NovelToon NovelToon
Di Bawah Aturan Suami Baruku

Di Bawah Aturan Suami Baruku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dokter / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Konflik etika
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ziafan01

Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PANGGILAN MENDESAK

“Hampir selesai.”

Shima membisu. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena perasaan, tapi karena kenyataan itu terasa dekat. Terlalu dekat.

“Kenapa berhenti?” tanyanya lebih pelan.

Arru menatapnya lama, lalu berkata datar, “Ayahku sakit. Perusahaan hampir jatuh. Seseorang harus memilih.”

Shima menelan ludah. Ia mengangguk kecil, memahami pilihan itu lebih dari siapa pun. Beberapa detik berlalu dalam diam.

“Kalau begitu,” ucap Shima akhirnya, suaranya sedikit melembut. “kalau pasienku mengalami fibrilasi pascaoperasi...”

“Amiodarone dulu,” potong Arru cepat. “Jangan langsung defibrilasi kecuali dia tidak stabil.”

Shima menatapnya. Lama.

"Kamu masih ingat semuanya,” katanya lirih.

“Aku tidak pernah lupa,” jawab Arru singkat.

Keheningan jatuh lagi, tapi kali ini berbeda. Shima tersenyum tipis tanpa sadar.

“Terima kasih,” ucapnya.

Arru menoleh cepat. “Untuk apa?”

“Untuk menjawab. Aku lupa… aku sedang bicara dengan siapa.”

Arru berdiri, mengambil tabletnya kembali. Sebelum berjalan pergi, ia berhenti di samping Shima.

“Kamu aman bertanya padaku,” katanya dingin tapi tegas. “Selama kamu istriku.”

Shima mendongak. Tatapan mereka bertemu lagi lebih dekat dari sebelumnya. Tidak ada sentuhan, tapi jarak itu terasa penuh tekanan.

Arru melangkah pergi. Shima masih duduk di sana, menatap tablet yang kini terasa lebih ringan.

Malam itu, tanpa mereka sadari, kontrak itu retak sedikit bukan oleh cinta, tapi oleh keterhubungan.

Suara dering ponsel Shima memecah keheningan malam itu nyaring, mendesak, tanpa kompromi. Nama rumah sakit muncul di layar, disertai tanda merah kode darurat.

Shima langsung bangkit.

“Pasien kritis,” ucapnya cepat, bahkan sebelum panggilan itu benar-benar tersambung. Langkahnya sudah berlari menuju kamar.

“Dokter Senja, pasien pascaoperasi jantung mengalami penurunan saturasi mendadak tekanan darah tidak stabil,” suara perawat terdengar panik dari seberang.

“Aku otw,” jawab Shima tegas. “Siapkan ICU, hubungi dokter anestesi, jangan tunggu aku untuk pasang oksigen maksimal.”

Ia meletakkan panggilan, membuka lemari, meraih tas medisnya. Tangannya sedikit gemetar bukan takut, tapi refleks dari tanggung jawab yang terlalu besar untuk ditunda.

Belum sempat ia mengenakan sepatu, pintu kamar terbuka.

Arru sudah berdiri di sana, kunci mobil di tangannya.

“Kau ikut aku,” katanya singkat.

“Aku bisa nyetir sendiri...”

“Tidak,” potong Arru tanpa meninggikan suara. Ia mengambil tas dari tangan Shima dengan satu gerakan cepat. “Waktu lebih penting daripada debat.”

Shima terdiam sepersekian detik. Tatapan Arru tajam, fokus, sama sekali bukan wajah seorang pria yang sedang berakting sebagai suami.

Ia menurut.

Beberapa menit kemudian, mobil hitam Arru melesat membelah jalanan kota yang lengang. Lampu-lampu jalan berkelebat cepat di kaca depan. Arru menyetir dengan satu tangan, tenang namun agresif, seperti seseorang yang tahu persis kapan harus menekan dan kapan harus menahan.

Shima sudah kembali ke ponselnya.

“Dengar baik-baik,” katanya ke perawat di ujung sana, suaranya stabil meski mobil melaju cepat. “Jika tekanan turun di bawah sembilan puluh, mulai infus dopamin. Pantau EKG setiap dua menit. Jangan biarkan dia sendirian.”

Ia berhenti sejenak, mendengarkan.

“Tidak. Jangan tunggu dokter senior. Aku yang bertanggung jawab.”

Arru melirik sekilas ke arah Shima. Wajah wanita itu tegang, rahangnya mengeras, matanya fokus sepenuhnya pada pasien yang bahkan belum ia lihat. Tidak ada sisa-sisa kelembutan tadi malam. Yang ada hanya dokter utuh, tegas, tanpa ragu.

“Kondisi jantungnya bagaimana?” tanya Arru tiba-tiba, matanya tetap lurus ke depan.

Shima menoleh cepat. “Kamu dengar?”

“Aku dengar semuanya.”

“Fraksi ejeksi rendah. Itu yang bikin aku khawatir,” jawab Shima jujur. “Kalau terlambat sedikit saja...”

“Dia tidak akan terlambat,” potong Arru datar, kaki menekan pedal gas lebih dalam.

Shima menatap Arru beberapa detik. Ada sesuatu di caranya menyetir presisi, terkendali, seolah ia sedang memimpin operasi dalam bentuk lain.

“Aku butuh lima menit pertama tanpa gangguan,” kata Shima lagi ke ponsel. “Kalau terjadi henti jantung, lakukan CPR sesuai protokol. Aku hampir sampai.”

Panggilan ditutup.

Mobil berbelok tajam memasuki area rumah sakit. Arru memarkirkan mobil tepat di depan pintu IGD, mengabaikan larangan parkir. Ia keluar lebih dulu, membuka pintu Shima sebelum Shima sempat menyentuh gagangnya.

“Pergi,” ucapnya singkat.

Shima berlari.

Langkahnya cepat, mantap, jasnya berkibar di belakang. Saat ia menghilang di balik pintu rumah sakit, Arru berdiri sesaat di sana, menatap punggungnya. Untuk pertama kalinya malam itu, Arru Vance tidak merasa sedang menjalankan kontrak. Ia merasa sedang menjaga sesuatu yang hidupnya tak boleh runtuh.

...****************...

Lampu ruang observasi menyala terang. Monitor berdetak cepat, grafik jantung naik-turun tak stabil. Suasana tegang menyelimuti ruangan itu sejak Shima masuk dengan langkah panjang dan wajah dingin.

“Tekanan darah?” tanya Shima tanpa menoleh.

“Delapan puluh per enam puluh, Dok,” jawab perawat cepat.

“Naikkan dosis. Siapkan defibrillator. Jangan tunggu perintah kedua.”

Pintu ruang observasi terbuka lagi.

Langkah sepatu kulit terdengar tenang, berat, berwibawa.

Semua dokter dan perawat refleks menoleh.

Arru Vance.

Tidak ada jas pengantin, tidak ada senyum resepsi. Hanya setelan gelap, sorot mata dingin, dan aura yang membuat ruangan seolah kehilangan udara.

“Kenapa beliau ke sini…?” bisik seorang residen.

“Arru Vance… itu suami Dokter Senja, kan?”

Arru tidak berbicara. Ia berdiri di sudut ruangan, tangan di saku celana, pandangan lurus ke arah Shima. Tatapannya tajam bukan menilai, tapi mengawasi. Seolah seluruh nyawa di ruangan itu adalah wilayahnya.

Seorang dokter senior berdeham. “Tuan Arru, ruang observasi terbatas...”

Arru menoleh pelan. Satu tatapan saja cukup membuat dokter itu menelan kata-katanya sendiri.

“Aku tidak mengganggu,” ucap Arru datar. “Lanjutkan.”

Dan tidak ada satu pun yang berani membantah.

Shima fokus penuh. Tangannya bergerak cepat, instruksinya presisi. Namun saat monitor berbunyi panjang bunyi yang terlalu lurus wajahnya berubah.

“Dok detak jantung melemah!”

Shima membeku sepersekian detik.

“Henti jantung,” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

Lalu ia tersadar.

“CPR! Sekarang!”

Tangannya menekan dada pasien, satu… dua… tiga. Napasnya memburu. Keringat mulai membasahi pelipisnya.

“Ayo… jangan berhenti…,” bisiknya, lebih pada dirinya sendiri daripada siapa pun.

Monitor masih datar.

Untuk pertama kalinya malam itu, tangan Shima sedikit gemetar.

Arru melihatnya.

Melihat bahu itu menegang. Melihat rahang itu bergetar halus. Melihat wanita yang selama ini berdiri tegar… nyaris runtuh.

“Dokter Senja,” panggil seorang perawat panik. “Tidak ada respons...”

“Lanjutkan!” suara Shima meninggi, retak. “Jangan berhenti!”

Arru melangkah maju satu langkah.

“Shima.”

Namanya keluar dari mulut Arru rendah, tegas bukan perintah, bukan tekanan.

Shima menoleh.

Tatapan mereka bertemu.

“Tarik napas,” kata Arru singkat. “Kau masih di sini. Lanjutkan.”

Hanya itu.

Tapi cukup.

Shima menarik napas dalam, matanya kembali fokus. “Defibrillator. Sekarang.”

Kejutan pertama. Kedua.

Monitor berbunyi.

Detak kembali muncul.

Ruangan seolah hidup kembali.

Shima terhuyung mundur satu langkah. Kakinya lemas. Ia menoleh, memastikan grafik stabil baru setelah itu tubuhnya menyerah.

Arru sudah ada di sana.

Tangan Arru menahan bahunya sebelum ia jatuh.

Tidak memeluk. Tidak mengelus.

Hanya menopang kokoh, pasti.

“Kau berhasil,” ucap Arru pelan di dekat telinganya.

Shima menunduk. Napasnya gemetar. “Aku hampir… kehilangan dia.”

Arru tidak menyangkal. “Tapi kau tidak.”

Beberapa meter dari sana, seseorang berdiri terpaku di balik pintu kaca.

Arya.

Ia melihat semuanya.

Melihat Arru berdiri di ruang observasi tanpa izin siapa pun. Melihat para dokter senior menyingkir memberi jalan. Melihat Shima wanita yang dulu ia anggap lemah berdiri di garis hidup dan mati dengan keberanian yang tak pernah ia pahami.

1
Wita S
kereennnn
Sweet Girl
Siram bensin terus aja...
Sweet Girl
Buat memelihara bangkai di rumah, Laura... mending dibuang aja.
Sweet Girl
Dan bakal kehilangan Dana segar Luuu pada...
Sweet Girl
Asyeeek... beli yang kau mau, Shima...
bikin mereka yg menyakiti melongo.
Sweet Girl
Tunggu tanggal mainnya duo penghianat.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
Sweet Girl
Nah Lu... kapok Lu... sekalian aja seluruh Penghuni rumah sakit denger...
Sweet Girl
Kelihatan sekali yaaaa klo kalian itu bersalah.
Sweet Girl
Ada Gondoruwo🤪
Sweet Girl
Kamu pikir, setelah kau rampas semua nya, Shima bakal gulung tikar...
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
Sweet Girl
Masuklah sang Penguasa 🤣
Sweet Girl
Dan pilihan mu akan menghancurkan mu... ojok seneng disek...
Sweet Girl
Kamu yang berubah nya ugal ugalan Brooo
Sweet Girl
Ndak bahaya ta... pulang sendiri dengan nyetir mobil sendiri?
Sweet Girl
Kok ngulang Tor...???
Sweet Girl
Wes ora perlu ngomong, Ndak onok paedaheee.
Sweet Girl
Naaah gitu dong... semangat membongkar perselingkuhan Suami dan sahabat mu.
Sweet Girl
Musuh dalam selimut, iya.
Sweet Girl
Gayamu Ra... Ra... sok bener.
Sweet Girl
Kamu jangan kebanyakan mikir tho Syma...
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!