Jesslyn tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam satu malam. Demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran finansial, ia dipaksa menikahi Neo, pewaris kaya raya yang kini terbaring tak berdaya dalam kondisi koma. Pernikahan itu bukanlah perayaan cinta, melainkan sebuah kontrak dingin yang hanya menguntungkan pihak keluarga Neo.
Di sebuah rumah mewah yang sunyi, Jesslyn tinggal bersama Neo. Tanpa alat medis modern, hanya ada dirinya yang merawat tubuh kaku pria itu. Setiap hari, ia berbicara kepada Neo yang tak pernah menjawab, berharap suara dan sentuhannya mampu membangunkan jiwa yang terpenjara di dalam tubuh itu. Lambat laun, ia mulai memahami sosok Neo melalui buku harian dan kenangan yang tertinggal di rumah itu.
Namun, misteri menyelimuti alasan Neo koma. Kecelakaan itu bukan kebetulan, dan Jesslyn mulai menemukan fakta yang menakutkan tentang keluarga yang telah mengikat hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Perlu
Jesslyn menatap tak percaya ke arah Sonia, yang sedang memborong hampir semua barang di sebuah butik mewah. Setiap gaun, tas, dan sepatu yang menarik perhatiannya langsung ditunjuk untuk dibawa ke kasir tanpa pikir panjang.
"Bibi, ini benar-benar tidak perlu. Aku tidak butuh semua ini," ujar Jesslyn sambil menggenggam lengan Sonia, mencoba menghentikan Sonia yang seperti orang kesurupan.
Sonia berbalik dengan senyum lebar di wajahnya. "Ayolah, Jesslyn , jangan bersikap menyebalkan. Kau itu istri Neo, untuk itu kau harus selalu tampil memukau. Apalagi dengan statusmu, kau akan sering menemani suamimu menghadiri acara-acara penting. Kau tidak mau orang-orang menganggapmu sembarangan, kan?"
"Tapi," Jesslyn mencoba protes, namun Sonia memotongnya.
"Sudahlah, jangan banyak berpikir. Soal uang, kau tidak perlu khawatir." Sonia mengeluarkan sebuah kartu hitam dari tasnya, lalu mengayunkannya di depan wajah Jesslyn dengan seringai lebar. "Lihat ini? Aku memilih Black card di tanganku. Aku mencuriny dari Neo. Kita bisa berbelanja sepuasnya, hahaha!"
Jesslyn membelalak. "Bibi! Kau serius? Bagaimana jika dia marah?"
Sonia terkekeh pelan. "Neo? Marah? Kau terlalu khawatir, sayang. Apa artinya uang baginya? Dia itu punya kekayaan hingga ratusan, bahkan ribuan triliun. Kartu ini? Hanya salah satu dari puluhan kartu yang dia miliki. Lagi pula, kau ini istrinya. Semua yang dia punya juga milikmu, jadi tidak ada salahnya kau bersenang-senang sedikit."
"Tetap saja, aku merasa tidak enak hati. Lagipula, aku tidak pernah meminta apa pun darinya," balas Jesslyn pelan, hampir seperti bisikan.
"Jesslyn, dengarkan aku. Kau harus belajar menikmati hidup. Kau sudah terjebak dalam pernikahan ini, jadi setidaknya manfaatkanlah situasimu. Kau berhak atas semua ini, kau berhak atas harta Neo. Jangan terlalu polos. Aku hanya ingin membantumu."
Jesslyn menghela napas panjang, dia merasa bingung harus bagaimana menanggapinya.
"Sudahlah," Sonia melanjutkan sambil menarik tangan Jesslyn, lalu membawanya mendekat ke sebuah rak yang penuh dengan gaun-gaun indah. "Lihat gaun ini! Cantik, kan? Warnanya cocok sekali untukmu. Kau akan terlihat memukau di pesta berikutnya."
"Tapi Bibi, sungguh- aku tidak perlu"
"Kau perlu. Percayalah padaku," potong Sonia sambil menganggukkan kepalanya. "Neo tidak akan mempermasalahkannya. Bahkan dia tidak akan sadar kalau aku menggunakan kartu ini. Jadi, nikmati saja. Setelah hari ini, aku pastikan kau akan menjadi pusat perhatian di mana pun kau berada."
Jesslyn terdiam, dia menatap gaun yang dipegang Sonia. Dia tahu Sonia benar soal satu hal, jika dia akan menjalani hidup ini, mungkin ada baiknya dengan mempersiapkan diri lebih awal. Tapi tetap saja, ada rasa ragu yang sulit dia abaikan.
***
Adamson sedang duduk di kantornya, memeriksa dokumen dengan cermat saat pintu ruangan terbuka keras. Dia mendongak, dan seketika wajahnya memucat. Sosok yang muncul di depan pintu adalah pria yang selama ini dia yakini tidak akan pernah kembali—Neo Hou.
"Tu... Tuan Hou, A-Anda masih hidup?" tanya Adamson dengan suara bergetar, dia berdiri terburu-buru hingga hampir menjatuhkan kursinya.
Neo menyeringai lebar, langkahnya tenang namun penuh tekanan. "Tentu saja aku masih hidup, Adamson. Kenapa? Apa kau sangat berharap aku benar-benar mati?"
Adamson menggeleng cepat, dan mencoba menutupi keterkejutannya. "Te... Tentu saja tidak, Tuan. Sa... Saya justru senang melihat Anda masih hidup," jawabnya dengan senyum gugup yang lebih terlihat seperti cengiran.
Neo berjalan mendekat, matanya menatap tajam, dan menusuk langsung ke dalam jiwa Adamson. "Benarkah? Kenapa aku malah merasa sebaliknya. Aku tahu, Adamson. Aku tahu apa yang telah kau lakukan. Bersama ular betina itu, kalian bersekongkol untuk menggelapkan dana perusahaan."
Wajah Adamson semakin pucat. "T-tidak, Tuan! Itu hanya kesalahpahaman. Saya... saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan."
Neo tertawa kecil, suara rendahnya menggema seperti ancaman. "Adamson, kau benar-benar payah dalam hal berbohong, ya? Aku punya semua buktinya. Transaksi mencurigakan, dokumen palsu, semuanya mengarah padamu. Kau pikir aku tidak akan mengetahuinya?"
Adamson terhuyung ke belakang, keringat dingin membanjiri wajahnya. "Tuan Hou, tolong beri saya kesempatan. Saya bisa menjelaskan semuanya. Saya hanya mengikuti perintah. Itu semua ide mereka, bukan saya!"
Neo menggeleng pelan, senyum dingin menghiasi wajahnya. "Ide mereka? Mungkin. Tapi kau tetap melakukannya, bukan? Dan hari ini, aku di sini untuk memastikan kau mendapatkan pelajaran yang pantas."
Adamson jatuh berlutut, memohon penuh kepanikan. "T-tolong, Tuan! Saya punya keluarga. Jangan laporkan saya ke polisi. Saya akan mengembalikan semua uangnya, saya bersumpah!"
Neo menunduk sedikit, menatap Adamson seperti seorang predator yang menikmati ketakutan mangsanya. "Keluarga, ya? Bukankah selama ini kau tidak pernah memikirkan mereka saat kau melakukan kejahatan. Tapi aku bukan monster. Aku akan memberimu kesempatan."
Adamson mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. "Apa pun, Tuan! Saya akan melakukan apa saja untuk Anda!"
Neo menyeringai lagi, kali ini lebih tajam. "Selesaikan pengembalian dana itu sekarang. Dan setelah itu, keluar dari perusahaan ini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi."
Adamson mengangguk cepat. "Y-ya, Tuan! Saya akan melakukannya. Saya bersumpah!"
Neo berbalik, tapi sebelum melangkah keluar, dia menoleh sekali lagi. "Ingat, Adamson. Sekali lagi aku melihat namamu terlibat dalam sesuatu yang mencurigakan, aku tidak akan sebaik ini lagi. Mengerti?"
Adamson mengangguk cepat, tubuhnya gemetar hebat saat Neo meninggalkan ruangan, meninggalkannya dalam kekacauan dan ketakutan.
***
"Apa kalian sudah selesai?" tanya Neo yang tiba-tiba muncul di ambang pintu boutique.
Jesslyn dan Sonia menoleh bersamaan. Sonia menyeringai lebar, seperti anak kecil yang baru saja menemukan ide nakal. "Oh, kau datang dengan tepat waktu!" katanya sambil berjalan ke arah Jesslyn.
Sebelum Jesslyn sempat bereaksi, Sonia dengan sengaja mendorong tubuhnya ke arah Neo. "Oops!" katanya pura-pura kaget. Jesslyn kehilangan keseimbangan dan jatuh ke dalam pelukan pria itu.
Neo dengan sigap menangkapnya, kedua tangannya memegang lengan Jesslyn, menjaga agar dia tidak jatuh lebih jauh. "Kau baik-baik saja?" tanyanya memastikan.
Jesslyn mengangguk. "Ya. Aku baik-baik saja." ucapnya setengah gugup, dan sebisa mungkin Jesslyn bersikap tenang.
Sonia tertawa kecil, dia terlihat sangat puas dengan hasil 'keisengannya'. "Karena kau sudah ada di sini. Jadi, aku serahkan dia padamu. Aku punya urusan lain, jadi aku pergi dulu," ujarnya sambil mengedipkan mata ke arah Neo, lalu melambaikan tangan ke arah Jesslyn. "Jess, jangan terlalu kaku. Nikmati waktumu, ya!"
Sonia pergi begitu saja, meninggalkan keduanya dalam suasana yang sedikit canggung.
Neo menatap Jesslyn yang masih berusaha mengendalikan dirinya. "Sepertinya kau sudah belanja cukup banyak," katanya sambil menunjuk beberapa tas belanja yang diletakkan di meja.
Jesslyn mendengus kecil, "Ini semua ide Bibimu. Aku hanya mengikuti apa yang dia inginkan. Jika tidak, dia pasti akan terus mengocok seperti burung beo,*
Neo mengangguk, dia paham maksud dari perkataan Jesslyn. "Bagaimana kalau kita makan siang bersama? Aku tahu tempat yang bagus tidak jauh dari sini."
"Apa kau baru saja mengajakku untuk makan?" Neo mengangguk. "Kebetulan sekali, aku memang sangat-sangat lapar. tenagaku terkuras habis untuk menemani Bibimu keliling boutique, dan itu sangat-sangat membuang banyak energi,"
Neo tersenyum tipis mendengar jawaban gadis itu. "Kalau begitu , jangan buang-buang waktu lagi. Ayo," Jesslyn menerima uluran tangan Neo, yang keduanya berjalan dari jaringan menuju restoran terdekat.
***
"Kenapa kau malah jadi anak kecil? Jangan bilang jika kau benar-benar memiliki kepribadian ganda?!"
***
Bersambung