Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
"Oh... Saya tahu! Rupanya Ibu menyiram wajah saya dengan air garam kemarin, itu rupanya demi melancarkan niat BUSUK kalian berdua 'kan?" Ayana tersenyum getir. Ia menekan kata 'busuk' karena memang Kata itu sesuai dengan sikap Ibu dan anak itu.
Sama-sama BUSUK!
Bu Anita menggeram merasa tidak terima.
Tanganya sudah terangkat, "Kurang ajar!"
Namun belum sampai ia layangkan pada Ayana, tiba-tiba saja Milya berteriak dari teras rumah utama.
"Mah... Cepet sini, Mbak Mawar telfon nangis-nangis, nih!"
Deg!
Bu Anita menoleh kaku.
Ayana masih melekatkan sorot matanya yang penuh luka kearah sang Mertua.
"Awas kamu, Ayana!" setelah cukup memperingati, Bu Anita melenggang pergi dari hadapan menantunya.
Ayana spontan masuk, menyandarkan sebelah tubuhnya pada sisi pintu, hingga lama-lama tubuh rapuh itu luruh dengan sendirinya diatas lantai.
Air mata itu luruh, mengalir begitu saja tanpa dapat ia tahan. Ayana menangis bukan karena ia takut akan di poligami, atau di tinggal menikah suaminya. Namun, karena harga dirinya di tempat itu yang menjadi taruhannya.
Tiba-tiba dari dalam Zeva berjalan meskipun agak tertatih.
"Ibu... Tenapa Ibu duduk di lantai! Ibu menangis?"
Ayana cepat-cepat menyeka air matanya, lalu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Ia langsung berusaha menangkap tubuh putranya, dan menggendong Zeva untuk ia ajak duduk.
"Nggak kok, Ibu nggak menangis! Tadi Ibu kelilipan aja, Sayang! Ibu duduk tadi, karena kecapean abis ngejar kecoa di bawa nakas itu," tunjuk Ayana pada nakas di sebrang.
Zeva terkekeh, "Ibu jangan capek-capek, ya! Nanti talo Zeva cudah besal... Zeva akan bekelja bantuin Ibu! Zeva akan belikan lumah besar, sama seperti punya Paman Lama."
"Amiin, Sayang! Zeva harus sekolah dulu, dan belajar yang giat ya. Suapaya cita-cita Zeva tercapai! Oh ya... Cita-cita Zeva pingin jadi apa, sih? Ibu kasih tahu dong?" Ayana mendudukan putranya, lalu menatap Zeva penuh kasih.
Sejenak, bocah kecil itu tampak berpikir.
Lalu tetiba munculah ide dari Zeva, yang kali ini membuat Ibunya kesulitan harus menjawab apa.
"Ibu, dimana Ayah Zeva? Tenapa Zeva tidak perlnah beltemu Ayah?"
Mencoba bersikap biasa, nyatanya Ayana belum mampu. Ia hanya mampu terdiam beberapa detik, tersenyum paksa, sambil mengusap kepala putranya.
"Zeva... Ibu 'kan sudah pernah bilang, kalau Ayah Zeva lagi bekerja jauhhh... Sekali!"
Zeva tertunduk dengan wajah muramnya. Sorot matanya sudah memanas, namun sekuat mungkin ia tahan untuk tidak menangis.
"Apa Zeva boleh melihat foto Ayah, Ibu?" celetuknya kembali. Kali ini suaranya parau, nyaris begetar.
Batin Ayana kali ini menjerit kesakitan. Ia menangis kencang, meraung penuh kepedihan, bingung, apa yang harus ia jawab saat ini. Pikiran dan hatinya saling bertolak belakang, tak mampu ia redakan dalam bersamaan.
"Zeva... Nanti ya Ibu tunjukin foto Ayah! Ayah bilang, Ayah sendiri yang akan tunjukin fotonya pada Zeva. Kayanya sih, buat surprise gitu," kekeh Ayana hambar.
Zeva juga ikut terkekeh tiba-tiba.
"Wah, asik... Zeva cudah nggak sabal pingin sambut Ayah pulang, Ibu!" harapnya.
Ayana hanya mampu mengusap tangan putranya, meskipun tersenyum getir. 'Zeva, maafkan Ibu ya, Sayang! Ibu terpaksa berbohong pada Zeva. Tapi, semua ini bukan tanpa alasan, Sayang! Ibu hanya tidak ingin melihat Zeva semakin sakit karena kehidupan yang Ibu jalani kini.'
"Ya sudah, sekarang Zeva mainan sama Nek Uti ya! Ibu mau bekerja dulu. Nanti kalau Zeva mau bobok, bobok aja ya. Ingat, Zeva sudah besar nggak boleh merepotkan Nek Uti!"
Zeva mengangguk patuh.
Ayana kembali mengangkat tubuh Putranya untuk ia letakan di karpet tebal di depan televisi.
*
*
"Sudah ya, sayang... Rama 'kan memang sibuk. Mungkin dia belum sempat kabari kamu, karena pagi ini ada meting di kantor!" Bu Anita masih berusaha menenagkan Mawar di sebrang.
Di sebrang, masih terdengar suara isakan dari Mawar, sebab sejak tadi ia menunggu Rama tak kunjung datang.
"Ya sudah, Tante... Biar aku susulin aja di kantornya Rama!" putus Mawar.
Setelah memutus panggilannya, wanita cantik berusia 28 tahun itu segera menyeka air matanya, dan langsung bersiap-siap make-up terlebih dulu.
Mawar sudah rapi, dan kini turun dari tangga dengan wajah kurang bahagia.
Bu Imelda tertegun. Ia sampai menolehkan tubuhnya, bangkit dan langsung berjalan mendekat kearah putrinya.
"Loh, kok di tekuk gini mukanya? Katanya mau fitting baju lamaran sama Rama? Belum dateng ya, orangnya?"
Huhhh!
Mawar mendesah dalam. Raut wajahnya seolah tengah menjawab suasana hatinya yang kecewa saat ini.
"Rama meting, sibuk banget kata Tante Anita, Mah. Jadi dia nggak bisa jemput Mawar pagi ini."
Bu Imelda manggut-manggut. Sorot matanya masih melekat pada wajah Mawar, mencoba memahami situasi dari hubungan putrinya.
"Lhah ini, kamu mau kemana?"
"Biar aku susulin ke kantornya Rama aja deh, Mah! Siapa tahu aja Rama berbohong sama Mawar," cibir Mawar merasa geram dengan kekasihnya itu.
Bu Imelda hanya mampu melipat bibirnya hangat. "Ya sudah, kamu hati-hati! Jangan suka ngebut kalau bawa mobil!"
Mawar hanya mengangguk kecil. Perasaannya sedang kalut, mengingat perubahan sikap Rama sejak tadi malam. Ia langsung saja berjalan menuju garansi, dan segera melajukan mobilnya membelah jalanan Ibukota.
****
Pemakaman umum, jakarta utara.
Waktu sudah menunjukan pukul hampir 10.00 wib.
Akan tetapi, Rama masih betah bersimpuh didepan pusara seseorang. Bagi Rama, orang yang telah menyatu dengan tanah itu sudah ia anggap sebagai sosok pahlawan kedua setelah sang Ayah.
Arsyad Malik Ibrahim
1990-2020
Sosok hangat seorang Arsyad, orang yang selalu berdiri di belakang adiknya. Pria itu selalu menyokong Rama, membimbing adiknya agar selalu semangat dalam mengayuh masa depannya. Meskipun beda ibu, tapi Arsyad begitu menyayangi Rama begitu luar biasa. Apa lagi terhadap adik bungsunya-Milya.
Sebagai Kakak, Arsyad selalu mencontohkan kehidupan disiplin, ulet, dan yang paling terkesan adalah semangat tanpa putus asa. Perusahaan yang Rama jalani saat ini, itu semua juga hasil kecerdasan seorang Arsyad yang mampu membawa nama harum bagi perusahaan Ayahnya.
Kepergian Arsyad bagaikan bencana bagi Rama dan Milya. Kedua kakak beradik itu hampir frustasi, sebab mereka merasa separuh dunianya sudah runtuh ikut tertimbun bersama dengan sang Kakak-Arsyad. Sebagai orang yang paling dekat, apalagi sesama laki-laki, Rama merasa paling hancur sehancurnya pada saat itu.
Rama sampai bersumpah, akan membalaskan rasa sakit itu kepada keluarga Ayana. Dari kisah itulah, mengapa Rama begitu membenci Istrinya.
"Mas... Seharusnya kamu masih berdiri di sampingku, dan kita bangun sama-sama perusahaan Papah dengan baik. Tapi kamu gugur lebih dulu, gara-gara ulah Pak Susilo! Entah dendam apa yang dia simpan pada keluarga kita, hingga tega merampas nyawamu," lirih Rama sambil menatap sendu kearah pusara sang Kakak.
Tangan kekar itu mengambil bunga dalam plastik, sambil ia taburi dengan pelan.
"Dulu, aku memang berniat menyakitinya! Aku bahagia melihat dia menangis! Dan... Aku juga bahagia melihat hidupnya hancur! Tapi, semakin kesini, rasanya entah mengapa aku juga ikut merasakan sakit ketika dia dan putranya terdesak! Aku seolah kehilangan arah, tanpa adanya sosok teman buat bercerita." Lanjut kembali Rama. Kali ini suaranya parau, nyaris menjadi bisikan yang tertahan.
Dada Rama bergemuruh hebat, hingga tarikan nafas itu terasa lebih berat terdengar.
Ia mengusap wajahnya sekilas, merasa kalut dengan sikapnya tadi.
5 tahun sudah berlalu. Namun kejadian demi kejadian itu masih memenuhi kepala Rama hingga kini. Apalagi saat ia tahu, Kakaknya kecelakaan hingga tewas akibat kesalahan Pak Susilo-Ayah Ayana.
Flashback 2020.
Pagi itu, suasana rumah tampak tenang.
Keluarga besar Tuan Ibrahim sedang melakukan sarapan pagi bersama, sebelum memulai aktivitas masing-masing.
Mengingat hari itu minggu, jadi Arsyad berencana melakukan touring ke puncak bersama teman-teman komunitas motor Ninjanya. Namun sebelum itu, Arsyad berniat menjemput kekasihnya-Karina, untuk ia ajak dalam touring itu.
"Pah, aku berangkat dulu," Arsyad berlalu sambil mencium kepala Ayahnya sekilas.
Tuan Ibrahim mengangguk, "Jangan ngebut bawa motornya, Syad!"
"Nggak, Pah! Kan nanti juga ada Karina yang ikut," balas Arsyad sambil menggendong ransel tanggungnya. Setelah itu ia menatap kearah Bu Anita, "Tan, aku berangkat dulu!"
Bu Anita mencoba memaksakan senyumnya, "Iya, hati-hati! Ingat pesan Papahmu, Arsyad!"
Arsyad lalu berpamitan kepada kedua adiknya, Rama dan Milya.
Setelah itu ia keluar sambil mengotak atik gawainya untuk menghubungi sang pujaan hati. Setelah semuanya siap, Arsyad segera menutup standart helmnya, dan melajukan motor kawasakinya dengan kecepatan rata-rata.
Mengingat jalan ke arah rumah Karina sedang mengalami perbaikan jalan, jadi Arsyad memilih jalan lain yang melewati sedikit area terjal. Jalanan itu masih terkesan asri, dan jarang sekali di lewati oleh kendaraan umum.
Wajah tampan Arsyad semakin berseri, kala ia mendapat pap foto dari sang kekasih, yang dimana Karina sudah siap dengan penampilan ala anak motor. Dan hal itu mampu membuat Arsyad tersenyum sendiri ketika dalam perjalanannya.
Akan tetapi, wajah yang semula ceria itu, mendadak cemas bahkan berangsur memucat.
Bagaimana tidak, jika saat ini Arsyad tengah menuruni jalanan, namun kedua rem motornya sama sekali tidak berfungsi.
Sekuat tenaga Arsyad mencoba kembali menarik rem motornya, bahkan menekan juga rem dibawah, namun tetap saja rem itu tidak berfungsi.
Karena memang laju motor itu sangat kencang, jadi Arsyad sama sekali tidak memiliki pilihan lain selain menghantamkannya pada pohon besar.
Akan tetapi, ada sebuah pengendara motor yang meneriaki posisi Arsyad sebelum itu.
"Mas Arsyad, tetap tenang!"
Setelah itu, tiba-tiba saja pengendara motor itu menarik gas motornya sekuat mungkin, dan langsung menghadang laju motor milik Arsyad.
Kecelakaan tidak dapat terhindari lagi.
BRAKKKK!!!!