemudian memutus sambungan telepon itu.
Senyum miring persis seperti senyuman Sang Anak terbentuk, wajahnya yang ber mimik dingin masih terlihat. Perlahan kembali digunakan kacamata dan dibaca bukunya dalam diam.
xxxxxxxx
Di lain sisi, Danar terlihat sudah duduk di salah satu sofa ruangan kantornya dengan kepala tertunduk lelaki itu memijit pelipisnya dengan mata terpejam. Pikiran lelaki lumayan tampan itu kalut dan tidak fokus sampai - sampai ketukan di ujung pintu ruangannya tidak terdengar.
"Permisi Pak, saya...," ucapan tamu yang tidak lain adalah Luna terhenti.
Mata dan ekspresi wajah perempuan muda itu terlihat sangat terkejut saat melihat pemandangan di depannya. Semua pajangan serta kaca salah satu meja yang tadi pagi dibersihkannya sudah hancur berkeping - keping bahkan layar televisi retak sebagian.
"Silahkan dibersihkan...," ucap Danar tanpa melihat kearah Luna, sebaliknya perempuan itu mengalihkan pandangannya ke arah Sang Atasan yang berekspresi datar.
Perlahan di dorong kereta kerja Luna, kemudian dia memasang sarung tangan juga mengeluarkan penyedot debu juga sapu serta sekop. Seteliti dan sangat berhati - hati perempuan itu bekerja karena sekelilingnya yang terlihat hanya pecahan beling, namun yang namanya nasib sial tidak dapat dihindari. Sebuah pecahan beling cukup besar menggores samping tangan Luna dekat dengan pergelangan, dia memejamkan mata sesaat menahan sakitnya dan posisinya berubah dari berjongkok menjadi berdiri. Dia berniat mengambil peralatan P3K yang memang selalu ada di kereta kerjanya, namun betapa terkejutnya dia ketika berbalik Danar sudah berdiri tepat dihadapannya dan membuat perempuan itu terkejut, keseimbangan tubuh Luna menjadi taruhannya, tapi dengan sigap lagi - lagi Danar menangkap tubuh limbung Luna. Mata dan tubuh mereka kembali menjadi sangat dekat.
"Kayaknya kamu memang selalu ingin menggoda saya ya...," ucap usil Danar.
Pupil Luna membesar dan kemudian mendorong tubuh Danar dengan kedua tangannya, senyum lebar disertai tawa kecil lelaki itu terlihat juga terdengar jelas. Sedangkan wajah masam juga kesal terlihat dari Luna yang kemudian berjalan kearah kereta kerjanya, namun langkahnya kembali terhambat, tatkala satu tangan kokoh Danar menahan lengan perempuan itu dengan lembut. Wajah Luna kembali terkejut, ditambah tiba - tiba tubuhnya melayang dan berpindah tempat dengan cukup cepat tanpa sempat dia memberi perlawanan.
"Diam atau kamu mau yang tidak - tidak terjadi disini?" ancam Danar yang melihat Luna sudah akan melakukan pemberontakan dengan mulut juga tubuhnya.
Namun segera diturunkan olehnya dan dia memilih untuk menuruti perintah Sang Atasan. Danar terlihat berada berlutut dibawa dan sibuk mencari sesuatu di salah satu meja kerjanya sedangkan Luna duduk di kursi kebesaran lelaki tinggi nan atletis itu dalam diam sambil terus memegang luka di tangannya.
"Hehm, kenapa kamu tidak berusaha merayu saya? kenapa kamu tidak menunjukkan rasa takut ke saya ketika membela temanmu? dan kenapa tidak merintih kesakitan saat kamu terluka seperti ini? kenapa semua ditahan?" Danar bertanya secara bertubi - tubi tanpa memberi ruang Luna untuk menjawab.
Kerutan dikenang Luna terbentuk sambil memandangi Danar yang sedang membersihkan lukanya juga membalut dengan sentuhan yang lembut. Perempuan itu masih terdiam hingga kepala Danar yang awalnya tertunduk kini sudah mengarah kepadanya dan lagi - lagi kedua retina mereka berpadu.
"Saya hanya tidak mau punya urusan lain selain pekerjaan dengan Bapak. Malam itu juga pertemuan kita sampai hari ini adalah sebuah kesalahan. Jadi saya mohon pada Bapak, perlakukan saya selayaknya bawahan divisi kebersihan lainnya. Terimakasih untuk plester dan perhatian Bapak, permisi, saya harus melanjutkan pekerjaan...," jelas Luna dengan bahasa tegas dan juga tatapan mata yang serius.
Danar masih terpana dan membeku hingga Luna harus mendorong kursi yang dia duduki untuk kembali menyelesaikan pekerjaannya. Tawa sangat kecil dengan helaan napas pendek terdengar sesaat dari Danar. Lelaki itu kemudian berdiri dan duduk di kursinya, dipandangi sesaat Luna yang sedang bekerja dalam diam.
Hampir sekitar 1 jam, keduanya hening hingga Luna kembali bersuara,
"Pak, semua sudah selesai juga bersih. Jika tidak ada yang Bapak perlukan lagi, saya ijin pamit...,"
Danar bahkan tidak memandang kearah Luna apalagi berniat menjawab laporan perempuan muda itu. Luna menghela napas untuk mengatur emosinya, setelah menunduk sesaat sebagai salam hormatnya, perempuan itu berjalan kearah kereta dan menuju gagang pintu ruangan. Namun, saat di dorong gagang pintu itu tidak bergeser sedikit pun. Dicobanya beberapa kali, tetap tidak berubah hingga napasnya tersengal.
"Bagi saya malam itu dan pertemuan kembali denganmu sampai hari ini bukanlah kesalahan apalagi penyesalan...," ucap Danar sambil berjalan mendekat kearah Luna.
Perempuan muda yang masih menatap kearah pintu ruangan itu sedikit tertunduk dengan memejamkan matanya sesaat. Dia mencoba mengatur tingkat emosinya yang sudah naik ke level 3 itu, Luna berbalik perlahan disaat yang sama Danar meraih pinggang agak ramping perempuan berambut kepang itu dan membuat tubuhnya menabrak tubuh lelaki berambut koma itu. Tanpa meminta ijin dan sedikit memaksa, bibir Danar sudah menempel dengan perlawanan diawal Luna hingga bibirnya berhasil lepas.
Napas Danar terdengar sedikit tersengal, dengan tangan lainnya memegang kepala bagian belakang Luna.
"Jika ini tidak berimbas dengan perubahan degupan jantungmu, berarti memang hanya aku yang menyukai sejak awal. Tapi jika...," ucapan Danar terhenti ketika kedua tangan Luna yang awalnya melawan lalu diletakkan di depan kedua dada bidang lelaki itu.
"Kita berbeda Danar...," ucap perempuan itu lirih dengan tatapan mata yang berbinar.
Seketika ekspresi wajah Danar berubah terkejut, dipandangi secara bergantian retina mata Luna. Keduanya saling pandang dalam diam, disaat yang sama jantung mereka juga berdebar dengan hebatnya.
********