Florin, yang baru saja mengalami patah hati, secara tidak sengaja bertemu dengan Liam, mantan ketua gangster yang memiliki masa lalu kelam. Dia terjebak dalam hasrat cinta semalam yang membuat gairah itu terus berlanjut tanpa rencana. Namun saat hubungan mereka semakin dalam, masa lalu Liam yang gelap kembali menghantui, membawa ancaman dan bahaya dalam kehidupan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Udara sejuk di puncak bukit terasa menusuk, ditambah oleh suasana kediaman Liam yang sudah berantakan seperti medan perang. Suara senjata api berbunyi beriringan dari segala penjuru, sementara terdapat sekelompok orang tergeletak dengan bersimbah darah di sekitar pekarangan dan di dalam rumahnya. Baik itu dari pihak lawan maupun dari orang-orangnya.
"Aish," Reiga mengumpat kesal saat menyadari pelurunya habis.
Krrrkk..
Kaca jendela pecah, untung saja Reiga masih sempat untuk menghindar. Dia menempel sangat lekat ke dinding, berusaha menyembunyikan dirinya dari tembakan peluru yang berasal dari luar.
Dor.
Liam menembak seseorang yang muncul di dekat jendela, dia menembak dari atas tangga. Dengan badan tegap sedikit membungkuk dan pistol di tangan, Liam berjalan mendekat pada Reiga. Tiap langkah yang dia buat penuh dengan kehati-hatian.
"Kau ceroboh, bagaimana bisa kau kehabisan peluru," Liam melempar sepaket peluru ke arah Reiga yang tampak sudah tampak lebih tenang karena kehadiran Liam.
"Ini mendadak sekali, aku bahkan tak sempat mengganti pistol ku. Bagaimana mungkin mereka tahu kau akan kembali ke sini?"
"Pasti ada mata-mata,"
Psstts..
Terdengar bunyi dari alat bulat kecil yang menggantung di daun telinga Liam dan Reiga.
"Mereka mundur," kata seseorang yang bersuara setelah bunyi itu.
Liam dan Reiga langsung saling bertatapan, mereka seakan memikirkan hal yang sama. Florin. Liam langsung berlari keluar rumah dan masuk ke dalam mobil, Reiga mengikuti. Tanpa pikir panjang, Liam langsung menghidupkan mobil dan melajukan nya dengan kecepatan yang perlahan semakin cepat.
Reiga yang duduk di bangku samping kemudi menjadi terayun ke kanan dan ke kiri pada tiap tikungan yang seakan sudah menjadi tajam seperti lintasan balapan drift di sirkuit.
Dor.
Sebuah peluru mengenai kaca spion samping mobil, menyisakan beberapa pecahan kaca disana. Reiga langsung berbalik melihat ke belakang. Beberapa mobil hitam mengikuti mereka, ada satu, dua—tiga mobil. Reiga menghitungnya sambil mengatur pistolnya siap menembak. Dia menurunkan kaca jendela mobil.
Dor. Dor.
Tembakan demi tembakan terdengar begitu jelas di telinga Liam. Tapi dia tak memikirkannya sekalipun, yang ada di pikirannya sekarang adalah Florin. Hanyalah wanita itu. Bahkan sebuah peluru nyaris mengenainya dan dia tampak tak peduli.
Reiga melirik pada Liam yang tampak tak fokus, "Ini peluru terakhir," gumam Reiga pelan, dia melihat dari spion samping yang sudah retak dan spion depan yang masih utuh secara bergantian. Dia sedang menentukan waktu yang tepat untuk menembak, dan jalan berbatu yang sedang mereka lewati membuatnya membutuhkan waktu lebih lama untuk beraksi.
Dor.
Sebuah tembakan terakhir yang Reiga berikan tepat mengenai seseorang yang mengemudikan mobil paling depan, saat mereka berada di tikungan. Tembakan nya menciptakan tabrakan beruntun untuk dua mobil di belakangnya.
"Hah," Reiga menghela nafas lega. "Ada apa denganmu? Aku bisa ikut mati kalau kau tertembak tadi," keluh pria itu pada Liam yang masih tampak fokus mengemudi.
"Kau tak akan mati semudah itu," balas Liam spontan dan menambah laju kecepatan mobilnya begitu sampai di jalanan beraspal. Mereka berhasil menyelamatkan diri, menyatu dengan mobil lainnya seperti tak terjadi apa-apa.
Sementara itu di tengah kota,..
Florin baru saja selesai mandi, dia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk kimono menutupi tubuhnya dan memegang handuk kecil di tangannya untuk mengeringkan rambutnya yang basah. Namun begitu dia menutup pintu, dia langsung mematung melihat Dean tergeletak di lantai dan seorang pria berdiri tak jauh dari sana.
Kakinya gemetar, tubuhnya lemas. Handuk kecil itu terjatuh saat dia memegang gagang pintu kamar mandi.
"Kau siapa? Apa yang kau lakukan padanya?" Florin melirik pada Dean dan pria itu bergantian. "Tak ada darah dan pria itu juga tidak memegang apapun, " batin Florin waspada.
"Dia hanya akan tertidur sebentar. Aku tak suka ada pengganggu," pria itu menurunkan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya dan menatap Florin dari atas kepala hingga ujung kaki. Tatapannya yang lama membuat Florin langsung menggenggam erat handuk di depan dadanya. "Aku ingin bicara denganmu," lanjutnya lalu melangkahkan kaki berniat untuk mendekat pada Florin.
"Berhenti, jangan mendekat. Kau bisa bicara dari sana," bentak Florin berusaha untuk bersikap waspada.
Tawa kecil terdengar seram dari suara pria tinggi berbadan tegap itu, Florin bisa tahu jika tingginya hanya beda tipis dengan Liam saat pria itu duduk di sandaran sofa.
"Aku penasaran, wanita macam apa yang membuat Liam bersikeras agar aku tak membunuhnya. Haha, tak ada yang pernah tau sisi itu darinya. Dan kau—wanita itu—aku tidak melihat keistimewaan apapun dari dirimu." Dia kembali tertawa kecil mengingat permohonan pertama yang Liam ajukan padanya.
"Apa maumu? Kau ingin membunuhku?" Florin tak ingin mendengarkan lebih lanjut ucapan pria itu tentang dirinya, jelas sekali dia sedang merendahkannya.
"Ya. Aku ingin membunuhmu, meskipun dia berlutut dan bersujud padaku. Aku tetap harus membunuhmu, tapi—" Dia berdiri. Pria itu berjalan mendekat, Florin tak bisa berkata-kata seakan mulutnya terkunci dan tak bisa bersuara. Tekanan yang pria itu berikan lebih besar dari sebelumnya sejak dia bilang akan membunuhnya.
"Aku bisa menundanya sebentar," air yang menetes dari ujung rambut Florin mengenai tangannya yang ingin memegang dagu wanita itu.
...----------------...