Aku masih ingat tangisan, tawa dan senyum pertamanya. Aku juga masih ingat langkah pertamanya. Saat dia menari untuk pertama kali. Saat dia menangis karena tidak bisa juara kelas. Aku masih ingat semuanya.
Dan sekarang, semua kebahagiaan itu telah direngkuh paksa dariku.
Aku tidak memiliki apa-apa selain dia
Dialah alasanku untuk hidup sampai sekarang.
Tidak bolehkah aku menghukum perampas kebahagiaanku?
Ini adalah novel diluar percintaan pertama penulis, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Anak anggota dewan baru saja bangun saat ibunya bersiap pergi.
"Jam berapa kau pulang?"
"Jam dua" jawab anak anggota dewan
"Ini sudah jam sebelas siang. Apa tidak ada jadwal kuliah?" tanya ibunya yang sibuk memeriksa riasan.
"Ada"
"Lalu kenapa kau tidak masuk kuliah?"
"Malas"
"Pantas saja kau dipukuli ayahmu!! Siapa saja yang melihat kelakuanmu pasti ingin memukulmu!"
Anak anggota dewan membatalkan niatnya untuk makan dan ingin kembali ke kamar saat ibunya menahan.
"Bersikap baiklah. Belajar dengan rajin seperti kakakmu! Lulus dengan nilai baik agar ayah bisa menempatkan mu di salah satu perusahaannya"
Anak itu melihat ke arah ibunya dengan mata tajam.
"Aku bukan kakak!!! Kalau kalian begitu percaya dan bahagia dengan anak pertama kalian. Lalu kenapa melahirkan ku??!! Sialan!!?" umpatnya berhadiah tamparan keras. Dari seseorang yang melahirkannya dua puluh tahun yang lalu.
"Dasar anak tidak tahu diri!! Kami sudah berusaha keras membesarkan mu dengan baik. Ini balasanmu?!!" teriak ibunya kesal setelah menampar dan menggoreskan hiasan kuku tajam di pipi anak itu.
Tak perlu lagi ke kamar, anak anggota dewan itu mengambil kunci motor dan ingin pergi lagi. Sebelum keluar dari rumah, dia bertemu dengan satu-satunya musuh yang tidak akan pernah dia kalahkan. Kakak laki-lakinya yang selalu memandang remeh dia.
Derum motor kembali terdengar ketika anak anggota dewan pergi. Dia ke sebuah taman dan menemukan beberapa anak SMA bermain basket. Disana ada dua atau tiga anak perempuan yang sibuk memberi semangat. Tapi ada satu anak perempuan yang melihat temannya dari kejauhan. Senyum terutas di wajah anak anggota dewan. Seakan dia menemukan mangsa baru.
"Siapa yang kau sukai?" tanyanya setelah mendekati anak perempuan yang terasing itu.
"Hah?" jawab anak perempuan itu seolah tidak mengerti.
"Yang paling tinggi? Wajahnya tidak terlalu bagus. Atau ... Yang paling pendek? Juga tidak terlalu tampan. Ahhhh, yang paling putih itu? Dia lumayan tampan" katanya lalu menyadari anak perempuan di sebelahnya pergi menjauh.
Tapi dia tidak menyerah. Hanya dengan berlari kecil, anak anggota dewan itu bisa menyusul.
"Apa yang kau lakukan?" tanya anak perempuan itu.
"Daripada dengan mereka, bagaimana kalau denganku saja? Aku bisa membuatmu merasakan indahnya dunia?" katanya berhasil membuat anak perempuan itu menghentikan langkah.
Dengan wajahnya yang tampan dan motor mahal, anak anggota dewan itu bisa mendapatkan siapapun.
Tapi kali ini dia tertipu lagi. Anak perempuan yang dia pikir masih lugu, ternyata telah tercemar. Kalau kata temannya, anak perempuan itu ternyata susah kotor. Karena kesal dia menampar anak perempuan itu. Begitu keras sampai tak bisa melawan dan pingsan.
Masih merasa kesal, anak anggota dewan itu melampiaskan amarahnya ke tubuh terkapar di depannya. Lalu melemparkan beberapa lembar uang di atas tubuh itu dan pergi tanpa merasa bersalah sama sekali.
Malamnya dia kembali berkumpul dengan semua teman-teman motornya. Sayang sekali anak pengusaha yang merupakan rekan jahatnya tidak ada karena harus menghadiri acara penting.
"Siang ini aku menyiksa seseorang" katanya bangga.
"Benar? Hebat sekali. Apa dia melawan?" tanya teman lainnya.
"Melawan? Siapa yang berani melawanku? Status orang tua, membuat siapa saja tidak berani menyentuhku"
Setelah puas menyombongkan diri, dia mengikuti beberapa balapan motor. Sayangnya, di lap terakhir dia mengalami malfungsi. Baik dia dan motornya terhempas keras ke arah trotoar.
"Sialll!!" umpatnya lalu melepas helm yang berhasil melindungi kepalanya.
Tapi yang dia lihat adalah pemandangan mengerikan. Saat motornya lepas kendali, ada seorang penjual bakso yang berada di trotoar. Penjual bakso itu kini terkapar penuh darah di bawah motornya. Anak anggota dewan itu tidak menolong penjual bakso dan memilih lari. Lari begitu kencang lalu menemukan taksi untuk pulang. Sampai di rumah, dia tidak mengatakan apapun dan tidur. Tidak merasa bersalah sama sekali atas apa yang telah terjadi
Keesokan harinya, tubuhnya dipaksa bangun oleh seseorang. Air es dingin berhasil mengejutkan dan memaksanya terbangun dari tidur yang nyenyak.
"Bangsattt!!! Apa yang kau lakukan??" teriaknya lalu menemukan ayahnya berdiri di hadapannya. Juga dua pengawal ayahnya yang memegang ember penuh air.
"Dasar anak bodoh!!" kata ayahnya lalu menendang perut anak itu.
"Apa-apaan ini?" balasnya tapi pukulan dan tendangan dari ayahnya tak kunjung berhenti. Baru saat dia batuk darah, ayahnya menghentikan aksi.
"Kau memang anak sial!!! Aku tidak sanggup lagi menjadi ayahmu, anak sialan!! Kemasi barangmu dan segera pergi keluar negeri. Kalau kau mati di luar negeri akan lebih bagus untukku!!"
Anak anggota dewan itu merasa ayahnya kejam sekali. Dia tidak peduli dengan apa yang sudah dilakukannya. Bukankah orang tuanya wajib untuk mengatasi semuanya. Untuknya? Apalagi ayahnya adalah anggota dewan yang berkuasa di negeri ini. Pasti semua hal bisa diselesaikan dengan mudah. Papua. Kejahatan yang dia perbuat.
Setelah ayahnya keluar, para pelayan datang ke kamar dan mulai membereskan semua barangnya. Sepertinya, dia terpaksa harus pergi keluar negeri sekarang. Meski mengumpat ke segala arah, kelihatannya keputusan ayahnya akan sulit dirubah.
"Anda mau pergi kemana?" tanya satpam yang menjaganya.
"Aku ingin makan!! " jawabnya dengan nada tinggi.
"Kami akan mengantar Anda"
"Tidak perlu!!! Aku sudah memesan taksi!!"
Anak anggota dewan itu pergi dengan taksi ke sebuah restoran Jepang kesukaannya. Seperti biasa dia melenggang masuk dengan santai. Pelayan mengantarnya ke sebuah ruangan khusus dan pergi. Saat pelayan itu kembali, beberapa makan diletakkan dihadapannya. Begitu lengkap, sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Dengan lahap, dia makan semua sajian Jepang berharga fantastis itu. Dia harus menikmati semua makanan ini dengan baik. Karena mungkin, ini adalah terakhir kalinya dia makan makanan kesukaannya. Karena besok, dia harus angkat kaki dari negeri ini. Melarikan diri untuk meredam semua kasus yang terpaksa ditangani oleh ayahnya.
Tapi dia sangat yakin dapat kembali lagi dengan cepat. Kekuatan yang dan kekuasaan ayahnya bisa dengan mudah membuatnya kembali. Negeri ini begitu mudah takluk dihadapan uang.
Selesai makan, dia menenggak air putih cukup banyak. Lalu menyenderkan punggung untuk memberi waktu bagi perutnya menyerap semua makanan dengan nilai gizi terbaik itu.
Tapi, tak lama dia merasa ada yang aneh. Seperti perutnya terlalu penuh dengan makanan. Secara tak sadar dia batuk dan memuntahkan makanan yang sudah terlanjur masuk ke dalam perutnya.
"Kenapa merah?" tanyanya menyadari makanan yang keluar dari perutnya berwarna kemerahan seperti darah. Apa ... ini akibat pukulan dari ayahnya tadi siang?
Beberapa detik kemudian, dia merasa mual dan cairan merah kembali keluar dari mulutnya. Dia mulai ketakutan. Tapi rasa mual itu kembali dan dia muntah lagi. Kali ini lebih merah dari sebelumnya.
Tubuhnya juga melemah dengan cepat. Dan setelah muntah darah yang terakhir, dia tidak bisa lagi bergerak. Badannya terlalu lemah bahkan untuk memanggil seseorang. Setelah tubuhnya kejang-kejang, akhirnya dia pergi untuk selamanya.