Zevanya memiliki paras yang cantik turunan dari ibunya. Namun, hal tersebut membuat sang kekasih begitu terobsesi padanya hingga ingin memilikinya seutuhnya tanpa ikatan sakral. Terlebih status ibunya yang seorang wanita kupu-kupu malam, membuat pria itu tanpa sungkan pada Zevanya. Tidak ingin mengikuti jejak ibunya, Zevanya melarikan diri dari sang kekasih. Namun, naasnya malah membawa gadis itu ke dalam pernikahan kilat bersama pria yang tidak dikenalnya.
Bagaimana kisah pernikahan Zevanya? Lalu, bagaimana dengan kekasih yang terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naaila Qaireen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
SELAMAT MEMBACA
Hubungan Wira dan Zevanya semakin dekat dari hari ke hari, pernikahan mereka pun telah resmi secara agama maupun negara. Hubungan yang awalnya kaku perlahan menjadi cair di selingi candaan yang semakin mendekatkan keduanya.
Namun sayangnya, keduanya belum begitu dekat. Terbukti dengan Wira yang masih tidur di sofa tua ruang tamu, dan Zevanya di kamar.
Wira terbangun dari tidurnya oleh aroma masakan yang begitu menggugah selera, pria itu terduduk sejenak untuk mengumpulkan kesadarannya.
Aroma masakan semakin menguar membuat Wira tak tahan untuk mencicipi, pria itu memutuskan untuk berjalan ke dapur dan mendapati Zevanya yang tengah sibuk dibalik kompor.
Ia berjalan memasuki kamar mandi untuk membersihkan wajah, dan berjalan keluar dengan wajah yang lebih segar. Zevanya menyambutnya dengan senyum manis dan semakin manis di mata Wira.
“Ayo kita makan, Mas.” Panggilan itu semakin lancar saja diucapkan Zevanya, dan itu selalu berhasil menggelitik perut seorang Wira.
Pria itu membalas senyuman sang istri, lalu duduk di kursinya. Dan seperti biasa, ia menunggu Zevanya melayaninya.
Masakan Zevanya makin hari semakin cocok saja di lidah Wira, rasanya selalu pas membuat pria itu menambah lagi dan lagi.
Wira menuangkan air ke dalam gelas dan menyodorkan pada Zevanya yang telah selesai makan, setelah itu ia baru menuankan untuk dirinya sendiri.
“Stok makanan di kulkas mulai menipis, Mas.” Beritahu Zevanya, tangannya mengumpulkan piring kotor sisa makanan mereka. Tetapi pergerakannya itu langsung di tahan oleh Wira.
“Biar aku saja, kamu sudah memasak.” Pria itu mengambil alih pekerjaan sang istri.
“Tidak, biar aku saja. Mas duduk saja,” tolak Zevanya.
“Kamu tahu aku tidak suka penolakan, Zeva.” Gadis itu menghela napas, jika sudah ditatap seperti itu dengan nada yang tegas. Maka, ia tidak bisa berkutik lagi.
“Baiklah,” ujarnya pasrah.
Wira menampilkan senyum kemenangan, ia menghampiri perempuan itu lalu mengusap rambutnya. Namun bagi Zevanya, itu lebih kepada mengacak yang membuat rambutnya berantakan.
“Wajahmu pasrah sekali,” ujar pria itu semakin melebarkan senyumannya. Kini Zevanya bersungut dan mulai memperbaiki rambutnya.
Setalah puas menjahili Zevanya, Wira mulai berkutat di depan wastafel untuk mencuci piring dan peralatan masak kotor lainnya.
“Sepertinya kita tidak perlu berbelanja,” Wira menoleh ke belakang, tepatnya pada Zevanya yang tengah duduk manis di sana.
Gadis itu menautkan alis, baru saja ingin bertanya, suara Wira lebih dulu menginterupsi. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, tapi setelah ini.” Zevanya pun menunggu dengan rasa penasaran yang semakin tinggi.
Setelah merapikan dapur, keduanya kini duduk di ruang tamu bersisian. Zevanya menunggu apa yang ingin Wira bicarakan padanya.
Baru saja Wira ingin mengatakan sesuatu, telepon pria itu tiba-tiba berbunyi membuat pembicaraan yang terlihat serius itu tertunda.
Wira melihat nama si penelpon, dan menghela napas. Ia dengan tenang mengangkat telepon tersebut tanpa ingin berpindah.
Zevanya yang merasa tidak enak, berniat berpindah untuk memberikan privasi pada Wira yang mengangkat telepon. Namun, pergelangan tangannya segera diraih oleh Wira membuatnya mau tidak mau kembali duduk.
Samar-samar suara penelpon terdengar, dan menggebu-gebu “Ya, Mah. Aku akan pulang, tentu. Tapi, aku akan tetap melakukan sesuai kehendakku, aku sudah besar dan tahu apa yang harus kulakukan dan tidak kulakukan.” Wira menjawab si penelpon di seberang dengan tenang.
Zevanya menunduk, berkutat dengan pikirannya sendiri. Dilihatnya jemarinya yang diusap pelan oleh Wira membuat gadis itu kembali mendongak dan mendapati pria yang berstatus suaminya ini tersenyum padanya.
Pembicaraan Wira dengan si penelpon terus berlanjut, Zevanya berusaha menebak ke mana arah pembicaraan mereka.
Wira menutup telepon dan menyimpan kembali ponselnya di dekat meja sofa. Kini perhatiannya sepenuhnya tertuju pada Zevanya.
“Ada beberapa hal yang belum aku bicarakan padamu, dan yang menelpon barusan adalah ibuku.” Jelas Wira sebari melihat bagaimana reaksi Zevanya.
Gadis itu terdiam cukup lama, bingung harus bereaksi seperti apa. Ia kira Wira hanya seorang diri, tanpa keluarga dan sanak saudara.
Tetapi selama pernikahan, mereka memang belum saling terbuka dan menjelaskan latar belalang masing-masing, maka kejadian seperti ini tentu akan terjadi.
“Maaf, aku tidak menceritakan ini padamu sedari awal.” Ucap Wira melihat keterdiaman Zevanya.
Zevanya menoleh dan langsung menggeleng cepat, “Tidak, tapi ini karena kita yang memang belum saling terbuka sebelumnya.” Gadis itu kembali terdiam sejenak. “Hm, seperti kita memang harus saling terbuka untuk mengenal satu sama lain.” Wira setuju.
“Baiklah, ini juga yang ingin aku bicarakan padamu.” Zevanya mengangguk bersiap mendengarkan. “Ibuku meminta untuk kembali pulang ke rumah, ada beberapa pekerjaan yang harus aku handle. Sebelumnya ini tanggung jawab kakakku, tetapi beberapa waktu lalu dia mengalami kecelakaan dan berakhir koma.” Wira menghela napas sejenak, sedangkan Zevanya menutup mulut mendengar kabar buruk tersebut.
Kecelakaan itu terjadi saat hari pertama pertemuan mereka, dan Wira yang saat itu baru pulang menjenguk kakaknya di rumah sakit bertemu dengan Zevanya. Hal inilah yang juga membuat Wira sering tidak di rumah, selain memang karena pekerjaannya. Dan kepergiannya kemarin adalah bertemu dengan ibunya untuk membicarakan pekerjaan sang kakak yang harus berpindah padanya untuk sementara waktu.
“Dan kita akan tinggal sementara di sana selama waktu yang tidak ditentukan, ini tergantung kapan kakakku sadar dari koma dan kembali pulih sehingga dapat kembali menghandle pekerjaannya.” Wira terdiam sejenak. “Hmm... apa kamu keberatan?” tanya Wira hati-hati. “Jika kamu keberatan, aku bisa membicarakan ini pada ibuku, dan bisa pulang pergi dari tempat pekerjaan walau jaraknya lumayan jauh.” Ucapnya cepat.
Zevanya meraih tangan Wira tanpa sadar, “Tidak, aku sama sekali tidak keberatan Mas. Dimana pun Mas pergi, maka aku akan ikut selama Mas menginginkan.” Jelas Zevanya dengan senyum menenangkan, walau hatinya sedikit ragu dan was-was akan pertemuan nanti dengan sang ibu mertua.
Ia yakin keluarga suaminya itu belum mengetahui akan pernikahan mereka. Ini membuat Zevanya menebak, akan seperti apa respon mereka nanti.
“Hm, tapi apa mereka akan menerima pernikahan kita?” gadis itu bertanya dengan perasaan cemas yang kentara.
Tangan Zevanya yang menggenggam tangan Wira, kini berbalik Wira yang menggenggam jemarinya. “Aku tidak tahu akan seperti apa respon mereka, tetapi bagaimanapun respon mereka sama sekali tidak penting. Aku tidak membutuhkan persetujuan mereka untuk menikahimu. Mereka hanya cukup tahu, dan tidak akan bisa mengubah apa pun.” Genggaman pria itu menjalar hangat, menenangkan. Dan mereka yang dimaksud adalah ibu dan kakaknya.
“Ibuku memang sedikit keras, aku mengatakan ini agar kamu tidak terlalu terkejut ketika bertemu dengannya nanti. Dan ada satu orang lagi di rumah, dia istri dari kakakku. Kamu tidak perlu menghiraukannya.”
Zevanya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi urung. Suaminya ini menjelaskan dengan begitu singkat, terkesan tidak terlalu peduli. Membuat ia meyakini hubungan Wira dan keluarganya tidak terlalu baik.
Usai Wira bercerita tentang keluarganya, Zevanya pun memberanikan diri menceritakan latar belakangnya. Gadis itu bercerita sambil menunduk dan memilin tangan. Ini seperti dirinya yang membuka luka lama, dengan perasaan yang tidak tenang. Takut akan bagaimana tanggapan Wira terhadap dirinya, tetapi ia memutuskan untuk terbuka dan menerima apa pun resikonya nanti.
Setelah bercerita, Zevanya semakin menunduk dalam. Tidak berani menatap mata Wira. Yang ia pikirkan sekarang adalah menghindar sementara waktu, membiarkan Wira berpikir akan hubungan mereka ke depannya setelah mendengar latar belakangnya yang bisa di bilang gelap.
“Aku akan menerima apa pun keputusan Mas, sebagai anak dari seorang kupu-kupu malam aku tentu tahu diri. Sulit menerima latar belakangku yang seperti ini... Mas bisa mempertimbangkan. Jika Mas ingin bercerai, aku akan meneri—“
Greppp!
“Jika kamu kembali mengatakan itu, aku akan benar-benar membungkam bibirmu sampai tidak bisa mengatakan apa pun lagi.” Ujar pria itu tegas.
Jarak keduanya begitu dekat, embusan napas Wira pun dapat Zevanya rasakan. Gadis itu menahan napas, tidak hanya terkejut karena Wira yang tiba-tiba menariknya dalam pelukan, tetapi juga karena bibir mereka nyaris bertemu.