Inaya tidak pernah menyangka pernikahan yang ia paksakan dengan melanggar pantangan para tetua, berakhir dengan kabar kematian suaminya yang tidak ditemukan jasadnya. Selama dua tahun ia menunggu, berharap suaminya masih hidup di suatu tempat dan akan kembali mencarinya.
Akan tetapi, ia harus kecewa dan harus mengajukan gugatan suami ghaib untuk mengakhiri status pernikahannya.
Fatah yang sudah lama menyukai Inaya akhirnya mengungkapkan perasaannya dan mengatakan akan menunggu sampai masa iddahnya selesai.
Mereka akhirnya menikah atas restu dari Ibu Inaya dan mantan mertuanya.
Akan tetapi, saat mereka sedang berbahagia dengan kabar kehamilan Inaya, kabar kepulangan Weko terdengar. Akankah Inaya kembali kepada Weko dan bercerai dengan Fatah atau menjalani pernikahan dengan bayang-bayang suami pertamanya?
.
.
.
Haloo semuanya, jumpa lagi dengan author. Semoga semua pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa Hutang Budi
“Bug!”
Weko terkejut melihat Inaya yang terjatuh karena dorongan dari istri nasabah yang ditagih.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Weko sambil membantu Inaya berdiri.
“Tidak, Mas.”
“Iss..” Inaya meringis merasakan kakinya nyeri saat berdiri.
“Mana yang sakit?” tanya Weko.
“Nyeri sedikit saja, Mas.”
“Bayar hutangmu sekarang atau suamimu tidak perlu berangkat melaut besok!” tegas Weko kepada istri Hendra.
“Untuk apa aku membayarnya? Bukan aku yang berhutang!” elak istri Hendra.
“Oh! Kamu lebih memilih suamimu menganggur ketimbang membayar hutangnya?” istri Hendra hanya diam.
“Baiklah! Siap-siap saja tidak lagi memiliki suami nelayan!” ancam Weko yang kemudian membawa Inaya pergi dari rumah Hendra.
Istri Hendra hanya menatap Weko datar seolah tidak terpengaruh dengan ancamannya. Sedangkan Inaya yang masih merasakan nyeri di kakinya, berjalan sedikit tertatih. Weko yang memapahnya tidak tahan untuk melihat kaki Inaya yang ternyata terkilir.
Jelas saja terkilir. Inaya menggunakan sepatu pantofel dan di dorong oleh istri Hendra yang memiliki berat badan hampir 100 kg.
“Tunggu sebentar!” kata Weko yang kemudian melakukan panggilan.
Inaya hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Weko, ia hanya bisa duduk di motor karena kakinya semakin terasa nyeri. Beberapa saat kemudian, datang seorang laki-laki menghampiri mereka.
“Rik, kamu bawa motorku dan bawa Mbok Darmi ke rumah!” perintah Weko.
“Siap, Mas!” Riki pergi begitu saja meninggalkan keduanya.
“Lalu, Mas kembali pakai apa?” tanya Inaya yang bingung.
“Aku akan memboncengkanmu dengan motor ini!”
“Eh!”
“Sudah, jangan banyak berpikir! Kakimu akan semakin bengkak kalau dibiarkan.” Inaya hanya bisa menurut dan membonceng Weko sampai di rumah Sintya.
“Motor kamu mana, Dek?” tanya Sintya yang melihat kedatangan Weko dan Inaya.
Tetapi Ketika melihat Inaya yang berjalan pincang, Sintya menjadi menyalahkan Weko yang tidak menjaga Inaya dengan baik.
“Istrinya Hendra yang mendorong Inaya!” protes Weko tidak terima.
“Kamu dimana saat Inaya di dorong?”
“Aku menunggunya di motor.” Lirih Weko yang merasa bersalah telah membiarkan Inaya melakukan pekerjaannya sendirian.
Jika saja ia menemani Inaya, mungkin saja kejadian itu tidak terjadi.
“Tidak apa, Mbak. Ini bukan salah Mas Weko. Istrinya Pak Hendra tidak tahu kalau suaminya berhutang, makanya menolak untuk membayar.” Inaya merasa sungkan dengan Weko yang justru mendapat omelan Sintya.
Sintya hanya bisa menghembuskan nafas dalam. Ia tidak bisa menyalahkan Weko sepenuhnya karena bagaimanapun, adiknya itu belum pernah dekat dengan Perempuan selain dirinya dan beberapa adik perempuannya. Sehingga dalam hal pendekatan dan mengambil hati Inaya, Weko masih kurang pengalaman.
“Panggilkan Mbok Darmi!” perintah Sintya.
“Aku sudah menyuruh Riki tadi.”
Beberapa menit kemudian, Riki datang bersama Mbok Darmi yang merupakan tukang urut.
Inaya diminta untuk meluruskan kakinya dan Mbok Darmi mulai mengurut kakinya. Sekuat tenaga Inaya menahan tangisnya saat diurut Mbok Darmi. Sintya yang memang cengeng sampai menangis melihatnya.
“Kalau mau nangis, nangis saja. Jangan ditahan!” kata Weko yang melihat Inaya menggigit bibirnya.
“Untungnya langsung diurut, kalau sampai telat ini bisa lama sembuhnya.” Kata Mbok Darmi yang sudah selesai mengurut kaki Inaya.
“Terima kasih, Mbok.” Ucap Sintya.
“Terima kasih.” Ucap Inaya dan Weko bersamaan.
“Sama-sama. Yang penting jangan banyak gerak dulu, semingguan baru bisa jalan normal nanti.”
“Iya, Mbok.”
Weko meminta Riki mengatar Mbok Darmi pulang dengan memberikan kode. Riki yang sudah hafal tentu menganggukkan kepalanya dan segera mengantar Mbok Darmi.
“Dek, belikan Inaya sandal ukuran 40! Dia tidak bisa menggunakan sepatunya untuk kembali ke kantor.”
“Siap!” Weko segera pergi dengan menggunakan motor Sintya.
Inaya mengeluarkan uang dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Sintya untuk biaya urut dan sandal. Tetapi Sintya menolak uang Inaya dan mengatakan jika ia tidak perlu menggantinya.
“Anggap saja kalau ini adalah ganti rugi atas kelalaian Dek Weko yang lalai menjagamu, Dek!”
“Mas Weko tidak salah, Mbak.”
“Aku sudah berpesan agar mengantar dan menjagamu, tapi dia tidak melakukannya dengan benar.”
“Iya, Dek! Maafkan aku.” Kata Weko yang baru saja kembali.
Ia meletakkan flatshoes di dekat kaki Inaya. Ia juga mengatakan jika sebenarnya ia ingin membelikan sandal seperti perintahSintya, tetapi ia mengurungkannya karena berpikir Inaya yang bekerja tidak mungkin menggunakan sandal. Jadi pilihannya jatuh pada flatshoes yang nyaman digunakan.
Setelah berpamitan, Weko mengantar Inaya kembali ke kantor diikuti Riki. Sampai di kantor, Inaya mengucapkan terima kasih dan Weko pamit kembali bersama Riki.
“Aish! Ada ya, orang yang seperti itu! Kamu izin saja beberapa hari sampai kakimu terasa lebih baik.” Kata Nuri setelah mendengar cerita Inaya.
“Boleh, Mbak? Bukannya harus pakai surat dokter?”
“Boleh! Daripada kamu masuk malah makin parah? Mending kamu izin, nanti aku yang akan mengatakannya kepada atasan.”
“Terima kasih, Mbak.” Inaya tersenyum.
Saat pulang bekerja, Nuri meminta sang suami untuk mengantarkan Inaya terminal bus lebih dulu. Ketika sampai di terminal, Inaya langsung naik ke bus yang kebetulan sedang menunggu penumpang.
Baru beberapa menit bus berjalan, Inaya mendapatkan panggilan dari Sintya yang bertanya apakah dirinya sudah pulang. Inaya menjawab jika dirinya sudah ada di dalam busa saat ini. Sintya mengerti dan tidak mengatakan apapun lagi.
Inaya tahu apa yang diinginkan Sintya. Tentu Sintya akan meminta Weko untuk mengantarkan dirinya. Beruntung ada pertolongan Nuri dan suaminya, jika tidak ia akan semakin merasa berhutang budi dengan Weko.