NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Kertas

Wanita Di Atas Kertas

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Aliansi Pernikahan / Mengubah Takdir / Wanita Karir
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Black moonlight

Naya, hidup dalam bayang-bayang luka. Pernikahan pertamanya kandas, meninggalkannya dengan seorang anak di usia muda dan segudang cibiran. Ketika berusaha bangkit, nasib mempermainkannya lagi. Malam kelam bersama Brian, dokter militer bedah trauma, memaksanya menikah demi menjaga kehormatan keluarga pria itu.

Pernikahan mereka dingin. Brian memandang Naya rendah, menganggapya tak pantas. Di atas kertas, hidup Naya tampak sempurna, mahasiswi berprestasi, supervisor muda, istri pria mapan. Namun di baliknya, ia mati-matian membuktikan diri kepada Brian, keluarganya, dan dunia yang meremehkannya.

Tak ada yang tahu badai dalam dirinya. Mereka anggap keluh dan lemah tidak cocok menjadi identitasnya. Sampai Naya lelah memenuhi ekspektasi semua.

Brian perlahan melihat Naya berbeda, seorang pejuang tangguh yang meski terluka. Kini pertanyaannya, apakah Naya akan melanjutkan perannya sebagai wanita sempurna di atas kertas, atau merobek naskah itu dan mencari kehidupan dan jati diri baru ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pembicaraan dan Tekanan

Suasana ruang perawatan itu terasa lebih hangat daripada hari-hari sebelumnya. Tirai jendela sedikit terbuka, membiarkan cahaya matahari sore masuk, memantulkan sinarnya ke dinding putih bersih. Meski begitu, udara di dalam ruangan terasa berat, seolah ada sesuatu yang tak kasat mata menggantung di antara mereka.

Naya duduk di tepi ranjang, mengenakan sweater longgar berwarna krem yang tampak kebesaran untuk tubuh mungilnya. Rambut panjangnya yang semula acak-acakan kini terlihat lebih rapi, meski wajahnya masih pucat dengan bekas luka samar di sudut bibir. Tangan kirinya masih terbalut perban, sementara tatapannya kosong, menekuri lantai tanpa benar-benar melihat.

Brian berdiri tak jauh darinya, bersandar di dinding dengan lengan terlipat di depan dada. Matanya tajam, memperhatikan setiap gerak-gerik Naya—bukan dengan amarah, tapi ada sesuatu yang lebih rumit di sana: kekhawatiran, ketegangan, dan… rasa bersalah.

Rayhan sibuk membereskan berkas pasien di meja kecil di sudut ruangan. Ia melirik sekilas ke arah Naya, lalu ke Brian, sebelum akhirnya menarik napas dalam.

“Kondisi fisik kamu udah jauh membaik, Naya,” kata Rayhan pelan, memecah keheningan. “Aku dan Brian udah diskusi, dan secara medis kamu udah boleh pulang hari ini.”

Naya tidak bereaksi.

Rayhan bertukar pandang dengan Brian sebelum melanjutkan, “Tapi… ada satu hal lagi. Aku dan Brian sepakat buat merujuk kamu ke poli jiwa untuk pendampingan psikiater.”

Perlahan, Naya mengangkat wajahnya. Mata cokelatnya menatap Rayhan, kosong dan lelah. “Kenapa?”

Rayhan sedikit tersenyum, lembut tapi hati-hati. “Ini bukan karena kami pikir kamu lemah atau gila, Naya. Kami cuma khawatir. Kejadian malam itu pasti ninggalin luka, bukan cuma di tubuh, tapi juga di pikiran kamu.”

Kata "malam itu" membuat tubuh Naya menegang sejenak, meski ia berusaha menyembunyikannya. Brian bisa melihat jemari Naya yang gemetar, menggenggam ujung sweaternya erat.

“Aku baik-baik aja,” gumam Naya lirih.

Brian menghela napas, melangkah maju. “Kamu mungkin ngerasa gitu sekarang,” ucapnya, suaranya dalam. “Tapi trauma itu gak selalu kelihatan langsung, Naya. Kami cuma mau pastiin kamu punya seseorang buat bantu kamu ngelaluinnya.”

Naya tidak menjawab, hanya menunduk lagi.

Beberapa detik hening berlalu sebelum suara pintu diketuk pelan. Ratna dan Wisnu masuk, diikuti Lisa yang berdiri di belakang mereka, tampak ragu-ragu.

“Naya…” Ratna tersenyum tipis, meski sorot matanya penuh keprihatinan. “Kamu udah siap buat pulang, sayang?”

Naya tersenyum kecil. “Iya, Tante…”

Ratna duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Naya dengan hangat. Sementara itu, Wisnu berdiri di samping Brian—diam, tapi matanya tajam memperhatikan Naya, seolah sedang menimbang sesuatu.

Setelah beberapa detik yang menegangkan, Wisnu akhirnya angkat suara. “Kami gak mau maksa kamu, Naya,” katanya tegas, “tapi… untuk sekarang, kami harap kamu ikut kami pulang dulu ke rumah.”

Kening Naya berkerut. “Ke rumah Om dan Tante?”

Ratna mengangguk. “Kami cuma mau bicara, Nak. Ada sesuatu yang penting buat kita semua.”

Naya tampak bingung, matanya melirik sekilas ke arah Brian yang hanya diam, wajahnya sulit terbaca.

“Saya gak bisa langsung pulang ke rumah?” suara Naya bergetar, meski jelas ia berusaha terlihat tenang.

Ratna tersenyum lembut, mencoba menenangkannya. “Kami janji ini gak akan lama. Kami cuma mau pastiin kamu baik-baik aja sebelum kamu kembali.”

Lisa ikut bicara, suaranya lirih, hampir seperti meminta. “Naya… please.”

Akhirnya, Naya mengangguk. Ia tidak tahu kenapa rasanya sulit untuk menolak, atau mungkin ia terlalu lelah untuk berdebat.

Perjalanan menuju rumah keluarga Brian terasa begitu panjang meski sebenarnya hanya memakan waktu tiga puluh menit. Naya duduk di kursi belakang bersama Ratna, sementara Brian yang mengemudi ditemani Wisnu di kursi penumpang.

Di dalam mobil, tak ada percakapan berarti. Hanya suara mesin mobil dan gumaman pelan dari radio yang mengisi kekosongan di antara mereka.

Sesekali, Brian melirik Naya melalui kaca spion tengah. Gadis itu memandang keluar jendela, wajahnya kaku, seperti sedang memikirkan banyak hal—atau justru kosong sama sekali.

Setibanya di rumah keluarga Brian, suasana kaku itu tidak juga mencair. Ruang tamu besar dengan nuansa klasik terasa hening. Naya duduk di salah satu sofa, sementara Brian berdiri di dekat jendela, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

Wisnu berdeham, memecah keheningan. “Naya, ada sesuatu yang harus kami bicarakan.”

Naya mengangkat wajahnya, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.

Ratna duduk di sampingnya, mengelus pelan punggung tangannya. “Kami tahu… malam itu kejadian buruk terjadi.”

Naya menegang.

Brian memejamkan mata sebentar sebelum menatap lurus ke arahnya. “Kami baru aja dapet hasil lab dari Rayhan,” suaranya berat. “Ada… jejak.”

Kata itu melayang di udara, menghantam Naya lebih keras dari yang dia duga.

“Naya…” suara Ratna sedikit bergetar. “Kami gak tahu apa yang ada di pikiran kamu sekarang. Kami gak akan memaksa kamu buat apa pun. Tapi, sebagai orang tua Brian, kami khawatir.”

“Khawatir?” ulang Naya pelan, nyaris seperti bisikan.

“Kami takut,” Wisnu melanjutkan. “Kalau… kalau ternyata kamu hamil.”

Ruangan itu seketika menjadi sunyi.

Naya menatap mereka satu per satu, matanya membelalak kecil. “H-hamil?”

Ratna buru-buru meraih tangannya lagi, mencoba menenangkan. “Kami gak bilang kamu hamil, Nak. Tapi… kemungkinannya ada.”

Brian, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya buka suara. “Kami cuma mau tahu… kalau itu beneran terjadi… kamu mau apa?”

Naya menggeleng pelan, wajahnya memucat. “Aku gak tahu… aku gak pernah mikirin itu…”

Ratna menghela napas, matanya berkaca-kaca. “Kami cuma mau kamu tahu… kalau kamu gak sendirian, Naya. Apa pun keputusannya nanti, kami ada.”

"Kami tau ini berat Naya, tapi bukan kah akan lebih berat lagi jika kekhawatiran itu menjadi kenyataan dan kamu tidak memiliki komitmen hubungan dengan siapapun Nay ? " Lanjut Ratna.

"Lantas saya harus gimana tante?"

Ratna menatap tajam kearah Brian. Memberikan kesempatan agar Brian yang bicara.

"Saya ingin menikahimu Naya. " Ucap Brian.

"Untuk apa ? Bukannya ini belum dipastikan ? Berarti saya juga tidak harus menikah dengan Kak Brian. "

"Naya, ini bukan karena reputasi keluarga kami, kami lakukan ini pure untuk melindungi kamu dari petaka yang lebih besar." Ratna bantu menjelaskan.

"Maksudnya ?"

"Kalau benar kamu hamil, sekalipun Brian bertanggung jawab bukannya akan terlambat menutupi aib ini ? Apa yang akan orang lain katakan ketika tau kamu melahirkan dengan kandungan yang belum cukup umur ? Mereka akan langsung mencemooh bahwa anak kalian adalah anak hasil tindakan asusila." Ratna kini menjelaskan dengan pasti.

"Ta-tapi saya gak gitu .. "

Naya memejamkan mata, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. Ia tak tahu mana yang lebih berat—kenyataan bahwa ia mungkin sedang mengandung, atau tekanan yang perlahan menghimpitnya dari keluarga Brian.

Semua ini… terlalu banyak untuk ia tanggung sendiri.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!