NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Lansia
Popularitas:941
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Anto berdecak kesal.

"Kamu tega banget, Man! Kita pergi 3 hari 3 malam, lho! Duit yang kemarin pasti sudah habis. Gimana sih Kamu jadi suami?!" Iman melongo. Ia sama sekali tidak memikirkan itu. Karena senangnya, 3 hari kemarin itu serasa sehari baginya.

"Jadi kurang, dong!" keluhnya. Anto menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mengeluarkan lagi dompetnya. Kali ini ia mengeluarkan 2 lembaran berwarna merah. Itu uang pribadinya.

"Ini buat Nisa. Kasihin! Awas kalau Kamu tilep lagi!" Iman menerimanya dengan senang hati.

"Beli jorannya yang sejuta aja kali, ya? Buat Nisa cepek aja." Anto melotot.

"Awas kalau berani! Aku patahin Kakimu sekalian!" ancamnya. Iman pun takut. Anto selama ini selalu menepati kata katanya. Ia bisa sangat galak pada orang lain, tapi pada sahabat sahabatnya ia lebih banyak mengalah.

"Ya udah sana!" balas Iman.

"Ngusir nih, ceritanya?"

"Kagak, Bang! Kali Kamu udah kepagian!" Iman tertawa. Ia tau Anto paling tidak suka dipanggil Abang. Kesannya ia terlalu tua. Padahal mereka hampir seumuran.

"Dasar sialan emang!" Anto menyalakan mesin mobilnya.

"Aku pulang. Assalaamu 'alaykum!"

"Wa'alaykum Salam!" Iman tidak menunggu sampai mobil Anto berlalu dari hadapannya. Ia langsung masuk ke dalam rumah yang tidak pernah di kunci oleh Nisa kalau Dia akan pulang malam seperti ini.

"Kunci dong, Mah. Nanti kalau ada orang asing masuk gimana?" Imam pernah menegurnya waktu itu.

"Lillaahi ta'ala." begitu jawaban Nisa. Ia lebih tidak ingin bangun tengah malam untuk membukakan pintu untuk suaminya.

Ia juga pernah meminta Iman untuk membawa kunci cadangan, tapi Iman menolak.

"Kalau jatuh di jalan terus hilang, gimana?" Ya sudah. Nisa yang ada di rumah. Nisa tidak mau mengunci pintunya, mau bagaimana lagi?

"Assalaamu'alaykum!" teriaknya. Tidak ada jawaban.

Ia menemukan Nisa tengah bersujud di atas sajadahnya. Iman melihat hpnya. Ternyata sudah jam 3 pagi.

Iman membaringkan tubuhnya di sebelah Doni. Kalau Iman tidak ada, Doni ingin tidur bersama Mamanya.

"Dasar sableng!" gerutu Anto sebelum melajukan mobilnya.

Begitu menyentuh bantal, Iman langsung tertidur. Ia tahu setelah sholat malam Nisa tidak akan tidur lagi.

"Assalaamu'alaykum." tolehan ke kanan.

"Assalaamu'alaykun." tolehan ke kiri. Nisa melihat suaminya yang sudah tertidur pulas. "Alhandulillah. Papah sehat dan selamat."

Bisik Nisa sebelum ia bangun dan melanjutkan sholat malamnya.

"Ya Allah, puji Syukur pada Engkau yang telah mengabulkan doaku. Terimakasih KAU kembalikan suamiku dalam keadaan sehat dan selamat."

Dalam tidurnya Iman seperti mendengar do'a yang dipanjatkan Nisa. Ia balas berdoa, jauh dari dalam lubuk hatinya yang terdalam.

"Terimakasih Ya Allah. KAU pilihkan Nisa untukku. Ampuni Aku yang selalu membuatnya menangis."

Bibirnya bergetar tanpa ia sadari dan Nisa melihatnya.

"Pasti lagi mimpi menaiki gunung dengan mobilnya. Ia pasti ketakutan tapi juga menikmatinya." perlahan Nisa mengusap rambut suaminya dengan sepenuh cinta. Meskipun seringkali membuatnya kesal dan menangis, Nisa tetap sangat mencintai Iman dan tidak mau kehilangannya.

Merasa ada yang membelai rambutnya, Iman terjaga. Netranya langsung menangkap wajah Nisa yang sedang menatapnya.

"Kenapa, Mah?" Iman menguap. Nisa tersenyum.

"Kangen, ya? Baru juga berapa hari."

"Ge er!" senyum di bibir Nisa hilang berganti dengan bibir yang mengerucut.

"Lah, itu. Ngeliatinnya sampai sebegitunya." Iman menguap lagi. Ia benar - benar sangat mengantuk.

*******

"Mamah senang Papah udah pulang nggak pakai lecet." ketus Nisa. Iman tahu Nisa tengah menutupi perasaannya.

Iman meraih Nisa agar ikut berbaring di sebelahnya.

"Sempit." tolak Nisa.

"Lagian Mamah nggak mau tidur lagi. Udah, Papah aja yang tidur lagi."

Iman mengangguk.

"Papah tidur, ya?" ganti Nisa yang mengangguk. Iman kembali memejamkan matanya dan kembali terlelap.

Nisa menghela nafas. Ia tahu Iman begitu lelah. Ia mengambil Al qur'annya dan suaranya mulai mengalun lirih.

Masa lalu memang sejarah, tidak ada cerita hari ini tanpa keberadaan kenangan masa lalu.

Iman dan Nisa pernah mengalami tahun - tahun emas mereka. Apa yang terjadi dengan pemancingan mereka?

Bagaimana Abang Hasby menerima laporan dari Iman? Apakah ia akan memaksa meminta bagian seperti keinginan saudara saudaranya yang lain?

Apa pemancingan dapat terus berjalan di tangan Iman yang mudah menyerah itu?

Dahi Hasby berkerut saat membaca laporan yang dibuat Nisa.

"Bulan ini belum beli pelet, Bang. Belum buat bayar listrik Abang juga. Terus rencananya sisa uangnya Saya mau pakai buat nambahin beli ikan. Pemancing komplain, Bang. Katanya, ikannya nggak makan." terang Iman panjang lebar.

"Jadi bulan ini nggak ada sisanya, begitu?"

"Iya, Bang."

"Bulan - bulan kemarin kenapa Kamu nggak beli ikan?"

"Beli juga kok, Bang. Tiap bulan sisa uang selalu Saya beliin ikan. Biar pemancing nggak pindah ke tempat lain."

"Tapi kenapa Nisa bisa ngasih Mamanya?"

"Itu.." Iman terdiam sebentar. Ia tidak ingin mengatakan kalau Nisa mengambil selembar uang setiap hari dari dompetnya. Bagaimanapun ia tidak ingin Hasby menyalahkan Nisa. Bukankah itu memang uang Mama Wida?

"Nisa bayar utang sama Mamanya pakai uang warung, Bang." Kali ini Imam berbohong demi Nisa.

"Kamu beli TV?" Iman terkejut. Kenapa perkara membeli TV menjadi masalah besar?

"Itu utang, Bang." lagi - lagi Iman berbohong.

Hasby menghela nafas. Apa yang mau ia minta kalau begini ceritanya?

Iman pulang dengan hati gundah.

"Papah kenapa?" Iman mengajak Nisa duduk.

"Kalau empang itu nggak Kita bayarin, Kita akan begini terus, Mah."

"Begini bagaimana maksudnya?"

"Kita harus laporan terus sama Abang. Pengeluaran dan pemasukan pemancingan Kita."

"Kok, gitu?" Iman mengangkat bahunya.

"Jadi nggak bebas mengatur duit Kita sendiri. Mau beli apa - apa salah."

Dahi Nisa berkerut. Ia tidak mengerti jalan pikiran keluarga suaminya ini. Ia juga tidak mengerti jalan pikiran pemancing yang harus umpannya dimakan. Kalau ikan itu tidak suka umpannya, bagaimana?

"Jadi mau gimana?" Iman menatapnya sejurus.

"Mama punya duit nggak, ya. Buat bayarin empang Abang?"

Deg!

Jantung Nisa seperti ingin berhenti berdetak. Lagi - lagi Iman ingin meminta bantuan Mama Wida dengan dalih 'pinjam dulu' alias berhutang.

"Mama punya duit darimana, Pah?"

'Lagian yang kemarin aja Kamu susah bayarnya, Pah.' lanjut Nisa dalam hati.

"Ya berarti tinggal nunggu tanah ini terjual aja. Tapi kapan?" keluh Iman. Seperti yang sudah - sudah, Iman mulai putus asa.

Apa enaknya punya usaha sendiri tapi dikontrol orang lain?

"Tanah mana yang mau di jual, Pah?" Nisa terkesiap. Ia memang pernah mendengar kalau tanah warisan yang keluarga Iman tempati ini akan dijual, tapi waktu itu Yanah menentangnya.

Yanah anak perempuan satu - satunya yang amat dikasihi saudara - saudaranya. Ucapannya adalah perintah.

"Semua tanah Nyak ini, lah."

"Semua? Dari depan sampai belakang?" tegas Nisa lagi.

"Iya."

Semua karena mereka tidak menginginkan Iman yang menempati tanah paling depan. Untuk mengusirnya tentu saja mereka tidak bisa, karena ini akan ditentang keras oleh Hasby dan mereka takut padanya.

*********

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!