Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata keluarga? Rumah untuk berteduh? Tempat meminta perlindungan? Tempat memberi kehangatan? Itu semua benar. Tetapi tidak semua orang menganggap keluarga seperti itu. Ada yang menganggap Keluarga adalah tempat dimana ada rasa sakit, benci, luka dan kekangan.
"Aku capek di kekang terus."
"Lebih capek gak di urus."
"Masih mending kamu punya keluarga."
"Jangan bilang kata itu aku gak suka."
"Kalian harusnya bersyukur masih punya keluarga."
"Hidup kamu enak karena keluarga kamu cemara. Sedangkan aku gak tau siapa keluarga aku."
"Kamu mau keluarga? Sini aku kasih orang tua aku ada empat."
"Kasih aku aja, Mamah dan Papah aku udah di tanam." Tatapan mereka berubah sendu melihat ke arah seorang anak laki-laki yang matanya berbinar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Echaalov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Hari sudah menunjukkan sinar senjanya. Candy dkk sedang duduk di teras mesjid dengan memandang langit senja. Terjadi keheningan diantara mereka.
"Hari yang melelahkan ya," ujar Naysa memecahkan keheningan di antara mereka.
Candy menghembuskan nafasnya."Iya."
"Kamu masih takut? " tanya Tyra khawatir. Dari tadi Candy hanya diam tumben sekali. Tapi mungkin karena kejadian siang, Candy jadi seperti itu.
"Jelas masih takut kita berdua ngelihat ular sebesar itu di hadapan kita," bukan Candy yang menjawab melainkan Tania.
"Aku bersyukur Allah menolong kita dari bahaya tadi," ucap Candy, di angguki oleh mereka semua.
Di depan sana terlihat Azel dkk. Candy menatap Azel namun anak laki-laki itu memalingkan wajahnya. Saat Candy sudah tidak menatapnya lagi Azel menatap Candy.
"Gak masuk? " tanya Anka.
"Duluan aja kita lagi menikmati senja," ucap Tania.
"Menikmati senja," ucap Gerald sambil tertawa.
"Kenapa ketawa? " geram Tania. Ia tahu Gerald meledeknya.
"Gakpapa," setelah itu Gerald menyusul teman-temannya yang sudah masuk ke dalam mesjid.
Tak lama setelah itu terdengar adzan Maghrib. Mereka pun menunaikan ibadah shalat Maghrib.
Kini mereka sedang duduk berjajar melihat ke depan. Di sana ada Rangga, Arga, Dimas, Wulan dan Adelia.
"Kita akan mengikuti lomba antar mesjid," ucap Rangga. Anak-anak bersorak gembira akhirnya ada perlombaan lagi setelah sekian lama.
"Diam dulu saya akan menjelaskan siapa saja yang mewakili mesjid ini," ucap Rangga.
"Untuk lomba Tahfidz di wakili oleh Azel."
"Gak salah kak? " tanya Candy tidak percaya.
"Di antara kalian hafalan Azel sudah lebih jauh dan makhorijul huruf sudah benar," ujar Arga. Karena Arga yang berucap Candy pun tidak bertanya lagi.
"Lomba puisi islami di wakilkan oleh Tania dan Gerald."
"Lomba Adzan di wakili oleh Anka."
"Lomba kaligrafi di wakili oleh Tyra dan Harrel."
"Lomba pidato atau dakwah di wakilkan oleh Naysa."
"Dan untuk lomba terakhir yaitu cerdas cermat akan di wakilkan oleh Candy, Mila, dan Rain."
"Apakah ada yang keberatan? "
"Tidak."
Anak-anak tidak ada yang keberatan karena menurut mereka orang-orang yang di sebutkan cocok untuk mewakilkan lomba tersebut.
"Baik karena tidak ada yang keberatan, maka orang yang mengikuti lomba harus mempersiapkan dirinya. Perlombaan akan di lakukan dalam seminggu lagi," ucap Rangga.
"Untuk lomba Tahfidz dan Adzan akan di latih oleh kak Dimas."
"Lomba pidato atau dakwah akan di latih oleh kak Arga."
"Lomba kaligrafi akan di latih oleh kak Wulan."
"Lomba puisi islami akan di latih oleh kak Adelia."
"Dan lomba cerdas cermat akan di latih oleh saya," ucap Rangga.
Hal itu membuat teman-temannya menatap Candy. Candy yang mengerti tatapan mereka kesal.
"Semangat Sesel di latih kak Rangga," ejek Tania.
"Harus bisa Sel," ucap Naysa lalu terkekeh kecil.
"Kamu pasti bisa," ujar Tyra.
"Kita gantian aja yu, Ra. Kak Rangga kan cuman baik sama kamu," ucap Candy menatap Tyra.
"Gak mau aku suka lomba kaligrafi. Lagian aku gak mau ikutan cerdas cermat bikin otak pusing aja," balas Tyra. Candy hanya menghela nafas.
Sepertinya dalam seminggu ke depan hidupnya akan penuh cobaan. Apalagi ia harus berhadapan dengan kak Rangga yang selalu membuat kesal.
"Kalian siapkan ikutan lomba," ujar Arga.
"Siap kak," ucap mereka serentak.
"Baik mulai besok kita latihan. Yang tidak ikut lomba jangan berkecil hati kalian akan ikut lomba tahun depan. Bagi yang gak ikut lomba kalian bisa menyemangati teman-teman yang ikut lomba," ucap Arga sambil menatap anak-anak.
"Iya kak," ucap mereka serentak.
Setelah itu mereka shalat Isya lalu pulang ke rumahnya masing-masing.
"Tumben kamu gak protes, biasanya kamu gak mau ikutan lomba kayak gini," ucap Gerald menatap Azel.
Saat ini mereka tengah berjalan untuk ke rumah masing-masing. Rumah mereka emang se arah. Jadi mereka berjalan bersama.
"Pengen aja," ucap Azel singkat.
Setelah itu tidak ada percakapan lagi, sampai mereka tiba ke rumah masing-masing.
Harrel membuka pintu rumahnya. Saat akan masuk ke dalam kamarnya ada suara seseorang yang memanggilnya.
"Harrel ke sini kamu," ucap orang itu. Suara itu berasal dari ruang tamu.
Harrel pun berjalan menuju ruang tamu di sana sudah ada Mama dan Papa nya sedang duduk di sofa.
"Ada apa Ma? " Ya orang yang memanggilnya adalah Mama nya yang bernama Tari.
"Mama nemuin ini di laci meja belajar kamu," ucap Tari sambil menunjuk sebuah kertas ujian.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau ada ujian? " ucap Dito - Papa nya.
"Harrel mau bilang kok," ucap Harrel takut. Ia menundukkan kepalanya tidak berani menatap Dito dan Tari.
"Kamu bohong, kamu pasti umpetin ini agar Mama dan Papa gak tahu kan? " marah Tari.
"E-enggak Ma," jawab Harrel gugup.
"Nilai 80 pantesan kamu umpetin tuh nilai," ucap Dito.
"Kamu belajar tidak? Bisa-bisanya kamu mendapatkan nilai yang jauh dari angka 100," marah Tari.
"Aku belajar kok Ma, cuman kemampuan aku hanya sebatas itu," Harrel semakin menundukkan kepalanya.
"Anak bodoh, hasil segini kamu dapat dengan belajar? Mama akan masukkan kamu beberapa les agar nilai kamu naik," ucap Tari.
"Tapi Ma," Harrel mendongakkan kepalanya menatap Tari.
"Jangan membatah Harrel, turuti ucapan Mama mu," ucap Dito tidak ingin di bantah.
"Kalau sampai nilai kamu gak naik, Mama gak sudi punya anak bodoh kayak kamu," ucap Tari menatap Harrel.
"Sebenarnya otak kamu nurun dari siapa? Papa dan Mama bahkan tidak pernah mendapatkan nilai serendah itu," ucap Dito. Harrel merasa sakit hati mendengar ucapan Dito.
"Sepertinya kita terlalu membebaskan dia untuk bermain. Jadi dia mulai bermalas-malasan," ujar Tari.
"Mulai sekarang saat pulang sekolah kamu langsung les jangan bermain dengan teman-temanmu yang membawa pengaruh buruk."
"Ini bukan salah mereka Pa," ucap Harrel. Ia tidak mau teman-temannya di salahkan oleh Dito.
"Kalau begitu ini salah mu? " tanya Dito menatap tajam anaknya. Harrel tidak berani menjawab.
"Cepat ke kamar dan belajar," ucap Tari.
Harrel pun dengan cepat berjalan masuk ke dalam kamarnya. Setelah sampai di kamarnya ia mengunci pintu takut Mama dan Papanya masuk.
Ia berjalan ke arah meja belajar dan mulai membuka bukunya mengulas materi yang telah di pelajarinya di sekolah. Meski hari libur Harrel tetap harus belajar. Tidak ada hari tanpa belajar.
Saking seringnya ia belajar kadang ia sampai muak melihat buku-buku pelajaran. Kadang juga Harrel iri kepada temannya, Azel. Tanpa harus belajar Azel selalu mendapatkan nilai yang bagus.
"Andai aku adalah Azel, pasti Mama dan Papa sayang aku kan? Pasti aku akan menjadi anak yang membanggakan untuk mereka? Mama dan Papa juga gak akan marah-marah lagi kan? " Harrel tersenyum pahit.