Dijodohkan dari sebelum lahir, dan bertemu tunangan ketika masih di bangku SMA. Aishwa Ulfiana putri, harus menikah dengan Halim Arya Pratama yang memiliki usia 10tahun lebih tua darinya.
Ais seorang gadis yang bersifat urakan, sering bertengkar dan bahkan begitu senang ikut tawuran bersama para lelaki sahabatnya.
Sedangkan Halim sendiri, seorang pria dingin yang selalu berpembawaan tenang. Ia mau tak mau menuruti permintaan Sang Papi.
Bagaimana jika mereka bersatu? Akankah kehangatan Ais dapat mencairkan sang pria salju?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa harus menikahi anak kecil?
Pesta semakin ramai. Para tamu mulai berdatangan, menikmati hidangan dan memberi selamat pada kedua mempelai.
"Huftzzzz, capeknya." keluh Ais, dengan menepuk-nepuk betisnya.
"Sebentar lagi selesai. Lagipula, Ais tak pakai hells." bisik Lim padanya.
"Apalagi pakai Hells, pasti lebih capek." ucap Ais yang cemberut.
Lim meraih kaki Ais, lalu memijitinya dengan lembut.
"Eh, jangan. Malu di lihat orang." lerai Ais, tapi Lim tetap saja melakukannya.
"Semua tersenyum, kenapa malu." jawab Lim.
Ais hanya tersenyum, ketika semua orang melihat mereka. Semua tampak gemas dengan pasangan muda ini, meski sebagian mempertanyakan usia Ais, karena memang tampak begitu imut layaknya gadis kecil. Padahal, usianya sebentar lagi 19 tahun.
"Udah, Kak. Ada orang datang kesini." tegur Ais.
Lim langsung menegakkan kepalanya, menatap seorang yang menghampirinya.
"Ayu?"
"Hey, Lim. Selamat atas pernikahanmu. Semoga langgeng, dan kau bahagia dengannya." ucap Ayu, menjabat tangan Ais dan Lim bergantian.
"Kau... Baik-baik saja?" tanya Lim..
"Kau tahu jawabannya, kenapa bertanya? Bahkan kau tak pernah memberitahuku tentang rencana ini, bukan? Aku terkejut bukan kepalang, bahkan rasanya ingin menelan obat tidur sebanyak mungkin agar seketika lupa denganmu." ucap Ayu panjang lebar.
Matanya berkaca-kaca, dan Ia bahkan tak melirik Ais sebagai mempelai wanitanya.
Dimas menyadari sebuah keanehan. Ia pun menatap Lim dengan Ais yang bersama Ayu dihadapan mereka. Dimas langsung berlari, untuk membawa Ayu pergi.
" Kau, apa-apaan?" lirih Dimas.
" A-aku hanya memberi selamat. Salah kah?" tanya Ayu dengan tawanya.
"Tapi tak seperti itu. Kau tampak mabuk." tegur Dimas.
Ia pun membawanya keluar, lalu duduk di sebuah taman yang dekat dari sana.
"Jangan gila, Ayu. Mereka sudah menikah."
"Menikah terpaksa, apa hebatnya? Dengan anak kecil? Ya, gadis itu masih kecil. Tak takutkah, di cap sebagai pedofil?" racau Ayu.
"Dia hanya masih sekolah, tapi bukan berati masih kecil." sergah Dimas.
"Aaah, terserah kau. Aku benci kalian semua. Padahal, Al menitipkan Lim padaku. Kenapa biarkan menikah dengan dia? Kalian tak Amanah! Aku benci kalian semua!" pekik Ayu, lalu berlari pergi meninggalkan Dimas di taman itu.
Dimas pun kembali pada pesta. Karena hari sudah mulai sore, Ia pun harus membantu menyalami para tamu yang berpamitan.
" Dia pergi?"
" Ya, berlari dengan cepat dan begitu jauh." jawab Dimas pada Lim.
Seperti dugaan, para tamu sudah mulai undur diri. Dimas pun mewakili Papi Tama untuk bersalaman dengan para tamunya.
"Kak, Ais capek." keluh Ais lagi.
"Katanya preman, kok capek ginian aja." ledek Lim lagi.
"Mendingan berantem deh, Kak. Yok, berantem yok." tantang Ais yang kesal.
Lim melambaikan tangannya. Ia memanggil sahabat Ais yang daritadi menikmati hidangan yang di sediakan. Nisa pun dengan sigap menghampirinya, meski wajah sedikit cemong karena berbagai kue yang Ia makan.
"Iya, Kak Lim. Kenapa?" tanya Nisa.
"Kamu dan Dimas, disini. Saya bawa Ais ke kamar untuk istirahat."
"Apa? Berdua disini?" tanya Dimas dan Nisa bersamaan, dengan wajah kaget yang sama.
"Iya, sebentar. Dan lagi, acara akan segera selesai."
Lim pun menggendong Ais ala Bridal Style. Ia membawanya ke kamar pengantin mereka. Dan di sana, Lim mulai membuka sepatu Ais secara perlahan.
"Sepatunya, murah. Bahannya jelek. Pantas, kakimu sakit.."
"Ais tahu kalau murah menurut Kakak. Tapi, itu sangat mahal buat Ais dan Mama."
"Aku tak menghina, hanya jujur." jawab Lim, lalu mengusap kaki Ais dengan air hangat yang baru saja Ia minta dengan pelayannya.
biar je...