Apa yang terjadi jika Seorang Pendekar Nomer satu ber-Reinkarnasi dalam bentuk Tahu Putih?
padahal rekan Pendekar lainnya ber-Reinkarnasi dalam berbagai bentuk hewan yang Sakti.
Apakah posisi sebagai Pendekar Nomer Satu masih bisa dipertahankan dalam bentuk Tahu Putih?
ikuti petualangan serunya dengan berbagai Aksi menarik dan konyol dari Shantand dan Tahu Ajaib nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzy Husain Bsb, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pukulan Tahu
Desa Manguntirto
Akhirnya Shantand tiba di desanya. Namun saat melangkah ke halaman rumahnya, ia langsung merasa ada yang aneh. Suasana desa yang biasanya tenang kini dipenuhi bisik-bisik warga. Mereka berkerumun di depan rumahnya, wajah-wajah mereka dipenuhi kecemasan.
“Ada apa ini?” tanyanya dengan napas sedikit memburu.
Lurah Samuntu, yang berdiri di tengah warga, menatapnya dengan ekspresi serius. “Shantand… rumahmu kemarin kedatangan pencuri.”
Jantung Shantand seketika berdegup lebih kencang. “Apa?!” Ia buru-buru berlari ke depan rumah, matanya langsung tertuju pada jendela yang rusak, kayunya pecah seperti dibuka paksa.
“Beberapa barang hilang,” lanjut Lurah Samuntu. “Kami sudah memeriksa sekitar, tapi jejak pencurinya sulit ditemukan.”
“Tidak ada yang melihat siapa pelakunya?” Shantand bertanya dengan nada tegang.
Seorang warga maju, menggelengkan kepala. “Kami sudah menelusuri sekitar, tapi jejaknya hilang di hutan.”
Lurah Samuntu menepuk pundak Shantand. “Jangan khawatir. Untuk saat ini, mari kita perbaiki dulu rumahmu.”
Shantand masih duduk dengan gelisah, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Namun sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, bapaknya tiba-tiba berkata dengan suara berat.
“Nak… semalam,sebelum kejadian ada sesuatu yang aneh terjadi.”
Shantand menoleh cepat. “Maksud Bapak?”
Emaknya ikut menimpali dengan wajah sedikit pucat. “Kami berdua ingat… sebelum tidur, rumah baik-baik saja. Tapi entah kenapa, tiba-tiba ada asap tipis masuk ke dalam rumah.”
“Asap?” Alis Shantand berkerut.
Bapaknya mengangguk. “Iya. Kami merasa sedikit pusing, lalu tidak sadar tertidur pulas. Baru pagi harinya, saat bangun… kami sadar jendela sudah terbuka, dan beberapa barang hilang.”
Jantung Shantand berdegup kencang. “Jadi… pencuri itu memakai semacam racun asap?”
Bhaskara mendengus dari dalam labu tuak. “Hm… menarik. Seorang pencuri biasa tidak akan menggunakan cara semacam itu. Muridku, sepertinya yang kita hadapi bukan sekadar maling kampung.”
Shantand mengepalkan tangannya. Jika pencuri itu hanya mengincar barang biasa, kenapa harus repot-repot membuat orang tuanya tertidur dengan asap?
Shantand mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Para warga langsung bergerak, bergotong-royong memperbaiki jendela yang rusak. Setelah semuanya selesai dan suasana mulai tenang, Shantand duduk di dalam rumah bersama keluarganya. Ia menghela napas lega, namun tiba-tiba, sesuatu menghantam pikirannya.
Sobekan kertas itu!
Dengan buru-buru, ia masuk ke kamarnya mencari benda yang paling berharga dari perjalanannya. Tapi semakin ia mencari, semakin panik dirinya.
“Tidak… tidak mungkin! Guru sobekan kitab itu lenyap!!” gumamnya tak percaya.
“Tenang, muridku.” Suara guru tahunya terdengar penuh keyakinan. “Aku sudah menghafal seluruh isinya.”
Lalu Bhaskara tersenyum memenangkan dan berkata. “mungkin dari awal memang tujuannya bukan mencuri barang tapi memang sobekan kitab. Tapi jangan gegabah. Kita biarkan mereka merasa senang dulu… lalu dalam sebulan, kamu akan melihat mereka menyesal telah mempelajari sesuatu yang bukan miliknya.”
Shantand mengangguk dan mulai tenang. Matanya berkilat dan tersenyum, " Guru pasti pasti sudah merencanakan sesuatu untuk mengantisipasi hal seperti ini terjadi kan? "
Bhaskara hanya terkekeh. "Kita lihat saja.. "
Shantand mengembuskan napas, setengah lega tapi masih penasaran. “Tapi… siapa yang mencurinya? Dan kenapa?”
Bhaskara terkekeh, kali ini suaranya terasa seperti menyimpan sesuatu. “Pelakunya akan terungkap, muridku… dan aku jamin, dalam waktu sebulan, dia pasti akan menyesali perbuatannya.”
Shantand merasakan bulu kuduknya meremang. “Guru… kau pasti sudah merencanakan sesuatu, ya?”
Bhaskara hanya tertawa, namun di balik suara tawanya, ada sesuatu yang membuat Shantand merasa ini belum berakhir.
Siapa pun yang mengambil kitab itu… ia tidak akan bisa tidur nyenyak.
*****
Dua hari setelah kejadian itu, pak lurah samuntu menggiatkan para pemudanya untuk aktif siskamling.
Pak Dipa jadi merenung, dia berfikir sudah seharusnya jika shantand memiliki kemampuan bela diri tidak seperti dirinya. Jika lemah seperti dirinya maka akan sering dimanfaatkan.
Kini dia berdiri di depan rumah dengan ekspresi mantap. “Nak, ikut Bapak. Ada tempat yang harus kita datangi.”
Shantand menaikkan alis. “Ke mana, Pak?”
“Ke sebuah perguruan silat,” jawab bapaknya tegas. “Bapak tidak ingin kau tumbuh tanpa bisa membela diri, seperti Bapak yang hanya bisa jadi Nelayan biasa.”
Shantand diam sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Pak.”
Mereka berjalan cukup jauh ke perbatasan desa. Di sana, berdiri sebuah perguruan silat terkenal, Perguruan Silat Harimau Terbang. Tempat ini dikenal karena melahirkan pendekar-pendekar tangguh. Pimpinan perguruan itu adalah seorang pendekar bernama Dupak Jaya—sosok yang sudah lama dihormati banyak orang.
Saat tiba di depan halaman perguruan, para murid yang sedang berlatih menoleh. Beberapa orang tampak berbisik-bisik melihat kedatangan mereka.
Shantand dan bapaknya maju ke depan, lalu memberi hormat.
Bapaknya berkata dengan hormat, “Pendekar Dupak Jaya, saya ingin anak saya belajar ilmu silat di perguruan ini.”
Dupak Jaya menatap bapaknya, lalu pandangannya beralih ke Shantand. Sesaat, mata pendekar itu berkilat aneh. Namun, ia tetap berlagak seperti seorang guru yang bijaksana.
Shantand dan bapaknya berdiri di tengah halaman perguruan, dikelilingi murid-murid yang tengah berlatih. Tatapan mereka semua tertuju pada keduanya, sementara di depan mereka berdiri Dupak Jaya, pendekar yang dihormati sekaligus ditakuti.
“Hm… mari kulihat tubuh anak ini,” katanya seraya pura-pura memeriksa tubuh Shantand.
Tangannya menepuk pundak, mengetuk tulang tangan, lalu mengusap dagu dengan pura-pura berpikir. Kemudian, dengan nada meremehkan, ia berkata, “Sayang sekali. Tulang anak ini tidak bagus untuk belajar silat. Dia tidak berbakat menjadi pendekar.”
Di Padepokan Harimau Terbang…
Shantand tidak menjawab, hanya menatapnya tenang.
Dupak menyilangkan tangan di dada. "Silat bukan untuk semua orang. Tidak semua orang memiliki bakat. Tapi aku orang yang adil, jadi aku akan mengujimu sebelum mengambil keputusan."
Dia menoleh ke arah salah satu muridnya, seorang pemuda bertubuh kokoh dengan otot yang menonjol.
"Kendro! Kau di peringkat Tahu Level 3, bukan?"
Kendro, seorang murid berbadan besar dengan wajah angkuh, maju ke depan. “Benar, Guru.”
Dupak tersenyum miring, lalu menoleh ke arah Shantand. "Kalau begitu, kita akan lihat apakah kau memang pantas belajar silat. Ujianmu adalah… lawan Kendro!"
Bapaknya Shantand langsung terkejut. “Pendekar Dupak, bukankah ini tidak adil? Anak saya bahkan belum belajar silat sama sekali.”
Dupak terkekeh. "Kalau memang dia berbakat, dia pasti bisa bertahan."
Shantand menatap Kendro, yang sudah memasang kuda-kuda dengan percaya diri. Seketika, suara Bhaskara terdengar dalam kepalanya.
"Muridku, dengarkan baik-baik, aku akan mengajarkan mu tekhnik baru, kau cukup ikuti saja petunjuk dariku. " Dan Bhaskara pun mengajarkan tekhnik menghindar yang ajaib.
Saat itu Kendro maju dengan cepat, mengayunkan pukulan ke arah kepala Shantand. Namun, tepat sebelum pukulan itu mengenai, Shantand tiba-tiba… terpeleset ke belakang!
Kendro meleset, dan pukulannya hanya menghantam udara.
Murid-murid lain menahan tawa. Kendro mendengus kesal. "Berhenti menghindar!"
Shantand pun menggaruk kepalanya dengan ekspresi bingung, seolah-olah tidak tahu apa yang sedang terjadi. "Eh? Kok aku ada di sini, ya?"
Kendro semakin emosi. Dia melancarkan serangan bertubi-tubi—tendangan, pukulan, dan dorongan keras. Namun, setiap kali dia menyerang, Shantand selalu terpeleset, tersandung, atau jatuh ke posisi yang tidak terduga, membuat semua serangan itu gagal total!
Bahkan ada momen dimana kendro menendang dengan tubuh memutar, namun shantand mundur seolah takut lalu maju menubruk seperti mau jatuh. Dan perut kendro tertubruk pantat shantand dengan keras lalu..
"Bruut.. !! "
Ada angin yang keluar dari perut melalu jalur belakang namun terjepit dan mengeluarkan bunyi nyaring itu. Para murid yang lain menahan tawa, sedang Dupak menjadi merah matanya!
Kendro mulai kelelahan. Napasnya memburu, keringatnya bercucuran,rasa malu menghinggapi nya.
Murid-murid yang menonton mulai berbisik-bisik. "Kenapa Kendro nggak bisa mengenai bocah itu sama sekali?"
Dupak Jaya mengernyit. Ini tidak seperti yang dia harapkan. Seharusnya bocah itu dipermalukan! Meskipun terlihat aneh nyatanya kendro sedikitpun tak bisa menyentuh anak si begundal itu! Hm..
Merasa dipermainkan, dia maju sendiri. “Minggir, Kendro! Biar aku yang mengujinya langsung.”
Tanpa peringatan, Dupak menyerang! Tendangannya yang bertenaga langsung menghantam dada Shantand.
Bugh! Breet!!
Tubuh Shantand terpental jauh, berguling beberapa kali di tanah berdebu. Debu berhamburan ke udara, membuat suasana semakin dramatis. Semua orang menahan napas, beberapa murid bahkan refleks melangkah mundur.
Dupak Jaya berdiri tegap dengan senyum puas, lalu menoleh ke arah murid-muridnya.
"Lihat? Anak ini sama sekali tidak berbakat. Bahkan satu pukulan saja sudah membuatnya terkapar! Begini lah nasib orang yang tidak tahu diri!"
Namun, tanpa ia sadari, ada sesuatu yang lain yang menjadi pusat perhatian murid-muridnya. Di belakang, beberapa murid tampak menunduk, menutupi mulut mereka. Beberapa lagi berusaha mati-matian menahan tawa. Ada yang sampai menggigit bibir agar tidak meledak dalam cekikikan.
Ternyata, di saat ia dengan penuh percaya diri menendang Shantand, jahitan celananya lepas! Kini, celana bagian belakang Dupak sobek lebar, memperlihatkan celana dalam berwarna coklatnya yang sudah agak pudar.
Murid-muridnya saling melirik. Beberapa bahu mulai gemetar, menahan tawa yang hampir meledak. Salah satu murid mencolek temannya, berbisik dengan suara tercekat, "Bro… itu… warna celana dalam atau dia lagi…"
Temannya buru-buru menyenggolnya agar diam, tapi wajahnya sendiri sudah merah menahan cekikikan.
Sementara itu, Dupak masih berdiri angkuh, sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi. Ia menatap Shantand yang perlahan bangkit dari tanah, masih menunduk, seakan malu atau terluka.
Tapi di sudut bibir Shantand, ada sesuatu yang hampir tak terlihat.
Senyum.
Senyum tipis yang hanya diketahui oleh satu orang.
Bhaskara berbisik di dalam kepalanya, "Hahaha, bagus sekali, Muridku. Aku tidak menyangka kau akan membuatnya mempermalukan dirinya sendiri. Pelajaran pertama: terkadang, membiarkan lawan mempermalukan dirinya sendiri lebih efektif daripada melawannya secara langsung."
Shantand mengangkat wajahnya, menatap lurus ke arah Dupak. Dengan suara tenang, ia berkata, "Terima kasih atas ujian ini, Guru Dupak. Aku sudah paham segalanya."
Mata Dupak menyipit. "Apa maksudmu, bocah?"
Shantand tersenyum. "Aku sudah paham… bahwa di tempat ini, bukan ilmu silat yang diajarkan. Tapi kesombongan."
Beberapa murid langsung menoleh satu sama lain. Yang tadinya menahan tawa, kini mulai berpikir. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pukulan.
Dupak hendak membuka mulut untuk membalas, tapi sebelum sempat berbicara—
"PFFT—!!"
Salah satu murid tak kuat lagi menahan diri. Ia langsung membungkuk, berpura-pura batuk, tapi suara tawanya hampir tidak bisa disembunyikan. Yang lain ikut tersentak, lalu mulai berbisik-bisik.
"Bro… bro, celana dia… ya ampun, aku gak tahan..."
"Jangan lihat! Jangan lihat! Nanti kita kena masalah!"
Beberapa bahkan sudah mulai berlari ke samping, pura-pura pergi, tapi bahu mereka masih gemetar menahan cekikikan.
Dupak akhirnya menyadari ada yang tidak beres.
"Kenapa kalian ribut sendiri, hah?! Apa yang begitu lucu?! Kenapa semua menunduk?!
Ia memutar badannya sedikit untuk melihat ke belakang—
Lalu mendadak membeku.
Wajahnya yang semula angkuh kini berubah pucat. Perlahan, ia menoleh ke Shantand yang tetap berdiri tenang. Mata bocah itu seperti mengatakan:
"Terima kasih atas ujiannya, Guru Dupak. Aku sudah paham segalanya."
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah Perguruan Harimau Terbang, Guru Besar Dupak Jaya… pergi dengan langkah cepat menuju dalam rumahnya tanpa berkata apa-apa lagi.Wajahnya merah seperti kepiting rebus!
"Bagus, muridku. Ini baru awalnya saja. Biarkan mereka meremehkanmu… sampai saatnya tiba."
Shantand menyeringai kecil. "Aku mengerti, Guru."
Singkat cerita shantand ditolak oleh dupak jaya untuk menjadi murid disana!
Shantand hanya tersenyum tipis. Bagaimana mungkin aku peduli dengan omongan orang ini? Aku sudah punya guru yang jauh lebih hebat.
Bapaknya menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk hormat. “Baiklah, kalau begitu, kami pamit.”
Mereka pulang dengan hati berat. Dalam perjalanan, bapaknya menghela napas panjang. “Nak, maaf… Bapak benar-benar ingin kau belajar beladiri.”
Shantand tersenyum. “Tidak apa-apa, Pak. Tidak belajar di sana pun tak masalah.”
Saat mereka sampai di rumah dan menceritakan kejadian itu kepada emak, reaksi emak membuat bapaknya terkejut.
“Bapak sih, nggak cerita ke Emak dulu! Si Dupak itu nggak akan mau nerima anak kita. Dulu, waktu Emak masih gadis, dia mengejar-ngejar Emak dan selalu Emak tolak!”
Bapaknya melongo. “Jadi… begitu?”
Emak mendengus. “Makanya! Sejak dulu, dia memang orang yang pendendam.”
Mendengar cerita itu, Shantand hanya mengangkat bahu. Sepertinya aku memang tidak ditakdirkan belajar di perguruan itu.
Namun, malam itu, Bhaskara bersuara dari dalam labu tuak.
“Muridku, hari ini aku akan mengajarkan teknik pukulan baru yang khusus untukmu.”
Shantand langsung duduk tegak. “Teknik pukulan baru, Guru?”
“Benar. Namanya… Pukulan Tahu!”
Shantand hampir terbatuk. “Pukulan… tahu?”
“Jangan meremehkan, muridku! Ini adalah teknik pukulan yang luar biasa jika kau bisa menguasainya!”
Shantand menelan ludah. “Lalu… bagaimana aku bisa mempelajarinya, Guru?”
“Besok, kau pergi ke pasar dan belilah tahu putih.”
Shantand terdiam. “…Kenapa aku harus beli tahu, Guru?”
Bhaskara terkekeh. “Karena untuk memahami ilmu ini, kau harus benar-benar mendalami esensi dari tahu!”
Shantand hanya bisa menepuk dahinya. Sepertinya ini akan menjadi latihan yang aneh…
*****
Benar saja besok paginya Shantand sudah pergi ke pasar membeli tahu putih dalam jumlah lumayan banyak.
Lalu dia menaruh semua tahunya diatas meja di belakang rumah sesuai instruksi Gurunya.
Satu diantara sekian tahu diatas meja adalah Bhaskara, Gurunya.
Dia menikmati lembutnya angin pagi itu bercampur hangatnya sinar mentari pagi.
Itu baik untuk tubuh Tahunya!
Maka mulailah pada hari itu Shantand berlatih pukulan Tahu sesuai arahan Gurunya.
Agar orang tuanya dan mungkin orang lain tak curiga dia terkadang menyimpan 5 tahu sekaligus ke dalam wadah labu Tuaknya.
Disisi lain, Bhaskara sudah pada tahap bisa menyerap saripati tahu yang dia butuhkan.. Hasilnya, tahu-tahu yang sudah diambil inti nya oleh Bhaskara berubah menjadi Tahu yang sangat enak ketika dimasak! Hal itu dirasakan sendiri oleh kedua orang tua Shantand!
Melihat kebiasaan anaknya bermain dengan tahu, maka kedua orang tuanya berinisiatif mengajarinya berdagang Tahu. Apalagi setelah tahu itu "dijemur " Menjadi sangat enak! Pasti banyak yang beli. Begitu kata mereka.
*****
Malam itu, di tempat tersembunyi…
Di bawah cahaya remang-remang dari lentera minyak, sosok misterius itu duduk bersila. Tangannya memegang sobekan kertas tua dengan aksara kuno yang samar.
Kitab Delapan Mata Dewa!
Dia membaca setiap baris dengan penuh konsentrasi. Tiba-tiba, tubuhnya bergetar! Udara di sekitarnya berdenyut, seperti ada kekuatan yang bangkit dari dalam dirinya.
"Asap…?"
Dari pori-porinya, keluar uap tipis, mengambang seperti kabut di tengah malam. Uap itu berbau aneh, seolah mengandung kekuatan yang belum sempurna. Sosok itu mengepalkan tangannya, merasakan sesuatu yang baru mengalir dalam nadinya.
"Haha… Sepertinya aku akan segera melampaui batas tubuhku saat ini!"
Tapi siapa dia sebenarnya? Bagaimana dia bisa mendapatkan sobekan Kitab Delapan Mata Dewa? Dan apa yang akan terjadi jika dia berhasil menguasai ilmu di dalamnya?
******