NovelToon NovelToon
Altar Darah!

Altar Darah!

Status: tamat
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Tamat / Peradaban Antar Bintang / Tumbal / Permainan Kematian
Popularitas:525
Nilai: 5
Nama Author: Hana Indy

Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.

Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!

Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!

Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.

Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.

Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Gelora

..."Jiwamu terbakar api, matahari meninggi, kabur angin melalui tiang memantulkan impi. Tuan, segeralah pilih lawan jika tidak kesempatan akan hancur. Segera panjat tinggi dengan kaki, bukit indah yang kau biasa tengoki." -Altar....

Panas membara dalam indahnya siang. Teriknya nampak tidak asing lagi kepada dua manusia berjajar berdiri dalam pinggiran danau. Indah menjadi cermin kerlipan, pantulan sinar. Mengambil satu kelopak teratai yang menyentuh kakinya. Dengan segenggam asa melihat satu manusia yang menanti sebuah perihal hasilnya.

"Jack, seorang pedagang kain yang menjadi tuanmu?"

Lelaki berlutut dengan mata tertutup kain hitam. Tanpa diketahui siapa yang berbicara di depannya. Seperti apa wajahnya, atau garis tangannya.

Kepada lelaki belutut di depan mata lelaki bertudung merah. "Gerangan apa alasannya?"

Lelaki bertutup kain hitam di matanya, bernama Anthony. Bersepakat menyerahkan nyawanya sebagai tumbal agar putri yang dia kasihi dapat hidup bebas dengan nyaman. "Seseorang itu telah memperkosa putriku. Seseorang yang suah aku bantu selama bertahun-tahun telah mencuri hak hidupku."

"Menjijikkannya manusia sampai-sampai berpikir bahwa hal bodoh dengan kematian saja." Suara lain yang terdengar begitu berat. Apakah ada dua orang bertudung merah disana?

"Derita seorang ayah akan binasa." Lelaki bersuara berat itu menyetujui.

Dapat Anthony dengar suara langkah mendekat. Berbalutkan sarung tangan lelaki itu menyentuh tangannya lalu menggengamkan sebuah botol kaca. "Pergilah, dan serahkan nyawamu 14 hari dari sekarang di bukit ini. Kami akan menunggu ketika gelap tiba."

Anthony berdiri, dengan sedikit meraba dia berbalik. Berpegang pada pohon apa saja yang dia raih. Sekejap mata membuka penutup lalu menoleh ke belakang. Tempat yang menjadi pertemuannya hanya dipenuhi dengan pohon rindang tanpa ujung. Antony tidak pernah tahu di mana ruangan dnegan terik matahari itu. Yang dia tahu hanya kembali ke tempat dia melihat lelaki bertudung merah memberikan uluran tangan.

Seakan bukit ini mengatakan 'jika percaya maka dia akan hadir.'

Siapa yang dimaksudkan oleh 'mereka' Anthony bahkan tidak tahu. Tidak ada yang pernah melihat, tidak ada yang pernah kembali.

Kala itu ketika Anthony menyalakan senter mencari putrinya, tanpa sengaja arah senternya menangkap sosok bertudung merah. Tetapi Anthony mengabaikannya dan melanjutkan langkah. Menggendong putrinya menuruni bukit lalu terdengar suara.

"Kami akan membantu jika kau bersedia menyerahkan nyawam untuk kami."

Hanya kalimat itu sudah menjadi takdirnya.

...***...

Manik mata hitam masih tertuju pada hasil laporan ditulis seecara sempurna, beberapa kali Tuan Zion memuji tulisan tangan Julian yang serapih itu walau diseret sedemikian rupa. Setelah banyaknya mengulang hasil tes dia melirik kedua anak buahnya yang meminta tanggapan.

"Clause, kita akan melakukan reka adegan ulang ditempat Tuan Ferden bunuh diri."

"Sebelumnya ada yang ingin aku pertanyakan." Julian menyela, sebelum Clause dan Tuan Zion meninggalkan ruangan. Tuan Zion mengangguk setuju.

"Silakan," jawab Tuan Zion.

"Ini mengenai serbuk besi. Korban sebelumnya memiliki hal serupa. Pada Tuan Ferden tidak ditemukan, bisa diasumsikan pembunuh tidak mengincar Tuan Ferden. Mayat Amanda ditemukan setelah dua hari pencarian. Sedangkan, pada Tuan Ferden dia meninggal kurang dari 12 jam. Selama 36 jam Tuan Ferden masih hidup dan dia tidak bersama dengan Amanda ketika Amanda menghilang."

Tuan Zion mengangguk. "Iya."

"Alasan Tuan Ferden bunuh diri masih tidak diketahui tetapi dari apa yang terjadi pada mayatnya, Tuan Ferden berusaha melukai diri sendiri menggunakan benda tajam sehingga menyebabkan luka gores pada pangkal lengan kanan sampai lengan atas." Julian memperagakan letak luka itu. "Seperti disayat menggunakan sesuatu yang tumpul. Mungkin pecahan genteng, atau semacamnya. Padahal lokasi ditemukannya mayat Tuan Ferden jauh dari pemukiman dan hanya rumah Allan yang dekat."

"Clause juga mengatakan jika tali yang digunakan terbuat dari rotan. Rotan akan sangat sulit dibuat menggunakan tangan manusia tanpa alat bantu. Asumsikan jika Tuan Ferden membawa atau membeli rotan ini."

Clause teringat akan sesuatu. "Pedagang rotan terletak jauh dari pemukiman Bukit Azur," selanya.

Tuan Zion merasa terkejut dengan informasi itu. "Julian, bagaimana bisa kamu menyadari itu?"

Julian menoleh ke arah Tuan Zion dengan tatapan memicing. "Aku bertanya kepada Allan darimana akar rotan bisa diketemukan. Dan dia menunjukkan arahnya. Memang jauh dari lokasi ditemukannya mayat Tuan Ferden. Lokasi mobil juga berjarak puluhan kilometer. Apakah kita masih menganggap Tuan Ferden bunuh diri?"

"Luka goresan di tangan kanan, rotan yang berjarak jauh, mobil yang berada di festival. Berbarengan dengan Amanda yang dikuburkan hanya berjarak 800 meter. Pembunuhnya tidak hanya satu orang." Tuan Zion memutuskan.

"Tetapi, serbuk besi hanya pada Amanda," tambah Julian. "Jadi, bagaimana bisa pembunuh bisa melakukannya dengan cepat?"

Julian berpindah pandang. "Dia masih memiliki waktu 36 jam Clause untuk menyelesaikan penguburan Amanda, sebelum menghabisi Tuan Ferden."

"Mungkinkah jika Tuan Ferden ada pada saat malam terakhir Amanda? Sehingga pembunuh berusaha menghilangkan jejak dengan menganggapnya gantung diri."

Clause mengangkat tangannya dan memberikan jarak diantara kepalanya. "Jika kaki Tuan Ferden ditemukan sekitar 20 cm dari tinggiku maka, jarak antara tanah sampai ke kaki Tuan Ferden adalah 210 cm. Ditambah dengan tinggi Tuan Ferden 180 cm, juga jarak pangkal tali dengan leher 60 cm. Seseorang menggantung tali pada ketinggian 450cm. Siapa yang akan meraih pada ketinggian itu jika dia tidak melayang?"

Tuan Zion memeijat pelipisnya. Memecahkan kasus yang sama sekali tidak berhubungan dan menunjukkan satu bukti nyata tetapi juga tidak diketemukan benang merah diantaranya. "Yang pasti hanyalah jubah merah juga serbuk besi itu. Apakah Rumah Sakit sudah mengirimkan hasilnya, Julian?"

"Iya, dan hasilnya juga mengecewakan. Bukan salah satu dari kandungan obat manapun." Julian menunduk.

"Jadi bukan obat," Clause mendengus.

"Jika bukan obat apakah itu betulan serbuk besi?" Julian mengeluarkan sekotak serbuk yang sudah berusaha keras mengeluarkannya dari tubuh mayat. "Serbuk ini berasal dari hidung mayat. Tentu saja penggunaannya dihirup. Jika boleh aku akan megirimkannya pada pembuatan logam."

"Ya," jawab Tuan Zion. "Sekarang kita harus ke lokasi ada beberapa hal yang harus dipastikan. Terutama dengan apa pelaku memanjat pohon."

Julian juga Clause mengangguk. "Sebelum itu, apakah kita akan menuju rumah duka?" Tanya Julian ketika ketiganya menaiki kereta mesin yang sama.

"Iya," jawab Tuan Zion.

Dengan segala hormat memasuki rumah duka. Peti yang diletakkan dalam pembaringan. Bunga duka yang disematkan, juga tangis keluarga yang kehilangan. Tuan Zion menuju seorang istri yang masih berpandangan kosong. Shock atas meninggalnya suaminya. Belasan foto yang dipajang sebagi hiasan rumah diisi dengan kenangan kebersamaan keluarga. Pasti akan menyakitkan jika tahu seseorang itu tidak akan mengulang kenangan yang sama.

Mata Nyonya Ferden langsung menuju kepada lelaki yang membuka pintu rumah. Bergeraklah kakinya menghampiri Tuan Zion segera. "Suamiku tidak mungkin bunuh diri, kan?" Lengan Nyonya Ferden mencengkeram jas yang digunakan Tuan Zion.

"Saya meminta maaf atas nama kepolisian. Untuk saat ini, saya meminta kesabaran Nyonya Ferden."

"Suamiku pasti dibunuh seseorang. Dia bukan korban dari Kasus Mayat Kering."

Tuan Zion mengangguk. "Saya juga lega dia bukan dari korban Kasus Mayat Keing. Tetapi, jika dia dibunuh apakah semasa hidupnya korban pernah memiliki musuh?"

Nyonya Ferden menggeleng. "Suamiku tidak pernah membagi masalahnya denganku. Aku sama sekali tidak tahu."

"Oleh karenanya biarkan kami menyelesaikan kasusnya terlebih dahulu."

"Iya," jawabnya dengan air mata tertahan. "Jika boleh ijinkan aku yang menghabisi nyawanya."

Tuan Zion masih menenangkan wanita itu sedang, Julian masih terfokus pada dua anak mansuia kembar disamping peti mati ayah mereka. Kedua anak itu hanya menunggu ayahandanya, seakan menunggu kapan dia akan terbangun dari tidurnya.

Air mata menetes, Julian buru mengusapnya. Seorang lelaki berjas hitam memberikan sarung tangannya. Motif teratai membuat Julian tersenyum. "Terima kasih, Bryan."

"Istirahatlah sesekali, kalian juga membutuhkan istirahat yang cukup. aku mengikuti perkembangan kasusnya dari pemberitaan." Bryan membawa sebuket bunga yang kemudian dia letakkan. Berdoa barang sejenak. Bryan menyempatkan diri untuk melihat Tuan Zion yang masih berbincang dengan keluarga. "Di mana anak berambut abu-abu itu?"

"Hm mungkin di luar," jawab Julian asal. "Apa kamu mengenal Tuan Ferden?"

"Kami bertemu beberapa kali dalam dunia bisnis. Dia orang yang cukup bijaksana dan menyenangkan. Aku hanya tidak menyangka akan berakhir seperti ini."

Julian mengajak Bryan untuk duduk barang sejenak. Sedikit menggali informasi juga diperlukan. "Apa kamu tahu dia memiliki kebiasan menyewa kupu-kupu malam?"

Bryan menggeleng. "Masalah itu kami tidak pernah mengusik pribadi. Jika hilangnya Tuan Ferden bersama dengan seorang bernama Amanda aku hanya merasa jika keduanya juga baru saja bertemu. Lagian siapa juga yang akan meninggalkan kereta mesinnya di altar lalu pergi ke bukit jika dia tidak memiliki kendaraan yang lainnya?"

"Kami akan menuju lokasi setelah ini. Dari pencarian Clause tidak diketemukannya jejak kereta mesin."

"Ah begitu ya."

"Jika kamu mendapatkan informasi baru bisakah menghubungiku. Itu akan sangat membantu."

Menimbang keputusannya ketika Bryan mengangguk. "Julian," panggil Bryan ketika melihat Julian akan pergi. "Aku pernah ke rumah bordil bersamanya. Tuan Ferden sangat tertarik dengan Amanda semenjak dia bergabung. Yang membawa Amanda bernama Lidya. Jika kalian berkenan, temuilah Lidya dan tanyakan kemana tujuan keduanya sehingga memilh untuk pergi. Mungkin Lidya tahu sesuatu."

"Aku akan mengajukan ide ini kepada Tuan Zion. Seketika dia menyadari sesuatu. Rumah bordil? Tempat surga kupu-kupu malam berteberbangan. Julian mengernyit, dengan sedikit lega dalam diri ada juga pertanyaan ganjil. "Terima kasih atas informasinya tetpi apa yang kamu lakukan di rumah bordil?"

"Aku hanya, hm, bersenang-senang."

"Apakah itu caramu?"

"Bukan," jawab Bryan lemas.

"Ayahandamu akan sangat marah jika mengetahui itru , Bryan. Tidakkah kamu?"

Bryan menatap mata emerald Julian lekat. "Dengar, kumohon jangan memberitahukannya. Aku tidak tidur dengan mereka. Kamu tenang saja." Melihat ekspresi Julian yang tidak mendapatkan persetujuan. Pada akhirnya Bryan menghela nafas lelah. "Akan aku lakukan yang kamu mau. Tetapi, jangan beritahukan ayah."

"Aku juga tidak berniat melakukannya. Jangan diulangi lagi ya." Julian mendengus. "Apa kamu benar tidak melakukannya? Ayahandamu akan marah besar."

"Tidak sungguh."

Setelah memberikan penghormatan terakhir untuk Tuan Ferden dan melambaikan tangan kepada putra kembar mereka. Sampailah kepada lokasi kematian Tuan Ferden. Sesuai dengan persetujuan Tuan Zion. Bryan dan Julian menuju lokasi yang berbeda. Mungkin akan sedikit merepotkan jika Julian masuk pertama kalinya ke rumah bordil. Beruntung ada Bryan yang bersedia membantu.

Tali yang menggantung dibiarkan begitu saja masih berada di sana. Garis polisi dipasang menandakan dalam penyelidikan.

"Seperti yang engkau duga Tuan Zion." Clause menunjukkan sebuah batu yang berada di dekat pohon. Seperti batu kali berlumut yang diletakkan secara sembarangan untuk menaiki dahan pohon mengikat tali.

"Apakah ada sungai di dekat sini?" Tuan Zion mengedarkan pandangannya. Dilaluinya perbukitan sedikit terjal, berusaha mencari sumber arah sungai yang entah dimana dia tidak tahu.

Tuan Zion berhenti pada sebuah tepian jurang. Berusaha menggunakan tanannya untuk menyatukan tiga titik yang sudah ditandai. Penemuan mayat Amanda, letak kereta mesin, juga penemuan mayat Tuan Ferden.

Mata Tuan Zion tertuju pada Clause yang berjalan sedikit jauh di depannya. Suara gemericik air ditemukan oleh Clause setelah menyibak rumput besar. Begitu terekejut mata melotot ketika sobekan jubah merah dia genggam nyaman. Kapak yang cukup besar tergeletak di samping bebatuan sungai. Juga arah sungai sedikit melebar karena batu yang dicongkel paksa.

"Ini jelas pembunuhan. Sangat ceroboh sehingga banyak yang tertinggal." Clause menggunakan sarung tangannya untuk mengambil beberapa sidik jari yang kemungkinan masih bersisa di sana.

"Pembunuhnya ceroboh, atau sengaja?"

Tuan Zion menoleh dengan cepat dirasakan ada embusan angin yang lewat kencang. Dedaunan yang bergoyang membuat Tuan Zion yakin ada yang bersembunyi dibalik semua rangkaian kejadian. "Clause, hari akan petang. Kita akan menginap. Rumah Allan dekat dengan lokasi pembunuhan. Kita akan meminjam kasurnya."

"Apakah kita tidak akan kembali?"

"Berbahaya," Tuan Zion menjawab. Sedangkan firasatnya sudah tidak enak sedari tadi. Dilihatnya sore semakin menuju gelap. Matahari sudah sangat miring ke Barat. Tuan Zion menarik tangan Clause paksa. "Ayo pulang."

"Mengapa?" Clause belum sempat bertindak ketika dia merasakan ada jemari yang menyembul dari balik semak-semak. "Tim, kita hentikan penyelidikan. Pergi ke penginapan terdekat dan jangan keluar sampai esok hari."

"Baik Tuan Zion."

"Ada apa? Kamu nampak ketakutan."

Diabaikankannya celotehan dari anak buahnya yang memang susah diatur. Clause memiliki insting tajam tetapi dia juga terkadang ceroboh akan suatu hal. Tuan Zion menggeleng. "Apakah korban selanjutnya adalah kamu, Clause. Aku belum siap jika itu kamu."

...***...

Saatnya menari dalam balutan jas mewah bersama dengan anggur malam. Seseorang akan berjanji bertemu. Merapikan sedikit rambutnya yang berantakan akan pekerjaan menumpuk. Memakai sepatu bergaya, juga gelang tangan yang sedikitnya mengubah penampilan.

Kereta mesin berhenti, membukakan pintu untuk kedua tuan muda menuruni. Julian bersama Bryan setuju melakukan penyidikan. Walau Bryan hanya menemani jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Melirik penampilan teman masa kecilnya sekilas. "Jangan sampai khilaf betulan," bisiknya sembari menyeringai.

Julian hanya membalas dengan senyuman. "Tidak Tuan."

Ribuan nama sudah terpasang dalam daftar orang yang masuk. Disambut ramah oleh semua orang. Mata hijau tertuju pada nama bintang Amanda langsung menjadi coretan merah.

"Silakan," ucap seorang wanita dengan gaun putih mekar dibagian roknya. "Tuan tidak datang untuk reservasi sebelumnya. Oleh karenanya, kami mencoba memberikan yang terbaik."

Bryan menaikkan kakinya dalam meja. Bersikap arogan. "Apa yang kamu tawarkan?"

"Ada beberapa gadis yang masuk malam ini. Mungkin jika Tuan ingin menjajal."

Pertama kalinya Julian berada di tempat yang penuh dengan asap rokok juga parfum menguar. Beruntungnya Julian, lokasi rumah bordil sangat jauh dari peradaban kota. Seakan terpencil dalam gang di ujung Kota. "Mengapa ada banyak nama dengan coretan merah?"

"Mereka sudah tidak bekerja lagi di sini, Tuan."

Julian melirik nama dada yang dipakai oleh wanita di hadapannya. "Lidya," panggil Julian lembut. Mengapa nama kamu juga tidak ada di daftar?"

"Saya tidak menjual diri saya. Saya hanyalah orang sederhana."

Bryan menoleh kepada Julian. "Apakah kamu tertarik dengan dia?"

"Sepertinya, " jawab Julian cepat.

Tersenyum ramah cantik juga tidak banyak kerutan di wajahnya. Julian mengira jika dia adalah pemilik rumah namun, dilihat dari bagaimana lagaknya mempesilakan masuk apakah dia hanyalah pelayan bayaran? Dua wanita menyajikan minuman untuk kedua tamu lelaki mereka. "Jika Anda tidak datang untuk bersenang-senang maka, saya akan menemani Anda berbicara. Apakah boleh?"

Lidya melipat kakinya, bermain manja dengan matanya. Julian bahkan merinding melihatnya. Seperti itulah manusia birahi.

"Aku pernah datang kemari. Apa kamu sudah melupakannya?" Bryan menurunkan kakinya. Mengambil beberapa camilan lalu memakannya. Julian bahklan menyentuh lengan Bryan untuk menghentikannya tetapi dia terlanjur memakannya. "Apakah kamu mengira aku diracun?" tawa Bryan menyeringai.

"Apa temanmu belum pernah menuju rumah bordil sebelumnya?"

"Iya," jawab Bryan.

Lidya bertepuk tangan. Menyajikan anggur oleh dua wanita yang jelas saja masih segar. Beberapa kue pelangi lalu kacang tanah dengan rokok di nampan. "Jika kalian menyetujui, kedua rekanku akan menemani kalian juga."

Bryan melambaikan tangan menolak. Lalu keduanya pergi dengan rasa kecewa.

"Jika saya tidak salah, maka Tuan datang menyewa Amanda?"

"Rupanya kamu masih ingat ya."

"Apakah Anda juga akan mempertnyakan dimana dia berada?"

"Sesuai tebakanmu." Bryan menuangkan minuman ke dalam gelas. Memberikan satu untuk Julian. Julian menggeleng keras. "Tidak akan membuat kamu mabuk." Bryan meraih dagu Julian lalu memaksa lelaki itu meminumnya.

Julian mengusap mulutnya yang penuh dengan tetesan minuman. "Ish," sungutnya.

"Jadi, di mana dia?"

Lidya nampak sedikit kecewa. "Dia loncat," jawabnya.

Bryan mengernyit. "Loncat?"

"Loncat adalah bahasa kami untuk menyatakan seseorang kabur sebelum melunasi hutang-hutangnya atau kontrak."

"Kabur?" pastikan Julian.

"Iya," jawabnya. "Ternyata kami juga salah mengira. Setelah dua hari bergabung dia melakukan pembicaraan dengan Tuan Ferden saat itu. Dalam keadaan mabuk saya tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Yang saya tahu keduanya merencanakan bepergian bersama."

Julian sedikit mengusap kepalanya. Bryan berbohong dengan tidak akan membuatnya mabuk. "Apa kamu tahu ke mana mereka pergi?"

Lidya menggeleng. "Mereka tidak meninggalkan petunjuk. Tetapi, saya sudah beteman lama dengan Amanda. Dia bukan orang yang kabur dan meninggalkan ibunya dalam kesedihan seperti itu. Saya hanya khawatir dia dihasut oleh Tuan Ferden."

"Adakah masalah pada Tuan Ferden?" Julian sedikit kehilangan fokus.

"Mungkin Tuan Bryan mengetahui masalah keuangan Tuan Ferden."

"Masalah itu aku hanya tahu jika perusahaan yang dia bangun sedikit memiliki masalah finansial. Dia juga berujar jika ada cara cepat menghasilkan uang."

"Ah ya, saya juga mendengar bagian itu." Lidya membenarkan.

"Mereka mencari pesugihan." Julian bahkan ragu dengan ucapannya sendiri. Bryan menyodorkan minumannya lagi kepada Julian setengah sadar. Jelas dia menepisnya dengan kasar. "Aku pusing sialan." Bryan hanya tersenyum lalu memberikan makanan kecil diatas meja.

"Ah ya," Lidya berjalan menuju rak sepatu lalu mengambil sepatu yang ditinggalkan oleh Amanda. "Ada sesuatu yang ditulis dalam sepatu Amanda. Itu adalah sebuah nama bukit."

Azur.

"Apa maksudnya?"

"Saya hanya berpikir mereka akan pergi ke bukit itu."

Setelah sekian lama mengobrol, memaksa Julian meminum seteguk lagi. Julian juga Bryan menuju kereta mesinnya, berpamitan pulang. Julian mencengkeram jas yang dikenakan oleh Bryan menyeimbangkan dirinya agar tidak jatuh tersungkur. Rasanya seperti akan pingsan namun terpaksa tersadar. Beruntung jika dia masih ingat semua infromasi yang didapatkannya.

"Aku akan menghubungimu jika ada yang aku tahu mengenai Amanda."

"Aku berharap begitu," lambaian Bryan menyudahi pertemuan itu. Membiarkan Julian bersandar pada kereta mesinnya. "Tuan Ferden memang memilih bukit itu sebagai sarana kabur. Memangnya ada apa di bukit itu? Apakah ada penyihir?"

Julian hanya menggeleng.

Mengantarkan, menggendong Julian memasuki kamarnya setelah banyak mengetuk rumah dinas. Membaringkan tubuh lelaki itu dalam hangatnya kasur nyamannya. Menggeliat mencari kenyamanan. "Maafkan aku," bisiknya.

"Hm, belikan aku penawarnya."

Bryan hanya mengangguk, mencari kertas dan pena menuliskannya Julian dalam kertas. Bergegas menyelesaikan ulahnya.

...***...

...Bersambung.......

1
Kicauan burung di pagi hari, menjadi musik bagi para santri di pondok terasing dalam hutan sunyi.

Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.

numpang iklan thor/Chuckle/
@shithan03_12: gakpapa iklan dong .. bebasmah saya
total 3 replies
Pecahnya dinding dimensi diatas altar darah yang mengantarkan pemangku Sijjin melintasi alam, hingga airmata darah menjadi awal dalam sebuah ketakutan yang mengerogoti para generasi pemeran opera. Namun para penonton sibuk menertawakannya tanpa tau, nyawa merekalah balasan bagi altar darah. ~SAMITO.

Iklan dikit ya thor🤭
@shithan03_12: Busyed... bisa juga kau ini menyambungknnya ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!