Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang Mulai Terlihat
Pagi itu, Lia terbangun dengan perasaan aneh.
Bukan karena mimpi buruk, bukan pula karena suara ayam atau angin sawah yang biasa. Ada rasa gelisah yang menempel sejak membuka mata—seperti firasat yang belum menemukan bentuknya.
Ia bangkit perlahan dan mengintip ke kamar depan.
Wijaya masih terlelap.
Wajahnya tampak lebih tenang dibanding malam-malam sebelumnya. Namun Lia tahu, ketenangan itu rapuh. Setiap kali Wijaya terlihat terlalu damai, biasanya sakit kepala atau mimpi aneh akan datang menyusul.
Lia menutup pintu pelan dan menuju dapur.
Bu Surti sudah lebih dulu bangun. Ia sedang menyiangi sayur dengan gerakan lambat, seolah pikirannya melayang entah ke mana.
“Kamu kelihatan capek, Nduk,” ujar Bu Surti tanpa menoleh.
“Aku baik-baik saja, Bu,” jawab Lia, meski suaranya tidak sepenuhnya yakin.
Bu Surti akhirnya menoleh. Tatapannya lembut, tapi penuh pertimbangan. “Orang itu… Wijaya… kamu yakin dia aman tinggal di sini?”
Pertanyaan itu membuat Lia berhenti sejenak. “Kenapa Ibu bertanya begitu?”
“Kadang Ibu merasa,” Bu Surti menurunkan suaranya, “dia bukan orang sembarangan.”
Lia terdiam. “Semua orang punya masa lalu, Bu.”
Bu Surti mengangguk pelan. “Iya. Tapi tidak semua masa lalu mau dikejar.”
Kalimat itu menancap di dada Lia.
Untuk menghilangkan rasa resah itu, ia menuju halaman depan.
Lia berdiri di halaman dengan bakul padi di pinggangnya. Rambutnya yang tebal dikepang sederhana dan dijatuhkan ke satu sisi bahu. Beberapa helai anak rambut lolos, menempel di pelipisnya karena keringat. Wajahnya tidak bisa disebut cantik seperti perempuan kota yang sering muncul di televisi, tapi ada keteduhan yang sulit diabaikan, kulitnya sawo matang, matanya bening, dan sorotnya jujur.
Ia adalah gadis desa dalam arti yang sesungguhnya. Tumbuh bersama tanah, hujan, dan musim. Tangannya tidak halus, tapi cekatan. Bahunya tidak rapuh, tapi selalu siap menyangga beban. Senyumnya jarang berlebihan, namun ketika muncul, terasa hangat seperti pagi di sawah.
Wijaya sering memperhatikannya diam-diam.
Bukan karena Lia berusaha menarik perhatian, justru sebaliknya. Ada sesuatu dari Lia yang membuat orang ingin bertahan—ketenangan yang tidak meminta apa pun, tapi memberi rasa pulang.
Saat Lia menoleh, mata mereka sempat bertemu.
“Kenapa?” tanya Lia sambil menyeka keringat dengan ujung selendang.
Wijaya menggeleng pelan. “Aku hanya… merasa beruntung.”
Lia tersenyum kecil, tidak menganggap kalimat itu istimewa. Ia tidak tahu bahwa bagi Wijaya, gadis desa dengan rambut tebal dan hati lapang itu perlahan menjadi satu-satunya jangkar di dunia yang tak lagi ia kenal.
.
Pagi ini Wijaya dimintai pertolongan bersama pak Wiryo ke balai desa. Memperbaiki atap yang bocor dan papan kayu.
“Mas Wijaya rajin ya,” bisik seseorang.
“Kelihatannya orang baik,” sahut yang lain.
Wijaya bukan lelaki desa pada umumnya, dan itu terlihat sejak pertama kali orang-orang memperhatikannya. Tubuhnya tegap, bahunya lebar, namun gerakannya sering tampak ragu—seolah ia masih menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru. Kulitnya mulai menggelap karena matahari, tapi jejak masa lalu masih tertinggal di cara ia berdiri dan menatap.
Rambutnya dibiarkan sedikit panjang dan jarang benar-benar rapi. Kadang ia memotongnya sendiri, asal tidak menutupi mata. Wajahnya tenang, rahangnya tegas, dengan sorot mata yang sering terlihat kosong, namun tidak dingin. Ada kebingungan yang tersimpan di sana, bercampur dengan kesungguhan.
Di desa, Wijaya dikenal pendiam dan pekerja keras. Ia tidak banyak bertanya, tidak pula banyak mengeluh. Jika diminta bantuan, ia mengangguk dan mengerjakan sebaik mungkin, meski sering harus belajar dari awal. Tangannya kasar oleh cangkul dan karung beras, tapi gerakannya tetap hati-hati, seolah ia terbiasa memegang sesuatu yang lebih rapuh.
Ia jarang tersenyum lebar. Namun ketika senyum itu muncul, biasanya karena hal sederhana—secangkir teh hangat, obrolan ringan, atau tatapan Lia yang menenangkan. Di balik sikapnya yang tenang, Wijaya menyimpan kegelisahan yang tak bisa ia jelaskan, tentang masa lalu yang terasa jauh, namun sesekali mengetuk lewat sakit kepala dan mimpi-mimpi samar.
Bagi warga desa, Wijaya adalah orang asing yang perlahan menjadi bagian dari keseharian.
Bagi Lia, ia adalah seseorang yang membutuhkan tempat untuk pulang.
Wijaya mendengar itu, tapi tidak benar-benar memahami perasaan yang muncul. Ia senang diterima, namun ada bagian dalam dirinya yang tetap merasa… sementara.
Saat mengangkat papan kayu, kepalanya tiba-tiba berdenyut.
Bukan keras. Tapi cukup membuatnya berhenti.
Ia memejamkan mata.
Sekilas— tampak ia melihat jalan panjang, suara klakson dan kilatan cahaya putih.
Wijaya terhuyung. Untung Pak Wiryo cepat memegang lengannya.
“Kamu kenapa?” tanya pak Wiryo peduli.
“Tidak apa-apa,” jawab Wijaya cepat, meski sedikit berat. “Hanya pusing.”
Pak Wiryo menatapnya lama, lalu berkata, “Kalau tidak kuat, jangan dipaksa.”
Wijaya mengangguk. Namun di dalam hatinya, ada rasa takut yang perlahan tumbuh.
Takut karena potongan itu terasa… nyata.
.
Di kota, sebuah selebaran baru dicetak.
Foto seorang pria terpampang di atasnya—rapi, berjas, dengan tatapan dingin yang tak lagi dimiliki oleh Wijaya.
ORANG HILANG
Nama: Krisna Kusuma
Ana Kusuma memegang selebaran itu dengan tangan gemetar. Ia membaca setiap kata berulang kali, seolah berharap ada sesuatu yang berubah.
“Sudah disebar ke desa-desa?” tanyanya lirih.
“Iya,” jawab stafnya. “Termasuk wilayah pertanian.”
Ana menutup mata. Dadanya terasa sesak. “Kalau dia masih hidup…”
Kalimat itu tidak selesai.
Di belakangnya, Kevin berdiri dengan tangan terlipat. Wajahnya tenang, sikapnya penuh perhatian.
“Ini langkah yang benar,” katanya. “Kalau Krisna masih hidup, dia pasti ditemukan.”
Ana menoleh. “Dan kalau dia ditemukan…?”
Kevin tersenyum tipis. “Berarti Tuhan masih memberi kita kesempatan.”
Jawaban itu terdengar tulus.
Terlalu tulus.
Sore hari, Lia sedang mengurusi padi di halaman ketika seorang pria asing datang ke desa. Motornya berhenti di dekat balai desa. Ia mengenakan jaket gelap dan membawa tas selempang.
“Permisi,” katanya pada warga. “Saya mencari seseorang.”
Beberapa orang mendekat, penasaran.
Lia menoleh tanpa sengaja—dan jantungnya berdegup lebih cepat.
Ada sesuatu dari pria itu yang membuatnya tidak nyaman.
Pria itu mengeluarkan selebaran.
“Apakah ada yang pernah melihat orang ini?”
Warga-warga saling pandang. Sebagian menggeleng, sebagian lain mengamati foto itu dengan saksama.
Lia menatap dari kejauhan.
Foto itu buram dari jaraknya, tapi entah kenapa… dadanya terasa sesak.
Wijaya, yang baru pulang dari balai desa, ikut melihat.
Ia menatap foto itu lama.
Kepalanya berdenyut keras.
“Wijaya?” panggil Lia, menyadari wajahnya berubah pucat.
Wijaya memalingkan wajah cepat. “Aku… tidak kenal.”
Itu bukan kebohongan.
Tapi juga bukan kebenaran utuh.
Pria asing itu akhirnya pergi, meninggalkan desa dengan jawaban samar.
Namun sejak sore itu, angin di Desa Tanjung Sari terasa berbeda.
Malam datang.
Wijaya duduk di teras sendirian. Lia keluar membawa dua cangkir teh.
“Kamu kenapa sejak sore diam?” tanya Lia.
Wijaya menerima teh itu. Tangannya sedikit gemetar. “Lia… kalau suatu hari ada orang datang mencariku…”
Lia menatapnya. “Kamu mau pergi?”
Wijaya menggeleng cepat. “Aku tidak tahu.”
Jawaban itu jujur—dan menyakitkan.
Lia duduk di sampingnya. “Apa pun yang terjadi, kamu tidak sendirian.”
Wijaya menatap Lia. Untuk pertama kalinya, ia merasa takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya ia miliki.
.
Di kota, Kevin berdiri menatap layar laptop. Laporan penyebaran selebaran terbuka di hadapannya.
Satu desa diberi tanda kecil.
Tanjung Sari.
Kevin tersenyum tipis.
“Menarik,” gumamnya, hanya itu yang terucap lalu ia kembali menatap berkas di atas meja. Kesibukannya yang baru dengan status sementara CEO.
Di antara desa yang mulai terusik dan kota yang semakin waspada, jarak antara Wijaya dan Krisna Kusuma perlahan menyempit.
Dan ketika jejak mulai terlihat, takdir pun bersiap memilih, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus kehilangan segalanya.