NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.13 - Mengenal Erlangga Lebih Jauh

“Bukannya itu si Erlangga?”

Lail memandangi sosok tinggi kurus dengan kacamata minusnya yang berjalan menuju photocopy. Tanpa sadar, Lail menunggu Erlangga sampai dia keluar dari bangunan itu. Erlangga berjalan ke arah Lail tanpa gadis itu sadari.

Bruk!

“Hah?” kesadaran Lail ditarik kembali.

Erlangga menubruk pria setengah baya yang berjalan di depan Lail. Foto-foto yang dipegang Erlangga pun berhambur ke mana-mana, salah satunya mendarat tepat di atas kaki Lail. Lail menunduk, mengambil lembar foto itu. Ketika membalik fotonya, Lail terkesiap.

Itu foto Bening.

Diambil dari jarak jauh dengan HP yang kameranya berkualitas.

Sret!

Foto di tangan Lail ditarik paksa oleh Erlangga. Dia pasti berpikir kalau bahannya kuat sampai menarik lembar foto dengan tenaga penuh. Dan yah, lembar foto itu tidak tergores sedikitpun.

Lail memandang Erlangga dingin. Rupanya anak ini memang senang bermain api. Dan lihatlah si mata empat ini, dia membalas tatapan Lail sama dinginnnya. Lail mulai mengerti kenapa Erlangga dijauhi oleh teman satu sekolahnya, dicap buruk oleh Wiyan dan memilih menjadi penyendiri. Itu semua karena kepribadiannya yang sangat ‘mengganggu’.

Erlangga berlalu setelah memungut semua foto yang baru saja dicetak.

Meninggalkan Lail yang tatapannya tak kunjung lepas dari punggungnya.

“Wah, bocah ini...” desis Lail.

...****...

Esok harinya. Baru saja Lail memasuki kelas, pasukan oranye sudah berkumpul dalam satu lingkaran bersama siswi yang lain seperti Shanaya dan Zeira. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Lail mendengar salah satu dari merekan mengatakan class meeting.

Ini sudah hampir UAS, biasanya setelah itu akan ada class meeting. Lail tidak suka kegiatan itu. Lebih baik dia mematahkan tulang kakinya sendiri daripada dipaksa ikut lomba voli dan basket.

“Hanin,” Panggil Lail.

“Apa, La?”

“Mereka ngomongin apaan?” Lail menunjuk lingkaran orang di sisi kanan kelas.

“Class meeting tahun ini dibatalin gara-gara Kepala Sekolah mau kita fokus ke remedial abis UAS.” Jelas Hanin.

“Ouh...” Lail ber’oh ria.

Baguslah, jadi aku gak usah matahin tulang kaki.

Tapi, UAS sendiri belum dilaksanakan, kenapa pula mereka meributkan soal class meeting? Karena Lail 100% yakin kalau mereka takkan ikut serta meski kegiatan itu resmi diadakan. Lail menggosok telapak tangannya ke leher sebelah kiri. Dia masih harus menggunakan perban beberapa hari lagi sampai lukanya benar-benar hilang.

“Hanin! Ke koperasi yuk!” Shanaya menghampiri Lail dan Hanin.

“Ngapain?”

“Beli air, haus gue.”

Shanaya melirik ke arah Lail, dia mengerling jahil. “Eh, sayangnya aku udah dateng.” Shanaya melemparkan kecupan singkat pada Lail.

Lail menatap jijik sekaligus horor.

Cabul.

Tipikal orang yang Lail benci adalah mereka yang suka kontak fisik, perempuan atau lelaki sama saja baginya. Lail benci kalau dia bersentuhan kulit dengan kulit. Lail juga tak suka digoda, terlebih lagi oleh sesama jenis.

Emang sakit nih orang!

“Kok kamu natap aku gitu sih, sayang?” goda Shanaya lagi, jarang- jarang ada yang merespons dirinya dengan kejam seperti itu.

“Stres.” Cibir Lail.

“Dih, kok kamu ngomong begitu sih, La–” tangan Shanaya terulur hendak menyentuh pundak Lail.

Plak!

Gerakan Lail lebih cepat, dia menyingkirkan tangan Shanaya dan berlari sekencang-kencangnya keluar kelas. Untung Shanaya tidak niat sampai mengejarnya ke sana.

Ngeri amat!

Ternyata Bening baru datang, dia memandang heran Lail yang tampak kehabisan napas. “Kamu kayak baru naik gunung aja.”

Lail tidak menjawab.

“Kenapa?” tanya Bening.

“Si Shanaya tuh, masih pagi udah jahil aja.” Protes Lail.

“Oh, manggil sayang atau sentuh sana-sini, maksud kamu?” tebak Bening.

Lail mengernyit, “Kok tahu?”

Bening mengedikkan bahunya, “Dia kayak gitu ke semua cewek.”

“Argh! Tapi gak semua cewek nyaman digituin.” Lail yang geram pun mengacak-acak rambut pendeknya.

“Ampun deh, dia ‘kan cuma bercanda.” Bening terkekeh, respons Lail baginya terlalu berlebihan.

“Ragil juga awalnya cuma bercanda.” Balas Lail.

Mulut Bening terkatup rapat. Oke, catatan baru, Lail tak suka disentuh dan dipanggil sayang meski sesama cewek.

Bening masuk ke kelas duluan diikuti Lail. Lail hanya menatap Bening dari belakang. Dia tidak tahu bagaimana cara mengatakan orang seperti apa Erlangga pada Bening. Kasus dijauhi pasukan oranye jelas masih menghantui kesehariannya, jika ditambah dengan si bermasalah Erlangga, entah ke depannya akan bagaimana untuk Bening.

“Ning?”

“Ya?” Bening meletakkan tasnya ke atas kursi dan duduk.

“Kamu kalau hari libur ngapain aja?” Lail ikut menaruh tasnya.

“Paling di rumah, keluar kalau ke warung aja.” Jawab Bening.

“Terus, kamu satu kontak gak sama Erlangga?”

Bening menautkan alisnya, “Kenapa tiba-tiba nyambung ke dia?”

“Nanya aja.”

“Aku satu kontak sih sama dia, tapi jarang chat-an.”

Lail mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau sudah begini, berarti memang si Erlangga yang stres. Dia terobsesi pada orang-orang yang memberinya perhatian karena tak tahan dengan rasa sepi.

Kasusnya sama seperti Wiyan, tapi berbeda dari Bening yang tidak tegaan, Wiyan adalah orang yang tak tahu diri. Jadi sebelum Erlangga terobsesi padanya, Wiyan terlebih dahulu membuangnya, memutus pertemanan mereka dengan kejam. Memang seharusnya begitu sih.

Akan tetapi, Bening yang pernah di posisi Erlangga yang dijauhi teman- temannya, tahu bagaimana kesusahan dia. Bening mencoba membuat Erlangga tidak merasa kesepian lagi. Tapi sejak kejadiaan Erlangga memberinya PC, mungkin Bening berusaha meminimalisir kontak dengannya.

Jadi orang gak tegaan bisa narik masalah kayak gitu...

... ****...

“Ning, hari ini kamu pulang duluan aja, aku masih ada urusan.” Ujar Lail.

“Urusan apa?” tanya Bening.

“Hehe... rahasia.”

“Bener nih gak apa-apa aku duluan?” Bening memastikan.

Lail mengangguk.

Akhirnya Bening naik angkot sendirian. Lail masih berdiri di depan gerbang sekolah, hingga tersisa ia seorang diri. Mata Lail fokus menatap para siswa dari sekolah seberang, mencari yang pulangnya naik sepeda. Lail butuh Wiyan dalam menghadapi Erlangga. Entah karena apa, Wiyan selalu menjadi siswa yang pulang paling terakhir jika mengecualikan mereka yang ekskul.

“Aish... lamanya!”

Sepuluh menit setelah sekolah benar-benar sepi dari deru motor dan angkot. Barulah Wiyan keluar melewati gerbang dengan sepedanya. Lail berdiri, bersiap memanggil Wiyan.

“IYAN!”

Wiyan yang menyadari kehadiran Lail pun tetap di tempatnya sampai Lail menyeberang. Ingat, Lail bisa menyeberang sendiri.

“Apa? Mau pulang bareng?” tanya Wiyan.

Lail mengangguk, “Sebenernya ada yang mau aku tanyain.”

“Soal Erlangga?”

“Hah?” Lail nampak terkejut.

“Ketebak. Buru naik.” Wiyan menyerahkan tasnya pada Lail untuk ditukar dengan tas Lail.

Dalam perjalanan, Lail menceritakan secara singkat apa yang terjadi antara Bening dan Erlangga. Alasan Lail mau terbuka dengan Wiyan adalah mungkin saja dia bisa membantu memikirkan cara agar Erlangga menjauhi Bening.

“Makanya dari awal lomba dan kalian deket sama Erlangga, gue punya firasat buruk.” Wiyan berkomentar.

“Kenapa gak kasih tahu dari awal?”

“Pas itu ‘kan kita gak kenal, mana mau gue ngurusin orang lain, tentang si Erlangga pula.” Wiyan bergidik ngeri, bersentuhan dengan kasus Erlangga seolah menjadi tabu buatnya.

Alasan yang masuk akal. Kalau posisi Lail dan Wiyan ditukar, jelas dia akan melakukan hal yang sama. Erlangga adalah orang merepotkan yang haus akan perhatian. Sudah lama dia merasa kesepian, jadi sedikit perhatian dari Bening saja cukup membuatnya nekat.

Lail menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Melawan orang sakit jiwa jauh lebih susah daripada orang pintar. Lail hanya bisa menjauhkan mereka lewat Bening. Meminta Bening berhenti berkontak dengan Erlangga, segera menjauh kalau bertemu langsung, dan berbagai cara lainnya.

“Ah...” Lail meringis.

“Apa?”

“Erlangga stalking Bening pas pulang sekolah.”

Foto yang dicetak Erlangga memberi Lail pencerahan.

...****...

Lail berhasil meyakinkan Bening untuk memblokir dan menghapus kontak Erlangga setelah Bening mengeluh atas pesan-pesannya yang mulai mengganggu. Setiap pulang sekolah pun, Lail bergegas masuk angkot dan mengawasi motor-motor yang merunut di belakang angkot.

“Gak kerasa sebentar lagi PAS aja.” Keluh Bening.

Rasanya waktu berjalan sangat cepat karena PAS sudah semakin dekat. Persiapan kelas akan semakin ringan saat sekolah mengumumkan bahwa tahun ini tidak diadakan class meeting. Lail dan Bening hanya perlu belajar unuk menghadapi PAS.

“Buruan ulangan, buruan lulus.” Ujar Lail.

“Ye... belajar dulu yang bener. Kayaknya aku bakal SKS aja deh buat PAS nanti.”

Lail mengangkat sebelah alisnya. “Kamu mau belajar? Rajin amat. Padahal buka buku 10 menit sebelum ujian juga bisa.”

“Heh! Bacot ya ente.” Caci Bening.

Lail memang pemalas, tapi entah kenapa dia selalu lancar mengerjakan soal walau katanya ‘dia tak pernah belajar untuk persiapan’. Bening yang selalu menjadi nomor 1 saat SMP mendadak pesimis.

Sebab, biasanya orang-orang seperti Lail lah yang keluar sebagai ranking 1. Tidak peduli jika saban hari Lail mengeluh tentang sistem pendidikan negara atau sekolah, dia mampu menaklukannya meski sambil bersantai.

Ketika Bening bertanya rahasia belajar Lail. Anak itu malah dengan santai menjawab kalau dia tidak belajar setiap hari. Kuncinya hanya satu, mendengarkan guru menjelaskan materi di kelas. Anehnya, dia langsung paham. Tidak seperti Bening yang kebanyakan materi harus dijelaskan kembali oleh Lail atau Nylam.

Tapi, ada dua orang juga yang Bening waspadai. Mereka adalah Shakila dan Jelika. Memang secara pemahaman materi, Lail menang telak. Tapi masalah aktif di kelas, mereka mampu mengalahkan Lail dalam aspek ini. Dan sialnya, siswi yang aktif di kelas jauh lebih disukai dan difavoritkan oleh guru mapel. Mereka punya kesempatan berdiri di puncak tertinggi.

“Jadi, seminggu abis ulangan langsung bagi rapor?” tanya Bening.

Lail mengangguk. Senangnya kehidupan sekolah tanpa eksistensi class meeting.

“....!”

“Mang kiri, Mang!” teriak Lail sambil menepuk pelan dinding angkot.

Angkot berhenti mendadak, Bening dibuat bingung oleh Lail. Pasalnya, Bening saja belum turun, kenapa Lail yang rumahnya lebih jauh malah turun lebih dulu?

“Bye-bye, Ning!”

“Ya...” mata Bening terus menatap siluet Lail yang semakin jauh.

Bukan tanpa alasan Lail turun duluan, dia telah menemukan sesuatu yang menarik. Sosok Erlangga yang bersembunyi di semak-semak. Bodohnya, dia tidak memarkirkan motornya di sudut buta sehingga masih terlihat Lail.

Sudah saatnya Lail mencari bukti.

Lail tersenyum licik. Dia mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Bersiap merekam kebodohan Erlangga yang tercium sampai luar semak-semak tempatnya bersembunyi. Lail mencari tempat bagus agar angle kameranya bisa merekam isi ponsel Erlangga.

Lail memutuskan memanjat pohon mangga yang jaraknya cukup dekat dengan posisi Erlangga. Salah satu cabangnya juga menjulur tepat di atas kepala bocah itu. Kesempatan bagus. Lail semangat memanjat batang pohon sampai duduk di salah satu cabang. Ia mulai merekam tindak tanduk Erlangga.

Lewat rekaman, Lail bisa melihat isi ponsel Erlangga. Dia sedang memeriksa foto-foto yang diambilnya saat Bening duduk di dalam angkot. Entah bagaimana aksi Erlangga bisa luput dari pengawasan Lail. Dia kurang mawas.

Selang waktu lima menit, akhirnya Erlangga keluar dari semak-semak dan menaiki motornya untuk pulang. Lail, dengan perasaan gembira menyimpan hasil rekamannya dalam berbagai format dan aplikasi. Di penyimpanan internal, cloud, dan drive. Setelah pulang, Lail akan menyalin videonya ke laptop juga.

Tunggu dulu sebentar...

Lail terlalu semangat memanjat sampai lupa kalau dia tak tahu bagaimana caranya turun. Sial, Lail juga lupa jika dia takut ketinggian. Lail cepat-cepat memeluk batang besar pohon mangga. Badannya gemetar hebat, keringat dingin sudah mengucur, wajahnya berubah pucat pasi.

“To-tolong...!” Lail memekik pelan, suaranya seakan tertahan.

Ah, semoga pertolongan segera datang.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!