Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Bayang Baru dalam Keheningan
Malam di Eradel terasa lebih dingin dari biasanya. Ayla duduk di balkon kamarnya, memandangi bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Di hatinya berkecamuk perasaan yang sulit dijelaskan. Noir belum kalah, dan bayangan kegelapan yang menyelimuti pikirannya membuat ia merasa kecil dan tak berdaya.
Ia mengingat suara tawa Noir yang tajam dan ancaman yang terselip di dalamnya. Semuanya terasa begitu nyata, seperti luka yang belum sempat sembuh. Di sudut lain pikirannya, ia juga memikirkan Kael—betapa lelaki itu selalu ada di sisinya, mendukungnya di tengah keraguan. Namun, kali ini, ia bertanya-tanya: apakah ia pantas menerima dukungannya?
Ketukan di pintu mengusik lamunannya.
“Ayla?” Kael muncul di balik pintu, membawa semangkuk sup hangat. “Aku tahu kau belum makan.”
Ayla tersenyum lemah. “Terima kasih, Kael.”
Kael duduk di sampingnya, menatapnya dengan sorot penuh kekhawatiran. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya lembut.
Ayla menggigit bibirnya, ragu-ragu untuk menjawab. “Aku merasa tidak cukup kuat. Noir masih di luar sana, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana melawannya lagi. Aku takut semua ini berakhir dengan kehancuran.”
Kael menghela napas dan meraih tangannya. “Ayla, kau tidak sendiri. Kita akan mencari cara, bersama.”
Namun, sebelum Ayla bisa menjawab, sebuah suara muncul dari balik bayangan di lorong.
“Dia benar, Ayla. Kau tidak sendiri.”
Ayla dan Kael menoleh bersamaan. Dari kegelapan, seorang pria melangkah keluar, mengenakan jubah panjang berwarna biru tua. Rambut hitam legamnya memantulkan sinar bulan, dan matanya yang berwarna perak berkilauan seperti logam cair. Ia membawa aura percaya diri yang membuat kehadirannya tak bisa diabaikan.
“Siapa kau?” tanya Kael dengan nada penuh waspada.
Pria itu tersenyum tipis, lalu membungkuk sedikit. “Namaku Arlen. Aku datang untuk membantu.”
Ayla memandangnya dengan bingung. “Membantu? Dari mana kau tahu apa yang terjadi?”
“Aku sudah mengamati pergerakan Noir sejak lama,” jawab Arlen, suaranya tenang namun tegas. “Dan aku tahu betapa pentingnya peranmu dalam menghentikannya. Kau mungkin tidak mengenalku, tapi aku mengenalmu, Ayla.”
Kael berdiri, menghalangi jalan antara Arlen dan Ayla. “Kenapa kami harus mempercayaimu?”
Arlen menatap Kael dengan senyum penuh arti, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke Ayla. “Kalian tidak perlu percaya sekarang. Tapi aku tahu kebenaran tentang Noir. Dan jika kau ingin menghentikannya, kau memerlukan bantuanku.”
“Kenapa kau peduli?” Ayla bertanya, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik mata peraknya.
Arlen menatapnya dengan intensitas yang membuat jantung Ayla berdetak lebih cepat. “Karena aku tahu betapa pentingnya kau, Ayla. Dunia ini membutuhkanmu. Dan aku… ingin memastikan kau tidak gagal.”
Kael mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu dalam cara Arlen menatap Ayla yang membuat dadanya berdesir. “Kami tidak butuh bantuanmu,” ucapnya tegas.
Arlen terkekeh kecil. “Itu bukan keputusanmu, Pangeran.”
Ketegangan di antara mereka semakin terasa, tapi Ayla hanya bisa berdiri diam, hatinya dipenuhi pertanyaan. Siapa sebenarnya Arlen? Dan mengapa kehadirannya membuatnya merasa seperti berada di persimpangan jalan?
“Pikirkan tawaranku,” kata Arlen sebelum melangkah mundur, kembali menyatu dengan kegelapan. “Aku akan menunggumu, Ayla.”
Saat ia menghilang, keheningan kembali menyelimuti balkon. Ayla menatap Kael, yang terlihat marah sekaligus bingung.
“Aku tidak percaya padanya,” kata Kael dengan nada tajam.
Ayla menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. “Tapi dia tahu tentang Noir, Kael. Jika dia benar-benar bisa membantu…”
“Dia punya niat lain,” potong Kael, suaranya lebih keras dari yang ia inginkan. “Aku bisa melihatnya. Dan aku tidak akan membiarkan dia mendekatimu.”
Ayla menatap Kael, merasakan campuran emosi di dalam dirinya. Bagaimanapun, ada sesuatu tentang Arlen yang membuatnya merasa terhubung—seolah pria itu memahami sesuatu yang bahkan Kael tak bisa mengerti.
Di malam itu, Ayla kembali terjaga dalam pikirannya sendiri, bertanya-tanya apakah keputusan yang akan diambilnya nanti akan membawa harapan… atau justru kehancuran.
Pagi berikutnya, suasana di Istana Eradel terasa lebih tegang dari biasanya. Ayla mencoba mengalihkan pikirannya dari pertemuan aneh semalam, tetapi bayangan Arlen terus menghantui benaknya. Tatapan matanya, nada bicaranya, semuanya terasa terlalu akrab, meskipun ia tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Kael, di sisi lain, sibuk melatih para penjaga istana. Ia membuang energinya pada pedang dan strategi, tetapi dalam diam, pikirannya sibuk memikirkan pria misterius itu. Setiap kali ia mengingat cara Arlen menatap Ayla, ada bara yang menyala di dadanya.
Saat makan siang, Ayla menemui Kael di ruang makan istana. Ia duduk di seberangnya, tetapi tidak banyak bicara.
“Kau terlihat gelisah,” Kael akhirnya membuka percakapan.
Ayla mengaduk supnya dengan pelan, matanya tidak pernah benar-benar fokus. “Aku hanya memikirkan apa yang dikatakan Arlen semalam. Jika dia benar-benar tahu tentang Noir, mungkin kita harus mendengarnya.”
Kael meletakkan sendoknya dengan gerakan tegas, menatap Ayla dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. “Aku tidak mempercayainya, Ayla. Dia muncul tiba-tiba, menawarkan bantuan, tetapi membawa terlalu banyak misteri. Kau tidak tahu niatnya.”
“Tapi kita juga tidak tahu cara menghentikan Noir,” jawab Ayla, suaranya sedikit gemetar. “Bagaimana jika dia memang bisa membantu?”
“Dan bagaimana jika dia hanya membawa bahaya?” Kael menatapnya dalam-dalam, nada bicaranya lebih lembut kali ini. “Aku tidak ingin kau terluka.”
Kata-katanya membuat Ayla merasa hangat, tetapi juga bingung. Ia tahu Kael selalu melindunginya, tetapi ada sesuatu dalam cara Arlen berbicara yang membuatnya merasa bahwa ia tidak bisa diabaikan begitu saja.
Malam itu, ketika Kael sedang memimpin patroli di gerbang, Ayla merasa dorongan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia melangkah ke taman istana, berharap bahwa Arlen mungkin ada di sana. Dan benar saja, pria itu muncul dari bayangan pohon, senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Aku tahu kau akan datang,” katanya, suaranya hampir seperti bisikan.
Ayla memandangnya dengan hati-hati. “Kau mengatakan kau tahu cara menghentikan Noir. Aku ingin mendengarnya.”
Arlen melangkah mendekat, cukup dekat sehingga Ayla bisa melihat kilau mata peraknya. “Noir adalah bayangan dari kekuatan kuno, sesuatu yang tidak bisa dihentikan hanya dengan kekuatan fisik. Dia terikat pada jiwamu, Ayla. Itu sebabnya hanya kau yang bisa melawannya.”
Ayla tertegun, darahnya terasa dingin. “Terikat pada jiwaku? Apa maksudmu?”
“Aku belum bisa menjelaskan semuanya,” jawab Arlen. “Tapi aku tahu bagaimana caranya memutuskan ikatan itu. Dan aku akan membantumu, jika kau mempercayai aku.”
Ayla ingin bertanya lebih banyak, tetapi suara langkah kaki yang mendekat membuat mereka berdua menoleh. Kael muncul dari balik lorong taman, wajahnya tegang.
“Ayla, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya tajam, matanya langsung tertuju pada Arlen.
“Kael, aku hanya ingin—”
“Kembali ke dalam,” potong Kael, nadanya keras tetapi juga penuh kekhawatiran.
Arlen hanya tersenyum samar, melangkah mundur ke bayangan. “Kita akan bertemu lagi, Ayla.”
Setelah Arlen menghilang, Kael menatap Ayla dengan kekecewaan yang jelas. “Kau seharusnya tidak mempercayai orang seperti dia.”
Ayla menarik napas dalam, mencoba mengendalikan emosinya. “Dan jika dia benar-benar tahu cara menghentikan Noir? Apa kau tidak ingin mencoba semua yang kita bisa?”
“Tidak dengan mempertaruhkanmu,” jawab Kael tegas, tatapannya melembut. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun membahayakanmu, Ayla.”
Malam itu, meskipun mereka berada di tempat yang sama, jarak di antara mereka terasa lebih jauh. Ayla memikirkan Arlen dan apa yang dikatakannya, sementara Kael bertanya-tanya apakah ia mampu menjaga Ayla tetap aman… atau jika ia perlahan-lahan kehilangan tempat di hatinya.