Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Yang Terbelenggu
Malam itu, angin berhembus lebih dingin dari biasanya. Gedung apartemen terasa lebih sunyi, seolah menahan napas, menunggu sesuatu terjadi. Di lantai lima, unit 507 berdiri diam dalam kegelapan, seakan menyimpan rahasia yang tidak ingin diungkapkan.
Raka, Nadine, Anton, dan Maya berdiri di depan pintu unit tersebut. Tidak ada yang berbicara, hanya suara napas mereka yang terdengar di lorong sempit. Nadine menggenggam lengan Raka dengan erat, berusaha menahan rasa takut yang merayap di tengkuknya.
Anton menarik napas dalam-dalam, kemudian melirik Raka. “Lo yakin kita harus masuk sekarang?”
Raka mengangguk, meskipun dalam hatinya ada keraguan. “Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi.”
Maya menelan ludah. “Kalau ada sesuatu di dalam cermin itu, gimana kalau kita justru membangunkannya?”
Hening. Kata-kata Maya menggantung di udara.
Raka akhirnya meraih gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Pintu terbuka dengan suara berdecit, seakan sudah lama tidak dibuka. Bau lembap menyambut mereka, bercampur dengan aroma kayu tua yang sudah lapuk.
Lampu di dalam unit 507 masih mati. Dengan tangan gemetar, Anton meraba tembok dan menekan sakelar. Lampu berkedip dua kali sebelum akhirnya menyala dengan redup.
Mereka melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang tidak wajar di dalam ruangan.
Cermin besar di ruang tamu masih berdiri di tempatnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Permukaannya terlihat lebih gelap, seolah menyerap cahaya di dalam ruangan. Raka berjalan mendekat, memperhatikan pantulannya dengan saksama.
Nadine menarik lengan baju Raka. “Jangan terlalu dekat.”
Raka tetap diam, mencoba melihat lebih dalam.
Lalu, dia melihatnya.
Bayangan samar bergerak di dalam cermin. Tidak hanya satu, tapi banyak. Wajah-wajah yang tidak dikenal, dengan mata kosong dan ekspresi putus asa.
Maya menahan teriakannya dan mundur beberapa langkah. “Apa itu?!”
Anton langsung mencengkeram bahu Raka dan menariknya mundur. “Jangan tatap terlalu lama, bro! Lo nggak tahu apa yang bisa terjadi.”
Namun, sebelum mereka sempat bergerak lebih jauh, sesuatu terjadi.
Suara berbisik terdengar, lirih namun jelas.
"Tolong… keluarkan aku…"
Nadine membeku. Itu suara seorang perempuan. Suara yang sangat familiar.
Suara Larisa.
Raka menoleh ke arah cermin lagi, dan kali ini, pantulan yang ia lihat jauh lebih jelas.
Larisa ada di sana.
Seorang perempuan muda dengan rambut panjang tergerai, mengenakan gaun putih yang lusuh dan kotor. Matanya gelap, penuh kesedihan, namun juga membawa sesuatu yang lain—kemarahan.
“Dia ada di sana…” bisik Maya, suaranya hampir tidak terdengar.
Larisa menatap mereka dari dalam cermin, bibirnya bergerak perlahan.
"Kalian bisa mendengarku…"
Anton menggertakkan giginya. “Gue nggak suka ini, Rak. Kita harus keluar.”
Tapi Larisa melanjutkan. "Kalian harus membantuku… sebelum dia datang."
Nadine menggigil. “Sebelum siapa datang?”
Larisa tidak menjawab, tetapi bayangannya tiba-tiba menghilang.
Dan seketika, cermin bergetar hebat.
Kegelapan yang Bangkit
Lampu di unit 507 mulai berkedip, lalu mati sepenuhnya. Ruangan menjadi gelap gulita, hanya menyisakan cahaya redup dari jendela.
Lalu terdengar suara langkah.
Bukan dari luar. Bukan dari lorong.
Tapi dari dalam cermin.
Suara itu semakin keras, semakin mendekat.
Dan kemudian, sesuatu mulai keluar dari dalam cermin.
Sebuah tangan pucat muncul pertama kali, jari-jarinya panjang dan bengkok tidak wajar. Lalu, perlahan, sosok itu merangkak keluar.
Anton menelan ludah. “Kita harus keluar. SEKARANG.”
Tapi pintu apartemen tiba-tiba tertutup dengan sendirinya, terkunci rapat.
Maya mulai menangis, berpegangan pada Nadine. “Gue nggak mau mati di sini…”
Raka menatap sosok yang kini berdiri di depan mereka. Itu bukan Larisa.
Sosok itu jauh lebih tinggi, dengan wajah yang tertutup bayangan, hanya menyisakan sepasang mata merah yang bersinar dalam gelap. Tubuhnya kurus, hampir seperti bayangan yang dipadatkan menjadi bentuk manusia.
Dan saat sosok itu membuka mulutnya, suara yang keluar bukanlah suara manusia.
Itu suara jeritan, ratusan jeritan dalam satu waktu.
Tanpa berpikir panjang, Anton meraih vas bunga yang ada di meja dan melemparkannya ke cermin.
Cermin itu retak, tetapi tidak pecah.
Sosok hitam itu menggeram marah, lalu melangkah maju dengan gerakan kaku dan menyeramkan.
Raka menarik Nadine ke belakangnya. “Kalau kita nggak bisa menghancurkan cerminnya, kita nggak bisa mengalahkannya!”
Anton meraih kursi dan mengayunkannya sekuat tenaga ke cermin. Kali ini, retakan semakin besar, menjalar seperti jaring laba-laba.
Larisa tiba-tiba muncul kembali di dalam cermin, ekspresinya putus asa.
"Hancurkan semuanya! Itu satu-satunya cara!"
Raka tidak berpikir dua kali. Ia mengambil besi dari rak dinding dan dengan seluruh kekuatannya, menghantam cermin.
Cermin itu pecah dalam ledakan suara yang menggelegar.
Dan saat itu juga, sosok hitam itu menjerit keras.
Tubuhnya mulai terdistorsi, seperti kabut yang tertiup angin.
Lalu, dalam sekejap, semuanya menghilang.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Mereka semua berdiri terpaku, napas tersengal.
Nadine menatap pecahan kaca di lantai dengan gemetar. “Apa… kita berhasil?”
Maya masih menangis, tetapi kali ini lebih pelan.
Anton menatap sekeliling. “Gue rasa… kita udah ngelakuin hal yang benar.”
Namun, sebelum mereka bisa merasa lega, suara berbisik kembali terdengar.
"Terima kasih… tapi ini belum selesai."
Mereka semua membeku.
Itu suara Larisa.
Mereka menoleh ke lantai, melihat pantulan mereka di pecahan kaca.
Dan di sana, di antara serpihan kaca yang berserakan… ada sesuatu yang bergerak.
ke unit lantai 7