Penghianatan yang dilakukan oleh mantan suami, membuat Widya Larasati sudah tidak lagi percaya akan cinta. Sebuah pernikahan yang diimpikan menjadi fase hidup yang paling membahagiakan, justru menjadi fase hidup yang begitu meluluhlantakkan jiwanya. Hingga kini, ia harus menjalani kehidupannya sendiri sebagai seorang ibu tunggal untuk menghidupi putra semata wayangnya yang masih berusia lima tahun.
Waktu terus berputar, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan sosok seorang lelaki yang berusia tiga tahun lebih muda darinya. Seorang mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung selesai dengan skripsinya. Namun siapa sangka, jika kehadiran lelaki itulah yang membuat Widya kembali percaya akan cinta.
Ketika cinta itu kembali menelusup ke dalam jiwanya. Ketika mimpi-mimpi telah tercipta begitu sempurna untuk menua bersama. Dan ketika semua telah dilakukan atas nama cinta, ternyata takdir pun seolah masih ingin bermain-main dengannya. Perjalanan cinta Widya harus menemui jalan terjal dengan kata 'RESTU', yang tidak kunjung diberikan oleh orang tua dari lelaki itu.
"Aku berada di persimpangan jalan antara memilih engkau sebagai cintaku ataukah ibuku yang di bawah telapak kakinya terdapat surga untukku," Bryannendra Ananto Hidayatullah
"Jangan pernah perjuangkan aku jika memang tidak kau dapatkan restu kedua orang tuamu untukku. Aku ikhlas jika pada akhirnya akulah yang harus menerima luka ini," Widya Larasati
"Percayalah jika cinta sejati itu akan datang di waktu yang tepat. Kehadirannya tidak terlalu cepat dan tidak akan terlambat. Kelak jika sudah tiba saatnya, kamu akan mengerti hakikat cinta yang sebenarnya," Arjuna Rahmanu Wijaya
Kepada siapakah Takdir Cinta Widya akan berpihak? Kepada lelaki yang telah lama mengisi kekosongan hatinya? ataukah kepada lelaki lain yang mencintainya dengan cara yang berbeda?
IG : yulia_rasti
UPDATE:
Inshaallah Setiap Hari ...🤗
Apapun yang tersaji dalam tulisan ini semoga dapat diambil pelajarannya. Author hanya mengambil salah satu tema yang mungkin masih ada di sekitar kita.
Happy reading kakak... 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rasti yulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malaikat Kecil itu Bernama Rama
Kilau sinar mentari pagi mulai menyapa bumi. Seberkas sinarnya yang hangat saat menyentuh kulit, bagai sebuah suplai semangat untuk menjalani hari yang baru ini. Tetes embun pagi pun masih terlihat menggelayut manja di atas dedaunan yang membiaskan kilau cahaya bening laksana kilau mutiara.
Widya berdiri di balik jendela kamar melihat pemandangan di sekitar rumahnya sembari menghela nafas dalam. Udara pagi di pedesaan seperti ini benar-benar bisa membawanya dalam kedamaian yang sudah lama tidak ia rasakan. Tubuhnya yang sebelumnya lemah seperti mendapatkan pasokan energi baru tatkala ia telah berada di tempat yang tepat, yaitu di dalam dekapan kedua orang tuanya. Meski tidak dapat dipungkiri, jika rasa sesak itu masih sedikit menguasai dadanya.
"Bunda?!"
Suara itu tiba-tiba membuyarkan lamunan Widya. Pandangan matanya yang tadinya mengedar ke luar jendela, kini ia alihkan ke anak kecil yang tengah melangkahkan kakinya menuju ke arahnya. Di tangannya ada semangkuk bubur yang kemudian ia letakkan di atas meja kecil yang berada di dalam kamarnya.
"Ya, Sayang?!"
Widya duduk di tepi ranjang dan diikuti oleh Rama yang mengambil posisi di sampingnya. Widya menyunggingkan senyum, melihat Rama yang sudah terlihat rapi dan wangi di jam enam pagi seperti ini. Inilah salah satu kebiasaan yang ditanamkan oleh Widya terhadap anaknya. Setiap pagi sebelum matahari benar-benar meninggi, sang anak harus sudah dalam keadaan bersih. Beruntung, Rama adalah anak yang begitu penurut. Sehingga apapun kebiasaan baik yang berusaha ditanamkan oleh Widya, pasti dapat diterima oleh Rama.
"Kata Nenek, Bunda belum sarapan. Rama kemari membawakan bubur untuk Bunda. Bunda makan ya, biar tidak sakit seperti semalam lagi!"
Celotehan anak lelakinya itu berhasil membuat senyum Widya terlukis jelas di bibirnya. Entah mengapa, melihat sang anak mencurahkan seluruh perhatiannya, membuat hatinya dipenuhi oleh tetes-tetes kebahagiaan yang terasa begitu menyejukkan.
"Rama membawakan bubur untuk Bunda?"
Rama mengangguk. "Iya Bunda. Rama tidak hanya membawakan bubur untuk Bunda, tetapi tadi Rama juga ikut membantu Nenek memasak bubur untuk Bunda".
Widya tersenyum lebar. "Benarkah itu Sayang? Coba, sekarang bawa buburnya kemari. Bunda akan memakannya!"
Rama kembali beranjak untuk mengambil semangkuk bubur yang sebelumnya ia letakkan di atas meja kemudian ia kembali duduk di samping sang Bunda.
Widya mengulurkan tangannya untuk mengambil mangkuk itu dari tangan Rama, namun seketika Rama menepis tangan sang bunda, yang seketika membuat Widya terperangah.
"Bunda duduk saja, biar Rama yang menyuapi Bunda. Kata Nenek, Bunda masih sakit jadi biar Rama yang menyuapi Bunda!"
Widya semakin terperangah, ia tidak menyangka jika anak lelakinya ini memiliki kepedulian yang luar biasa. Ia benar-benar merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
Perlahan, Rama mulai menyendok bubur yang ada di tangannya kemudian mulai menyuapi sang bunda.
"Enak Bunda?"
Rama bertanya saat satu suapan bubur sudah masuk ke dalam indera pengecap Widya. Widya mengunyah dengan pelan sambil menikmati bubur yang ada di dalam mulutnya. Entah karena lapar atau apa, Widya merasa bubur dalam mulutnya ini terasa begitu nikmat.
"Iya Sayang, bubur ini rasanya sangat enak. Apakah benar jika tadi Rama juga ikut memasak bubur ini?"
Rama mengangguk. "Tentu Bunda. Sebelum mandi Rama membantu Nenek di dapur. Kata Nenek, Rama harus sering-sering melihat Nenek ataupun Bunda memasak, dengan begitu ketika Rama sudah besar nanti, Rama bisa memiliki rumah makan yang bisa menyajikan makanan-makanan lezat!"
Widya terkekeh. Ia benar-benar tidak menyangka jika Rama akan memberikan jawaban seperti itu. "Rama ingin mempunyai restoran kah kalau sudah besar nanti?"
Widya tidak bisa untuk tidak bertanya. Perkataan sang anak sebelumnya membuat hati Widya sedikit tergelitik. Pasalnya ia belum pernah mendengar sang anak mengutarakan keinginannya ketika ia besar nanti.
"Selain ingin menjadi dokter, Rama juga ingin memiliki rumah makan yang besar, Bunda. Dengan begitu Rama dapat menyajikan makanan yang lezat untuk bunda, kakek dan nenek".
Widya semakin terkekeh mendengar perkataan dari sang anak. "Aamiin, bunda doakan semoga semua yang menjadi keinginan Rama dapat terwujud ya Sayang!"
"Iya Bunda. Sekarang bunda makan yang banyak ya, agar bisa selalu sehat. Jadi besok ketika Rama sudah besar, bunda bisa melihat Rama menjadi dokter dan mempunyai rumah makan yang besar sekali".
Celotehan anak kecil itu terdengar begitu lucu, namun mengapa hati Widya malah justru merasakan keharuan yang luar biasa? Ketulusan dari darah dagingnya itu benar-benar nyata terlihat. Mungkin inilah yang harus Widya syukuri, di kala ia terjembab dalam ujian hidup yang bertubi-tubi menimpanya, ketulusan dari orang-orang di dekatnya lah yang membuat ia bertahan.
Widya mengusap rambut Rama dengan lembut. "Bunda sudah sembuh, Nak. Rama jangan khawatir ya!"
Rama mengangguk senang. Ia terlihat begitu bersemangat menyuapi Widya, hingga bubur dalam mangkuk itu tandas tanpa bekas. Rama kemudian mengambilkan segelas air putih untuk sang bunda.
"Bunda mau apa lagi? Biar Rama yang mengambilkan untuk bunda?"
"Tidak Nak, bunda sudah kenyang. Apa Rama sudah sarapan juga?"
"Sudah bunda. Setelah ini Rama ingin ikut kakek ke ladang. Kata kakek singkong di ladang milik kakek sudah bisa diambil, Rama ingin membantu kakek," celetuknya dengan riang.
Widya sedikit mengulas senyum. "Baiklah Sayang, tapi Rama tidak boleh jauh-jauh dari kakek ya".
"Iya Bunda."
Anak kecil itu kemudian meninggalkan kamar Widya sambil membawa keluar bekas mangkuk kotor yang sebelumnya berisi bubur untuk Widya. Hati Widya menghangat. Ia tidak menyangka, jika putra kecilnya itu memiliki sifat penyayang. Diusianya yang masih kanak-kanak, ia seperti menjelma menjadi malaikat kecil yang selalu melindungi bundanya, sungguh sifat dan sikap putra kecilnya itulah yang membuat Widya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?"
Kehadiran wanita paruh baya ke dalam kamarnya yang tiba-tiba membuat Widya sedikit terkejut. Ia tersenyum tatkala melihat sang ibu masuk ke dalam kamarnya.
"Sudah mendingan, Ibu, hanya tinggal peningnya saja yang masih sedikit terasa," jawab Widya yang ia harapkan dapat membuat sang ibu merasa lega.
Ibu Wening tersenyum melihat pancaran wajah sang anak sedikit lebih cerah daripada kemarin. "Syukurlah kalau begitu, Nak. Ibu berharap kamu tidak terus menerus larut dalam keadaan seperti ini."
"Iya, Bu. Widya pun juga berpikir seperti itu. Kasihan Rama jika harus melihat Widya berlarut-larut dalam keadaan seperti ini."
Mata Widya kembali memanas dan mulai membentuk titik air di pelupuk matanya. Rupanya ia masih belum bisa sepenuhnya menerima keadaan ini, nyatanya setiap ia mengingat apa yang terjadi belakangan ini, rasa sesak dalam dadanya masih saja terasa.
Ibu Wening merengkuh tubuh Widya kemudian memeluknya. "Kamu harus tegar, Nak. Tidak perlu khawatir, kita akan melewati ini semua bersama-sama. Kamu tidak sendirian, Nak. Masih ada ayah, ibu, dan Rama yang akan selalu menguatkan langkah kakimu."
"Iya, Ibu, Widya berjanji akan segera bangkit dari keadaan ini. Terima kasih banyak karena ayah dan ibu tidak henti-hentinya memberikan kekuatan untuk Widya. Widya minta maaf karena tidak bisa menjaga kehidupan berumah tangga bersama mas Yuda," ucap Widya dengan isak tangis yang masih terdengar.
Ibu Wening mengusap punggung Widya. "Tidak perlu minta maaf Nak. Semua ini sudah menjadi garis takdir hidupmu. Ibu berharap kamu bisa selalu sabar dalam menjalaninya."
"Semoga Bu."
"Lalu apa rencanamu setelah ini Nak?,"
Widya menggeleng, ia bahkan belum memikirkan rencana apa yang akan ia buat setelah ini. "Widya belum tahu, Ibu. Namun sepertinya Widya harus mulai mencari pekerjaan. Bagaimanapun juga saat ini yang menjadi tanggungan Widya banyak sekali."
"Lakukanlah Nak. Semoga dengan seperti itu kamu dapat sedikit mengalihkan perhatianmu dari keterpurukan yang saat ini kamu rasakan."
Dekapan dari sang ibu yang disertai dengan ucapan-ucapan yang terdengar menenangkan, membuat Widya memiliki kekuatan untuk kembali berdiri tegak. Memang benar apa yang dikatakan oleh banyak orang, jika keluarga adalah tempat paling nyaman untuk kembali pulang dari segala keterpurukan yang tengah kita rasakan.
.
.
.bersambung...
Sedih-sedihnya sudah ya... Inshaallah mulai besok part-part yang tersaji adalah part-part yang penuh kebahagiaan. Di mana Widya menjalani kehidupannya sebagai seorang single parent. Sekali lagi mohon maaf jika alurnya saya bikin sedikit lebih pelan ya kak. Bukan bermaksud bertele-tele, namun saya hanya ingin membangun sebuah alur yang dapat membuat para pembaca seolah ikut larut dalam alur yang saya buat.😘😘
Terima kasih banyak sudah berkenan mengikuti cerita Widya ini ya kak... author ucapkan terima kasih juga untuk para pembaca yang secara ikhlas menyumbangkan poin yang dimiliki untuk mendukung author amatiran ini. sekali lagi jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak like dan komentar di setiap episodenya yah. dan bagi yang punya kelebihan poin, bolehlah kalau mau disumbangin ke author. dengan cara klik vote, hihihihi
Happy reading kakak...
Salam love, love, love❤❤❤
🌹Tetaplah yakin setiap cerita yang ditulis sepenuh hati, akan mendapatkan tempat di hati masing-masing para pembaca🌹