Di hari pertama masuk kerja di sebuah perusahaan besar tanpa sengaja di tengah jalan menuju perusahaan Safira menabrak sebuah mobil mewah. Karena terburu-buru Safira hanya bisa meminta maaf dan memberikan nomor ponselnya agar dia bisa ganti rugi.
Dan ketika Safira tiba di rumah pria tampan pemilik mobil itu, Safira tidak mampu membayar biaya perbaikan mobil yang terbilang sangat mahal baginya.
"Kebetulan saat ini saya sedang kekurangan pembantu. Jika kamu mau saya bisa membayarmu 10 juta perbulan."
Tawaran seperti itu, bisakah Safira menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Lamaran
Safira mengeluarkan kertas dan pulpen dari laci meja dan mulai menulis perjanjian.
“Kamu bisa membacanya terlebih dahulu,” kata Safira menyerahkan kertas pada Amar.
Amar mengambil kertas itu dan mulai membaca: “Satu, pihak A tidak akan memaksa pihak B untuk melakukan hubungan suami istri tanpa persetujuan pihak B.” Amar mengalihkan perhatiannya dari kertas melirik Safira.
Safira mengangkat kedua alisnya menyuruh Amar melanjutkan membaca.
Amar kembali membaca: “Dua, baik pihak A maupun pihak B tidak akan mencampuri urusan masing-masing. Tiga, dalam hubungan pernikahan, baik pihak A dan B tidak boleh berselingkuh. Jika salah satu dari kedua pihak ketahuan berselingkuh, maka pihak yang diselingkuhi bisa menuntut cerai dan ganti rugi.”
“Saya setuju dengan ini. Boleh saya tambahkan satu hal lagi?” tanya Amar.
“Tentu.”
Amar mengambil pulpen di atas meja dan mulai menulis. Selesai menulis, dia membaca hasil tulisannya.
“Yang ke empat, pihak A akan berbagi semua penghasilannya kepada pihak B selama masa pernikahan.”
“Bagaimana? Kamu setuju?” tanya Amar.
“Apa maksudnya perjanjian no. 4? Kamu ingin berbagai aset setelah menikah denganku?” ucap Safira bertanya balik tidak yakin.
“Itulah maksudnya. Semua gaji, dividen, dan aset yang aku miliki terhitung saat setelah kita menikah akan dibagi rata.”
“Apa kamu tidak merasa dirugikan? Kamu tahu, aku hanya anak seorang sopir dan pelayan. Kamu benar-benar ingin menikah dan berbagi harta denganku?”
“Saya serius. Saya tidak peduli bagaimana latar belakang kamu. Yang pasti saya tidak akan pernah menyesali keputusan yang sudah saya buat.” Amar berkata meyakinkan Safira.
“Jika kamu setuju, saya akan langsung menandatangani perjanjian ini?” tanya Amar lagi.
Amar melihat Safira mengangguk, dia segera menulis namanya dan menandatangani surat perjanjian itu. Dia kemudian mengarahkan kertas dan pulpen ke hadapan Safira.
Safira melihat nama dan tangan Amar di atas kertas.
‘Amartya Birendra Danapati’
Namanya sangat bagus. Pikir Safir.
Safira mengambil pulpen, menulis nama dan tanda tangannya tepat di sebelah milik Amar.
“Oke. Saya akan meminta pengacara saya untuk membuat salinan perjanjian ini dan memberikan salah satu salinannya padamu nanti,” kata Amar mengambil kertas perjanjian itu.
“Aku sudah mengirim alamat ke nomormu. Alamat itu milik kakek-nenekku. Aku akan menghubungi orang tua ku untuk datang ke sana dan menceritakan masalah ini pada mereka," ucap Safira memegang ponsel di tangannya.
“Baik. Saya akan pulang terlebih dahulu dan datang ke rumah mu dengan paman dan bibiku jam 5 sore.”
“Oke. Aku juga akan meminta izin dulu untuk pulang lebih cepat.”
Keduanya lalu berdiri dan meninggalkan ruangan menuju tujuan masing-masing.
°°°°°
Amar langsung menuju kediaman keluarga Danapati setelah berpisah dengan Safira. Dia memberitahu pamannya alamat rumah keluarga Safira dan waktu berkunjung yang disepakati.
Amar lalu pergi ke kamarnya di lantai 2 untuk mandi dan membersihkan diri, dia merasa segar dan nyaman setelah mandi.
Mengenakan kemeja putih, Amar memilih jas hitam. Dia tidak memakai dasi agar tidak terlihat terlalu formal seperti saat pergi bekerja.
Amar lalu berjalan menuju lukisan di dinding dan menurunkannya memperlihatkan sebuah brankas terpasang di dalam tembok di balik lukisan.
Setelah menekan serangkaian angka, pintu brankas berbunyi. Amar membuka pintu brankas dan mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru biru.
Amar membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah cincin berlian ungu berbentuk bunga di dalamnya. Amar menutup kembali kotak itu dan memasukkan ke dalam saku jasnya.
~ Di sisi lain, rumah kakek-nenek Safira.
Di dalam rumah keluarga Safira sudah berkumpul di ruang tamu.
“Safira benarkah pacarmu akan benar-benar datang melamarmu hari ini. Kapan dia akan datang?” kata nenek Safira sambil memegang tangan Safira.
Semua anggota keluarga Safira mengenakan pakaian terbaik mereka untuk menyambut keluarga calon besan yang akan datang melamar putri mereka.
Safira juga mengenakan gaun lilac yang baru dibelinya di mal tadi. Keluarga Amar adalah keluarga kaya tidak mungkin dia mengenakan pakaiannya yang biasa.
“Tenang saja, Nek. Dia pasti akan tiba sebentar lagi,” kata Safira sambil melirik jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 16.58.
“Kak Safira, tiga mobil bagus berhenti di depan rumah kami! Mereka mungkin orang-orang yang akan melamar Kakak!” teriak Alif, adik sepupu Safira yang berusia 10 tahun.
Safira dan keluarga segera berdiri. “Safira, kamu tunggu di dalam kamar dulu. Biar kami yang akan menyambut mereka,” kata nenek Safira melirik kedua menantunya menemani Safira ke kamar.
Bu Kamila dan adik iparnya mengangguk dan membawa Safira meninggalkan ruang tamu.
Di luar halaman rumah, paman Gilbran dan istrinya memimpin memasuki pintu pagar sambil membawa seserahan, diikuti oleh bibi Ratih dan suaminya, serta Amar dan sepupunya, Azmi dan Zidan.
Bibi Ratih merupakan saudari ketiga papanya. Azmi adalah anak dari paman Gilbran dan Zidan, anak dari bibi Ratih.
Tidak ada rasa jijik ataupun menghina di wajah keluarga Amar melihat rumah kecil dan sederhana keluarga calon istri Amar. Mereka bahkan tersenyum ramah melihat keluarga Safira menyambut kedatangan mereka.
Kakek, nenek, dan ayah Safira terkejut melihat kedatangan keluarga pria yang akan melamar Safira.
Mereka mengenakan pakaian yang terlihat sangat mahal, jas dan gaun. Sedangkan mereka hanya mengenakan kemeja batik dan gamis. Mereka juga kaget melihat seserahan yang dibawa sangat banyak.
Kedua keluarga saling berkenalan dan memasuki rumah keluarga Safira.
“Begini, kedatangan kami kesini bermaksud untuk melamar putri dari keluarga Anda yang bernama Safira untuk keponakan saya, Amartya,” kata paman Gilbran langsung menyampaikan tujuan kedatangan mereka dan menunjuk Amar.
“Ini adalah sedikit hadiah lamaran dari keluarga kami. Silakan diterima.” Pak Gilbran menyerahkan kotak kayu berpenutup plastik transparan berpita kepada Pak Lukman sebagai ayah Safira.
Pak Lukman menerima kotak itu, membuka tutupnya dan melihat sebuah buku rekening, kartu kredit, dan sertifikat rumah tergeletak di dalamnya. Dia membuka buku tabungan dan melihat jumlah saldo di dalamnya sebanyak 1 M. Lalu, dia melanjutkan membaca sertifikat rumah dan kaget melihat harga rumah pada sertifikat itu bernilai 5 M.
Terkejut, pak Lukman melirik pak Gilbran dan Amartya.
“Karena sedang terburu-buru kami tidak sempat mengambil uang tunai. Jadi, kami hanya bisa mengirim buku tabungan ini. Saya harap Bapak dan keluarga dapat menerimanya,” kata pak Gilbran menjelaskan.
“Tidak, hadiah ini terlalu mahal, kami tidak bisa menerimanya,” tolak pak Lukman khawatir, menutup kembali kotak di tangannya.
“Tidak, inilah yang seharusnya kami berikan. Bapak tidak perlu merasa terbebani. Putri Bapak adalah calon menantu putra tertua dari keluarga kami, inilah yang pantas dia dapatkan."
"Jangan khawatir, semua ini telah dipesankan oleh almarhum orang tua saya. Semua menantu dari keluarga Danapati harus mendapatkan jumlah hadiah lamaran yang sama. Jika Anda menolak, itu berarti Anda tidak setuju putri Anda menikah dengan Amar keluarga kami,” bujuk pak Gilbran panjang lebar.
Hati pak Lukman menegang, ini adalah pacar putrinya yang melamar pernikahan. Pria yang dicintai putrinya. Meski dia merasa hadiah ini sangat mahal dan tidak ingin menerimanya karena takut terbebani.
Tapi, jika dia menolaknya maka putrinya tidak akan menikah dengan pria pujaannya. Dia tidak bisa melakukan ini, kebahagiaan putrinya adalah yang paling penting.
“Baiklah. Kalau begitu kami akan menerima lamaran ini,” ucap pak Lukman tegas.
“Alhamdulillah. Karena lamaran telah diterima kita bisa membicarakan masalah pernikahan sekarang,” sambung pak Gilbran
“Sebelum itu, bisakah kami bertemu dengan putri Bapak yang akan menjadi istri Amartya?” sela bibi Ratih.
“Ah, ya, tunggu sebentar, biar istri saya memanggilnya kemari,” kata pak Lukman melirik bu Kamila.
Bu Kamila yang melihat tatapan suaminya segera berdiri dan masuk ke kamar di mana Safira berada.
Tidak lama kemudian Safira keluar didampingi oleh ibu dan bibinya.
Paman dan bibi Amar mengangguk melihat penampilan Safira.
Safira terlihat cantik dalam balutan gaun lilac, rambutnya ditarik ke belakang membentuk sanggul, dia memakai sedikit riasan yang membuat wajahnya terlihat lebih elegan.
Penglihatan keponakannya memang tidak pernah salah. Walau dari keluarga biasa dia tidak kalah cantik dan anggun dari gadis keluarga kaya. Pikir anggota keluarga Amar.
Zidan menyikut lengan Amar dan memberikan tatapan main-main melihat tatapan Amar yang tertuju pada calon kakak iparnya.
Dari melihat penampilan Safira saja sudah mendapatkan persetujuan bulat dari keluarga Amar untuk menjadi menantu keponakan tertua keluarga Danapati.
°°°°°
kasian itu
♥️♥️♥️♥️
Suka banget cerita kayak gini, tentang CEO konglomerat yang baik hati dan nggak angkuh.
ayo ajukan kontrak...
agar mkn bnyak pembaca..