Kehidupan Elizah baik-baik saja sampai dia dipertemukan dengan sosok pria bernama Natta. Sebagai seorang gadis lajang pada umumnya Elizah mengidam-idamkan pernikahan mewah megah dan dihadiri banyak orang, tapi takdir berkata lain. Dia harus menikah dengan laki-laki yang tak dia sukai, bahkan hanya pernikahan siri dan juga Elizah harus menerima kenyataan ketika keluarganya membuangnya begitu saja. Menjalani pernikahan atas dasar cinta pun banyak rintangannya apalagi pernikahan tanpa disadari rasa cinta, apakah Elizah akan sanggup bertahan dengan pria yang tak dia suka? sementara di hatinya selama ini sudah terukir nama pria lain yang bahkan sudah berjanji untuk melamarnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melaheyko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PASUTRI
Hasan memegangi tangan Anita yang begitu panas. Anita demam sudah dua hari, dirawat di sebuah rumah sakit. Mirza setia menemani istrinya yang terus mengigau menyebut-nyebut nama Elizah.
Sekarang, Anita mengigau lagi dan membuat Hasan tidak tahan.
“Aku akan menelepon Elizah supaya pulang,” kata Hasan yang langsung disambut tatapan tajam Mirza.
“Buat apa? Apa itu akan mengubah keadaan? Ibumu hanya lelah dan banyak pikiran.” Mirza begitu ketus dan Hasan tak menyangka bahwa Ayahnya bisa setega ini mengabaikan Elizah.
“Seburuk apa pun yang Elizah lakukan, dia tetap anak Abi. Kita juga nggak tahu bagaimana keadaan dia sekarang,” kata Hasan dan Mirza yang tidak mau berdebat lebih panjang pun memilih pergi meninggalkan kamar rawat tersebut.
Hasan hanya bisa pasrah sekarang, satu jam kemudian Anita tersadar. Dia tidak mau makan dan Mirza memaksanya, setelah Mirza selesai ia meninggalkan ruangan dan meminta Hasan untuk menemani Anita.
“Hasan,” panggil Anita pelan dan Hasan mendekat.
“Kenapa, Bu? Ibu mau minum?”
Anita menggeleng kepala lemah.
Anita menunjuk tasnya di atas sofa.
“Ada nomor Natta di sana, Ibu mencatatnya. Ponsel Ibu dipegang Abi sejak kepergian Elizah, mumpung Abi nggak ada, coba kamu telepon dia.”
Hasan terdiam sejenak kemudian dia melakukannya. Menemukan buku kecil di mana Anita menuliskan nomor ponsel Natta. Tanpa menunggu lama, Hasan menghubungi nomor itu dan langsung tersambung.
🍃🍃🍃
Di rumahnya, Natta baru saja selesai mandi dan dia mendekati ponselnya yang berdering. Natta mengangkat panggilan tapi dia tidak mengeluarkan suara.
“Assalamualaikum,” lirih suara Anita terdengar dan Natta langsung mengenalinya.
“Wa’alaikumus salam, Bu.”
Natta yang masih memakai handuk itu duduk di sofa. Dia senang karena Anita menghubunginya.
“Bagaimana kabar kalian?” tanya Anita sambil menangis terbatuk-batuk.
“Baik,” jawab Natta dan melirik pintu kamar Elizah.
“Dimana Elizah, Nak? Dia sehat? Boleh Ibu mendengar suaranya sebentar saja?” pekik Anita lalu terbatuk-batuk lagi.
“Sebentar,” ucap Natta kemudian berjalan ke kamar Elizah. Membuka pintu tanpa permisi, Elizah panik dan sudah siap untuk memarahinya. Natta memberikan ponselnya dan Elizah kebingungan.
“Siapa?” kata Elizah dan didengar oleh Anita yang langsung membuatnya menangis.
“Ibumu,” kata Natta pelan.
Elizah langsung muram, dia dekatkan ponsel ke telinga. Natta duduk di sampingnya.
“Assalamualaikum, Bu.”
Anita terus terisak, begitu juga dengan Elizah.
“Wa’alaikumus dan, Eliii....” Suaranya terjeda karena terbatuk-batuk lagi .
“Ibu sakit?” Elizah begitu khawatir.
“Ibu cuman demam. Bagaimana keadaan kamu, Nak?”
Elizah menyeka air matanya dan tersenyum.
“Elizah baik, Bu. Elizah sehat.”
Anita merasa lega mendengarnya.
“Ibu percaya kalau dia akan menjaga kamu. Dia pasti menepati janjinya.”
Elizah menoleh pada Natta, mereka bersitatap dengan jarak yang begitu dekat.
“Kalian tinggal dimana? Ibu sulit sekali menghubungi kalian karena Abi belum juga memberikan izin.”
Elizah sangat sedih mendengarnya, ayahnya sungguh tega membuangnya.
“Cukup jauh Mas Natta mengajak Elizah, Bu. Tapi sungguh, Elizah di sini baik-baik saja.” Penjelasannya membuat Natta terpaku, “Ibu harus sehat. Ibu jangan terlalu membebani pikiran, kalau Ibu kenapa-kenapa, Elizah di sini juga nggak tenang.”
Keduanya menangis.
“Kirimkan alamat kalian, nanti ketika Abi sudah sadar dan menerima keadaan. Ibu akan secepatnya berkunjung ke tempat kalian,” lirih Anita bersemangat dan Elizah mengiyakannya.
“Elizah, apa suami kamu ada di situ?”
Elizah menoleh pada Natta, ia memberikan ponsel itu.
“Iya,” ucap Natta dan Anita tersenyum.
“Terima kasih sudah menjaga Elizah. Yang rukun-rukun ya kalian, harus bisa saling menerima, bagaimana pun caranya dan apa pun yang terjadi itu sudah menjadi kehendak Gusti Allah.”
Natta hanya diam mendengarkan, tepatnya dia bingung harus membalasnya bagaimana.
Samar-samar terdengar suara Mirza, panggilan langsung terputus. Elizah dan Natta melemparkan pandangan.
“Ibu pasti takut banget ketahuan, jadi Ibu putus teleponnya begitu saja.” Suara Elizah berat, masih sangat merindukan ibunya.
“Yang penting kalian sudah berkomunikasi. Ibu juga akan tenang setelah tahu keadaan kamu.”
Elizah mengangguk dan keduanya termenung bersama.
Sesaat kemudian Elizah sadar bahwa mereka hanya berduaan di dalam kamar. Elizah permasalahan beringsut menjauhi Natta yang tidak memakai atasan. Hanya handuk yang melingkar menutupi setengah tubuhnya.
“Aku keluar dulu,” kata Natta kemudian dia pergi.
🍃🍃🍃
“Kamu sudah mendapatkan pekerjaan, Suri? Pekerjaan apa?” tanya Elizah antusias ketika Suri memberikannya kabar baik itu.
“Di toko pakaian. Aku menginginkan pekerjaan yang lebih baik, di rumah menjaga warung dan sekarang di tempat lain menjaga toko pakaian. Nggak ada bedanya,” kata Suri sambil cemberut.
“Kalau kamu nggak mau, kenapa kamu melamar pekerjaan itu?” Elizah heran.
“Bukan aku yang melamar pekerjaan itu, Zah, tapi kakakku. Ketika kami mendapatkan kabar tersebut kakakku juga dipanggil oleh perusahaan yang selama ini dia incar, karena aku pengangguran ibuku menyarankan supaya aku saja yang mengambil pekerjaan di toko itu. Lumayan sih gajinya, tapi apa nggak ada pekerjaan lain ya??”
Elizah cengengesan.
“Kamu seharusnya bersyukur. Orang lain belum tentu semudah kamu mendapatkan pekerjaan,” kata Elizah dan Suri mendengarkan ucapannya.
“Aku juga ingin bekerja. Jenuh di rumah terus, emmm kalau di toko pakaian itu ada lowongan lagi....kabarin ya.” Elizah bersemangat dan Suri tersenyum.
Besok, Suri akan memulai pekerjaannya. Dia dan Elizah akan jarang bertemu.
Ketika mereka asik mengobrol, Sofi mendekat dan ikut duduk. Mereka berkenalan, Sofi merasa jenuh karena sedang cuti kerja. Sengaja keluar untuk melihat situasi sekitar tempat tinggal barunya.
“Oh yang tadi itu kakakmu, ya? Pantesan mirip,” ucap Suri yang ingat ketika tadi pagi, Sofi dibonceng seorang pria ke jalan depan untuk membeli sarapan..
Sofi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Eh tapi.... Kamu sama mas Adit mirip, kenapa Elizah sama mas Natta nggak mirip ya?” celetuk Suri dan Elizah membulatkan matanya.
“Emmm, kan nggak semua saudara itu mirip, Sur.” Elizah beralasan.
“Ah enggak! Kalau enggak mirip pasti ada anggota badannya yang mirip. Kayak hidung, bibir, mata...” Suri begitu detail ketika mengamati seseorang. Mati kutu sekarang Elizah di buatnya..
“Oh, jadi dia itu kakakmu, ya, Elizah? Aku kira kalian itu pasangan suami istri.” Sofi menjadi senang mendengarnya, merasa ada kesempatan untuk mendekati Natta.
Elizah hanya tersenyum gugup.
Mirza emang ya keras kepala takut banget turun martabat nya