Ini bukan kisah istri yang terus-terusan disakiti, tetapi kisah tentang cinta terlambat seorang suami kepada istrinya.
Ini bukan kisah suami yang kejam dan pelakor penuh intrik di luar nalar kemanusiaan, tetapi kisah dilema tiga anak manusia.
Hangga telah memiliki Nata, kekasih pujaan hati yang sangat dicintainya. Namun, keadaan membuat Hangga harus menerima Harum sebagai istri pilihan ibundanya.
Hati, cinta dan dunia Hangga hanyalah untuk Nata, meskipun telah ada Harum di sisinya. Hingga kemudian, di usia 3 minggu pernikahannya, atas izin Harum, Hangga juga menikahi Nata.
Perlakuan tidak adil Hangga pada Harum membuat Harum berpikir untuk mundur sebagai istri pertama yang tidak dicintai. Saat itulah, Hangga baru menyadari bahwa ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh kepada Harum.
Bagaimana jadinya jika Hangga justru mencintai Harum saat ia telah memutuskan untuk mendua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Sepanjang perjalanan pulang hanya ada obrolan antara Nata dan Hangga. Sedangkan Harum lebih banyak diam, hanya menyahut saat sesekali Nata mengajaknya bicara.
Sementara Hangga, tidak sekalipun mengajak Harum berbicara, bahkan untuk sekedar menyapa pun tidak.
“Yang, nanti malam kita keluar yuk,” usul Nata di sela obrolannya bersama Hangga.
“Keluar ke mana?”
“Ke mana aja. Nonton atau makan juga boleh.”
“Oke, siap,” sahut Hangga tanpa mengalihkan fokusnya pada jalanan.
“Rum, nanti malam kamu bisa ikut ‘kan?” Nata yang duduk di kursi depan menolehkan kepalanya ke belakang, melontarkan pertanyaan pada Harum.
“Bisa ya. Harus bisa,” desak Nata sebelum Harum memberikan jawaban.
Mau tidak mau, Harum mengangguk menerima ajakan Nata. Bertiga dalam perjalanan saja, Harum merasa bagaikan mentimun dalam sepiring nasi goreng yang tidak terlalu penting keberadaannya. Apalagi kalau sampai jalan bertiga. Harum hanya dapat menarik napas berat membayangkannya.
Malam hari, Hangga benar-benar mewujudkan permintaan Nata untuk pergi keluar. Sebelum berangkat, Harum sempat menolak ajakan Nata dengan beralasan sedang sakit kepala, namun Nata malah memberinya obat dan tetap menyuruhnya untuk ikut.
“Minum ini, Rum. Aku kalau sakit kepala, selalu minum obat ini. Biasanya enggak sampai setengah jam, sakit kepalanya sudah reda. Kalau sudah reda sakitnya, kita langsung jalan keluar ya,” bujuk Nata sembari menyodorkan tablet sakit kepala. Membuat Harum merasa tidak enak untuk menolak ajakan Nata.
Selepas Magrib, Hangga melajukan mobilnya ke sebuah mal. Pria tampan itu berjalan bersama kedua istri cantiknya. Ketiganya berjalan beriringan.
Posisi Nata berada di tengah, tangan kanannya bergelayut manja di lengan Hangga, sementara tangan kirinya menggenggam erat tangan Harum.
“Rum, mau makan dulu atau shopping dulu?” tawar Nata saat sudah masuk mal.
“Saya ikut aja, terserah Kak Nata,” sahut Harum.
Sebenarnya Harum tidak menginginkan kedua tawaran Nata tersebut. Belanja bukanlah hobinya. Apalagi Harum tumbuh dalam keluarga sederhana, yang memiliki prinsip, “berbelanjalah sesuai kebutuhan, bukan keinginan”.
Lagi pula, baru beberapa hari yang lalu Hangga membelikan baju untuknya.
Tentang makan, Harum juga lebih memilih makan di rumah saja daripada makan bertiga di luar bersama suami dan madunya yang sudah pasti bakal menciptakan atmosfer penuh kecanggungan.
“Kita shopping dulu aja, yuk. Cari baju couple.” Nata menggandeng tangan Harum masuk ke sebuah toko pakaian dengan wajah ceria.
Hampir satu jam, kedua wanita cantik itu keluar masuk gerai pakaian, namun tidak ada model pakaian yang menarik perhatian Nata. Ada yang cocok, namun tidak tersedia dalam model couple. Akhirnya mereka membeli tas couple brand lokal yang sangat terkenal.
“Susah juga ya, Rum, beli baju couple. Udah lah tas kita aja yang couple, gak apa-apa ‘kan?” lontar Nata.
Tentu saja akan sulit mencari baju couple untuk Nata dan Harum, dikarenakan perbedaan penampilan mereka. Harum berjilbab, sedangkan Nata tidak.
“Enggak apa-apa, lagi pula baju saya masih banyak di lemari. Ini tas juga sebenarnya enggak butuh-butuh banget karena saya ‘kan bukan pekerja kantoran,” sahut Harum.
“Enggak apa-apa lah, Rum. Sekali-kali kita habisin uang suami, enggak dosa kayaknya,” gurau Nata dengan berbisik di telinga Harum yang sontak memecah tawa keduanya.
Hangga mengerutkan kening melihat kedua istri cantiknya tertawa dengan begitu akrabnya. “Apa lagi ngomongin aku ya?” gumamnya dalam hati.
Nata menggandeng tangan Harum. Sementara Hangga berjalan sendiri di belakang kedua istrinya.
“Rum, ke sana, yuk!” Nata menunjuk sebuah gerai sepatu, lalu menarik tangan Harum agar mengikutinya.
Nata yang begitu antusias terlalu kuat menarik tangan Harum sehingga membuat wanita berjilbab itu terhuyung ke depan. Beruntung tidak sampai jatuh, karena Hangga yang berjalan di belakang Harum berhasil menangkap tubuhnya.
“Awas, hati-hati!” seru Hangga saat tangannya berhasil menangkap tubuh Harum yang terhuyung ke depan dan hampir terjatuh.
Nata turut menoleh ke belakang. Insiden itu membuat dunia seakan berhenti sekian detik bagi ketiganya.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya Hangga pada Harum.
Tangan Hangga masih memegang kedua lengan Harum dari posisinya di belakang. Harum mendongak menatap Hangga. Sejenak sorot mata keduanya bertemu beberapa kejap.
“Ehem.” Deheman Nata sontak membuat Hangga melepaskan tangannya dari tubuh Harum.
“Saya enggak apa-apa. Terima kasih,” ucap Harum seraya menegakkan kembali tubuhnya.
“Nat, kita makan aja dulu. Sudah mau jam delapan,” ujar Hangga setelah situasi kembali kondusif.
“Lihat sepatu dulu, baru makan.” Nata kembali menggandeng tangan Harum.
“Makan dulu, Nat. Aku udah lapar,” desak Hangga lagi.
“Kak, kita makan dulu aja. Kasihan Mas Hangga sudah lapar,” timpal Harum yang tidak tega melihat Hangga kelaparan jika sampai menuruti Nata yang ingin masuk ke gerai sepatu.
“Ya udah deh, kita makan dulu. Kamu mau makan apa, Yang?” tanya Nata. Ia melepas gandengan tangannya pada Harum, lalu berganti melingkarkan tangannya di pinggang Hangga.
“Terserah kamu aja, Yang.” Hangga membalas dengan melingkarkan tangannya di pinggang ramping Nata.
Harum hanya dapat mengembuskan napas saat Nata dan Hangga mulai berjalan di depannya dengan posisi tangan saling memeluk pinggang.
Ingin sekali rasanya Harum menghilangkan diri sejenak, atau pulang saja ke rumah dengan pintu Doraemon. Agar mata dan hatinya tidak terluka melihat kemesraan dua insan yang berjalan di depannya.
“Rum, ayo!” seru Nata saat menyadari Harum telah tertinggal di belakangnya.
“I-iya.” Harum mulai mengayun langkahnya, berjalan mengekor di belakang pasangan yang saling mencinta dan saling memeluk pinggang itu.
.
.
.
.
.
Maaf kalau lambat alurnya karena memang ada target kata yang ingin aku capai. Hitung-hitung lagi belajar nulis.
Terima kasih banyak dukungannya. ❤️❤️❤️
sungguh nikmat kn mas Hangga poligami itu 😈
yg bener nggak sadar diri
perempuan yang merendahkan diri sendiri demi cinta yg akhirnya di telan waktu