Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.
Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SCANDAL BESAR
Gemparnya pemberitaan media nasional dan internasional pagi ini tentang skandal besar yang melibatkan pengusaha terkemuka, Julian Carson, membuat dunia bisnis terhenyak. Komentar-komentar pedas memenuhi media sosial, menjadikan nama Julian sebagai trending topik di Chicago. Banyak yang tak percaya dengan berita tersebut, mengingat reputasinya yang selama ini begitu mentereng di dunia bisnis, dikenal sebagai ikon kesuksesan yang bersih dan berwibawa. Ironisnya, reputasi itu kini hancur, bagai bom waktu yang meledak, menghancurkan kerajaan bisnis yang dibangunnya selama bertahun-tahun. Tidak hanya Julian, putranya, Liam Carson pun terseret dalam skandal besar.
"Sesuai yang Anda inginkan, Signor."
Rhys menggeser mouse, menatap layar komputer dengan sudut bibir terangkat puas. Foto-foto perselingkuhan, bukti transaksi gelap, dan penggelapan dana triliunan yang dilakukan Julian di perusahaan yang membawanya ke puncak karir belasan tahun lalu, memenuhi halaman berita. Tak hanya itu, skandal Liam juga muncul ke permukaan, melibatkan pelanggaran hukum serius, termasuk prostitusi, perdagangan narkoba, dan kekerasan seksual di beberapa klub malam miliknya.
"Kerja bagus, Thomas," ucap Rhys tenang. Ia mematahkan punggungnya ke kursi dan menatap asistennya yang berdiri sigap dihadapannya, tak sebegitu dekat dengan meja.
"Grazie, signor."
Rhys kemudian berdiri dan melangkah ke jendela besar, punggungnya membelakangi Thomas. Melihat keluar ke hiruk-pikuk kota Chicago yang tidak pernah tidur. Cahaya senja memantul dari kaca, menyorot siluetnya yang tegap. "Semua orang tahu, tidak ada yang lebih kuat daripada skandal yang mengguncang reputasi." Ia terkekeh, lalu membenamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Dengan menggunakan skandal ini dapat menguntungkan perusahaan kita, Thomas."
Kemudian, Rhys berbalik, berjalan mendekati meja kerjanya, mengambil sebuah file tebal yang tertumpuk paling atas. Memberikannya pada Thomas dan diterima baik oleh pria itu.
"Itu adalah daftar perusahaan yang terikat dengan Julian. Segera tawarkan mereka peluang untuk berinvestasi di perusahaan kita, atau jika perlu, membeli saham mereka dengan harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Dalam situasi krisis, mereka akan cenderung menerima tawaran ini demi menjaga keberlangsungan bisnisnya. Kita juga bisa memberikan dukungan finansial untuk membantu mereka melewati masa transisi. Tentu saja dengan syarat ini, kita mendapatkan kendali yang lebih besar."
Tanpa membukanya, Thomas mengangguk. "Sì, signor. Aku akan bergerak cepat menghubungi mereka dan memastikan tawaran Anda tidak dapat ditolak."
Tanpa diduga, pintu ruangan terbuka paksa. Sosok Amber menerobos masuk, langkahnya terlihat tergesa memasuki ruangan Rhys. Rambutnya acak-acakan, riasannya luntur, dan matanya berkantung. Ia mengenakan pakaian yang kusut, jauh dari penampilannya yang selalu glamor. Kehadirannya membuat kedua orang diruangan berhenti berbicara dan menoleh padanya.
Amber menubruk tubuh Rhys, menghantam dada bidang pria besar itu dengan dua pukulan tangannya. "Kau yang merekayasa berita bohong itu, bukan?! Mengapa kau melakukan ini semua, mengapa...?"
"Jangan hanya diam saja, jawab aku!" Suaranya bergetar.
Rhys menatap Amber dengan tatapan dingin, kemudian melirik asistennya. "Thomas, tolong tinggalkan kami." Thomas mengangguk patuh dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya dengan pelan.
Rhys kini berhadapan hanya dengan Amber. Ia tundukkan wajahnya, menatap langsung mata wanita itu yang memerah.
"Berita itu benar." Suaranya dibuat sedikit lembut sambil menahan pukulan tangan Amber. "Tapi, tidak ada satupun yang direkayasa oleh media, atau seperti yang kau tuduhkan padaku."
"Bohong! Semua ini bohong! Kau yang melakukannya! Kau yang menghancurkan Liam-ku!" Ember menggeleng liar, memukul-mukul dada Rhys lagi, isak tangisnya pecah. "Kau iri bukan padanya? Kau iri karena aku lebih memilihnya dari pada memilihmu!"
Rhys menghela nafas, berusaha untuk tetap tenang. "Amber, jangan membahas kita yang dulu dengan situasi sekarang." Kata-kata itu terasa hampa, bahkan bagi dirinya sendiri.
"Liam terlibat dalam tindakan ilegal, mana mungkin aku bisa merekayasanya jika saja dia terbukti bersalah," tambahnya lagi.
"Liam tidak sejahat itu, Maz!"
"Namun kebenaran sudah menjawabnya, Amber. Kau jangan menutup mata akan itu."
"Tidak... aku tidak percaya..." Amber merosot ke lantai, tubuhnya lemas, seakan-akan seluruh kekuatannya telah terkuras habis. Rasa hancur menghantamnya dengan dahsyat. Mengapa Liam tega menyembunyikan kebohongan sebesar ini, di saat ia telah menyerahkan seluruh hidupnya untuk pria itu?
Amber memukul dadanya, pukulan-pukulan keras dan tak beraturan. Suara isak tangisnya semakin keras, menunjukkan betapa besarnya rasa sakit dan kecewanya pada Liam. "Dasar bedebah sialan! Pembohong! Sakit sekali... sakit sekali rasanya..."
"Aku tau kau kecewa, tapi jangan menyakiti dirimu sendiri," tegur Rhys, berlutut dihadapan Ember. Tangannya segera menggenggam lembut tangan wanita itu, memberikan sedikit ketenangan. Sentuhan yang terasa berbeda dengan yang dulu ia berikan. Bagaimanapun Amber adalah wanita yang sempat masuk dalam hidupnya, wanita yang pernah mencuri hatinya yang beku, dan wanita yang kini hancur karena pilihannya sendiri.
Rhys tak menyalahkan Amber sepenuhnya tentang dulu yang lebih memilih Liam. Cinta yang tumbuh di antara mereka berdua, sepupu tiri, sebuah hubungan yang ditentang keras oleh keluarga. Ia masih mengingat jelas bagaimana ia berseteru dengan Ellard dan Beatrice, bagaimana ia berjuang untuk bersama dengan Amber, hanya untuk kemudian patah hati ketika Amber jatuh hati kembali pada Liam, cinta pertama wanita itu.
"Bagaimana hidupku jika tidak ada Liam? Aku sangat mencintainya Maz. Mengapa dia tega melakukan ini hingga berimbas pada hubungan kita. Apa dia tidak memikirkan sebelumnya?"
"Dia tidak mati. Kau masih bisa menjenguknya di penjara." Rhys berkata dengan nada datar, terdengar jengah.
"Ya, aku tahu." Amber mengangkat wajahnya, mengijinkan Rhys untuk melihat wajahnya yang dipenuhi air mata, membasahi riasan yang sudah luntur. "Maz, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi meninggalkanku seperti yang dilakukan Liam."
"Jangan libatkan aku dengan masalahmu—"
"Tidak. Kumohon jangan katakan itu." Ember meraih tangan besar Rhys, menguncinya dengan jari-jarinya yang dingin dan gemetar. "Aku tidak bisa sendiri, aku membutuhkan seseorang untuk selalu ada disampingku. Tolong... jangan menolakku Maz..."
Rhys menarik napas dalam-dalam, menatap mata Amber kemudian tangannya yang digenggam erat. Melihat kesedihan dan keputusasaan dari mata wanita itu membuatnya, sedikit sesak. Ia tahu, ia tidak sepenuhnya bisa menolak Amber.
"Amber." Mulai Rhys, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya. "Aku tidak bisa menjanjikan apa pun. Tapi… aku akan berusaha ada untukmu."