Berkisah Delima, seorang janda yang menikah lagi dengan seorang pria hanya bermodalkan ingin kejelasan tentang kematian suaminya. Ia hanya mencari kebenaran saja, apa suaminya meninggal karena kecelakaan jatuh di tempat kerja atau memang sengaja mengakhiri hidupnya karena alasan pinjaman online?. Atau memang ada alasan lain dibalik itu semua.
Pernikahannya dengan seorang pria bernama Adil. Mampu membuka beberapa fakta yang sangat ingin diketahuinya. Namun disaat bersamaan kebahagiaan rumah tangganya bersama Adil terancam bubar karena kesalahpahaman.
Mampu kah Delima mempertahankannya atau justru menyerah dengan keadaannya?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Fia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Adil Untuk Delima
Ini kali ketiga pertemuan Delima dengan kedua orang yang sedang dicari informasinya oleh Delima. Kalau Delima bisa bersikap biasa, beda dengan kedua Om Adil tersebut. Sangat terlihat mereka yang mengada-ada sikap baiknya terhadap Delima. Penuh dengan basa-basi busuk saat mereka bicara.
"Om kenal sama istriku?" Adil bertanya pada kedua Om nya karena terlihat begitu cukup terkejut dengan sosok Delima. Namun nyatanya kedua Om nya itu menggelengkan kepala, tak kenal dengan Delima.
"Tentu saja tak kenal" keduanya menggelengkan kepala lagi. "Dari mana kami mengenalnya coba?" sambung Om Davis. Padahal sudah sangat jelas, mereka pernah duduk berhadapan dan tahu siapa serta status Delima.
Delima hanya tersenyum tipis menanggapi kebohongan kedua orang tersebut. Lalu Delima menyalami mereka setelah Adil memperkenalkan.
Pasti ada sesuatu yang tak beres dengan kedua orang tersebut yang tak diketahui keluarga yang lain.
Adil dan Delima bersiap pulang ke rumah, sedangkan nenek untuk beberapa hari akan tinggal bersama kedua anaknya. Adil dan Delima langsung berpamitan, bersamaan dengan kedua Om nya yang akan pulang ke rumah mereka. Jadi mereka bersama-sama keluar dari Villa.
"Om Davis dan Om David, mereka seperti tak terpisahkan gitu ya?" Delima memulai obrolan saat dalam perjalanan menuju pulang.
"Kamu benar sayang, dari kecil mereka memang tak terpisahkan." Sahut Adil sekilas melirik Delima yang menatapnya sambil tersenyum. Wajah cantiknya semakin terpancar.
"Kenapa bisa begitu?" tanya Delima santai namun sebenarnya sangat penasaran. Sebisa mungkin ia tak terlihat seperti sedang mencari informasi tentang kedua orang itu.
Adil memasang wajah serius sebelum ia bicara.
"Sebenarnya Om David memiliki kekurangan yang selalu ditutupi oleh Om Davis. Kalau mereka terpisah, kacau semuanya. Pernah rahasia perusahaan bocor kemana-mana, untung saja Papa dan Om Davis cepat bertindak sehingga perusahaan tak banyak rugi karena ulah Om David."
Delima mengangguk, diam sejenak lalu bertanya lagi.
"Apa kekurangannya suatu penyakit! ? Masa dokter tak bisa menyembuhkannya?" selidik Delima. Berusaha terlihat peduli dan berempati dengan keadaan.
"Tentu saja sudah sayang, tapi kata dokter tidak bisa sembuh total. Jadi ya seperti sekarang ini. Kadang bisa terlihat seperti orang normal. Kadang juga seperti orang linglung yang akan bicara kesana kemari tanpa jelas. Makanya gunanya Om Davis di situ, untuk melindungi Om David dari mereka yang ingin berbuat jahat."
"Begitu ya, Papa dan Om Davis menjadi garda terdepan untuk kalian dan perusahaan."
"Suami kamu yang tampan ini enggak?" satu tangan Adil terulur lalu mengusap lembut wajah Delima.
"Iya dong Mas Adil juga, tapi garda terdepan untuk istrinya" kata Delima yang diakhiri sebuah tawa kecil.
"Tentu saja untuk istriku dan anak-anak kita nanti" Adil menambahkan.
Obrolan mereka terus mengalir sampai-sampai Delima sendiri tak menyadari kalau mobil Adil sudah berhenti tepat di rumah. Delima tak diperbolehkan turun apalagi membawa barang bawaan mereka.
"Memangnya kenapa, Mas?" tanya Delima manja.
"Barang bawaannya nanti saja. Sekarang kamu dulu yang harus aku gendong." Kata Adil begitu menggoda. Dengan senyum dan lesung pipi yang baru terlihat sekarang oleh Delima. Betapa manis dan tampannya suaminya.
Tubuh mungil Delima sudah berada dalam gendongan Adil. Kedua tangannya secara refleks melingkar pada leher Adil. Tawa keduanya terdengar begitu renyah memasuki rumah yang terus berlanjut sampai kamar. Lalu Adil menaruh Delima di atas tempat tidur, mengungkungnya di bawah tubuh besarnya.
"Persiapkan diri dengan baik, karena aku akan memakanmu malam ini." Adil menaruh kepalanya pada dada Delima. Mengecupnya berulang kali walau masih terhalang pakaian Delima.
Tawa yang awalnya pelan kini semalam kencang sebab semakin gencar juga Adil menciumi dada Delima yang kini dimainkan Adil sesuka hati.
Puas bermain sebentar, Adil mengangkat wajah lalu bangkit dari atas tubuh Delima. Kembali ia meminta Delima bersiap sementara ia akan mengeluarkan barang bawaan mereka dari mobil.
Tiga puluh lima menit telah berlalu, Adil dan Delima sudah berada di atas tempat tidur. Mereka akan memulai ritual suami istri. Adil tak banyak menuntut ini itu untuk perkara ranjang. Yang penting sama-sama terpuaskan, tak ada yang tersakiti apalagi tak mendapatkan apapun. Sebab ia bukan suami yang egois, mementingkan kepuasannya saja.
Adil dan Delima sudah sama-sama mendapatkan apa yang mereka inginkan. Lalu Adil memeluk Delima setelah sesi ranjang mereka selesai.
"Terima kasih sayang, selalu membuatku sangat puas" puji Adil pada sang istri. Mengecup keningnya berulang kali. Kehangatan dan kebahagiaan itu tak dapat Delima pungkiri keberadaannya. Perlahan memasuki hatinya yang selalu bersedih karena kehilangan orang-orang tercinta.
Delima mengencangkan pelukan tangannya pada pinggang Adil. Menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Adil yang masih polos. Di sana ia menganggukkan kepalanya, merespon ucapan Adil.
Usai beristirahat sebentar, nyatanya Adil kembali menggempur istri cinta yang ternyata sangat candu baginya. Hanya pasrah yang dilakukan Delima namun ia pun sangat menikmatinya.
Pagi ini Delima tidak kesiangan, bahkan ia bangun sebelum Wati dan Sopian. Terlebih dulu ia menyiapkan teh hangat untuk suami yang telah bangun. Menunggunya di dalam kamar sambil memangku laptop, mengerjakan bebarapa laporan yang dikirimkan melalui email.
"Teh nya Mas, mumpung masih hangat" Delima menaruh secangkir teh di atas meja depan Adil.
"Terima kasih, sayang" Mata Adil selalu memandangi wajah cantik sang istri. Tak pernah menyangka bisa mendapatkan janda seperti seorang gadis.
"Saya ke dapur lagi, Mas. Menyiapkan makan untuk kita." Pamit Delima.
"Iya, sayang" Adil tersenyum lalu kembali fokus pada pekerjaannya setelah Delima keluar dari kamar.
Tiba di dapur Delima disambut wajah masam Wati. Tapi Delima tidak ambil pusing, ia pun segera memasak untuk sarapan mereka semua. Membantu? tidak, Wati hanya diam melihat kesibukan Delima.
"Kamu tidak menggunakan pelet atau susuk 'kan?" tanya Wati setelah cukup lama terdiam. Sebenarnya mulutnya sangat gatal untuk mencaci Delima.
"Tentu saja tidak, Wat." Delima tertawa.
"Terus kenapa Mas Adil bisa sebegitunya sama kamu? Menggendong kamu sampai-sampai kamu dibawa masuk ke dalam kamarnya. Kalian ngapain?."
Delima yang sedang sibuk menghentikan dulu kegiatannya. Ia menatap Wati dengan wajah serius.
"Kami tidak melakukan sesuatu yang salah."
"Apanya yang enggak salah? Kamu masuk kamar Mas Adil dan enggak turun-turun lagi itu sudah salah" Kata Wati begitu sewot.
"Jadi kamu melihatnya?" Delima kembali tertawa namun pelan. Bukan untuk menyinggung atau mengejek Wati. Hanya saja ia cukup kaget kalau dilihat orang lain. Malu pula iya.
"Iya lah, aku melihat dengan mata kepala sendiri. Kamu dicium-cium Mas Adil. Murahan banget si kamu." Akhirnya Wati mengeluarkan kata-kata pedasnya untuk Delima. Namun Delima hanya tersenyum saja.
Delima kembali melanjutkan kegiatannya. "Aku dan Tuan Adil..." kata-kata Delima terhenti begitu saja kala merasakan sebuah tangan yang membelit pinggangnya.
Delima menengok ke belakang dan ternyata suaminya yang memeluknya dengan hangat dan mesra.
"Aku dan Delima sudah menikah. Dilema istri aku, sekaligus Nyonya di rumah ini. Tapi seperti biasa kamu boleh memanggil dengan sebutan apapun yang penting itu sopan."
Deg deg deg
Kaki Wati mundur beberapa langkah. Hatinya hancur dengan kenyataan yang terlihat di depannya. Pengakuan Adil yang sesuai dengan tindakannya membuatnya langsung mengeluarkan air mata.
"Menikah? Kalian sudah menikah?." Wati memegangi dadanya yang sangat sakit.
"Iya, kami telah menikah" jawab Adil tegas tanpa mau melepaskan pelukannya pada Delima. Bahkan pria itu menghirup dalam-dalam aroma shampo yang menempel pada rambutnya.
Wati berlari sekencang mungkin, entah mau kemana. Yang jelas ia harus berlari sejauh dan sekuat mungkin. Perasaan benar-benar hancur.
"Kamu tenang saja sayang, Wati tidak akan apa-apa." Adil mendaratkan kecupan singkat pada bibir Delima.
Bersambung