Seorang mafia kejam yang menguasai Italia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki sisi gelap serupa dengannya. Mereka saling terobsesi dalam permainan mematikan yang penuh gairah, kekerasan, dan pengkhianatan. Namun, di antara hubungan berbahaya mereka, muncul pertanyaan: siapa yang benar-benar mengendalikan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kehidupan (Normal)?
Dante dan Valeria membangun kembali kerajaan mereka—bukan dari gedung pencakar langit atau kasino mewah, tapi dari darah, ketakutan, dan nama keluarga yang mulai kembali bergema di dunia bawah.
Dante memimpin dengan tangan besi, memusnahkan setiap sisa loyalis keluarga saingan, dan merekrut kembali para veteran kriminal yang dulu setia padanya. Setiap malam, laporan darah dikirim ke mejanya, dan setiap nama yang mengkhianati masa lalu mereka, dicoret satu per satu.
Sementara itu, Valeria bermain di ranah yang lebih... estetis.
Ia membangun sebuah studio seni pribadi—bangunan batu yang tampak sederhana dari luar, namun di dalamnya dipenuhi dengan kanvas besar berisi lukisan brutal: wajah-wajah terakhir para musuh mereka, dilukis dalam gaya surealis nan kelam. Di sudut lain, berdiri patung-patung aneh dari lilin dan tulang tiruan—beberapa memakai perhiasan milik korban mereka.
“Ini bukan sekadar seni,” kata Valeria suatu malam sambil menyeka cat merah dari jemarinya. “Ini memorial. Bukti bahwa semua yang kita lakukan… abadi.”
Dante masuk ke studio itu, matanya menyapu setiap lukisan dengan ekspresi tak bisa ditebak. Tapi kemudian, ia berdiri di depan patung satu sosok wanita yang terlihat begitu familier.
“Itu Isabella?” tanyanya datar.
Valeria hanya mengangguk, lalu tersenyum miring.
“Kau tahu aku tak pernah membuang yang cantik. Bahkan jika sudah mati.”
Dante tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, tapi tawa seorang pria yang tahu bahwa ia jatuh cinta pada perempuan yang bisa membunuhnya sewaktu-waktu... dan dia tak masalah dengan itu.
Dalam seminggu, bisnis perdagangan senjata mereka kembali hidup. Gudang di pelabuhan Genoa sudah beroperasi, jalur distribusi di Napoli mulai diamankan, dan Dante mengutus salah satu eksekutornya untuk menyingkirkan bos kecil yang mulai besar kepala di Palermo.
Sementara itu, Valeria membuka galeri rahasia di Roma—tertutup untuk umum, hanya terbuka untuk klien-klien elite yang menyukai... seni dengan cerita berdarah di baliknya.
Kerajaan mereka bukan hanya kembali.
Ia tumbuh. Lebih gelap, lebih dalam, dan jauh lebih berbahaya.
Malam itu, langit Roma diguyur hujan ringan, menetes pelan di jendela kaca studio seni Valeria. Lampu-lampu hangat menerangi ruangan, memantulkan bayangan patung dan lukisan di dinding. Valeria sedang duduk di kursi kayu tua, mengenakan kaos longgar milik Dante yang kebesaran di tubuhnya, tangannya memegang kuas, memulas warna merah muda di sudut kanvas—satu-satunya warna lembut yang pernah ia gunakan.
Dante masuk tanpa suara, mengenakan kemeja hitam yang lengannya digulung hingga siku, rambutnya masih sedikit basah karena hujan. Ia berdiri diam di ambang pintu, menatap perempuan itu, dan untuk pertama kalinya, tak melihat darah, amarah, atau permainan. Ia hanya melihat Valeria, dalam diam, dengan ketenangan yang anehnya indah.
“Kau melukis bunga?” Dante menyeringai, berjalan mendekat.
Valeria menoleh pelan, tersenyum tipis. “Mawar,” katanya. “Tapi durinya akan tetap tajam.”
Ia menoleh lagi ke kanvas dan melanjutkan goresannya, lalu berkata dengan nada setengah bercanda, “Jangan berharap aku tiba-tiba jadi lembut hanya karena kita punya kerajaan mafia baru.”
Dante tertawa kecil, lalu berdiri di belakangnya dan membungkus tubuh Valeria dengan pelukannya dari belakang. Dagunya bersandar di bahunya, hangat, tenang.
“Aku tidak mencintai kelembutanmu,” bisiknya. “Aku mencintai kegilaanmu… tapi di saat-saat seperti ini, aku ingin waktu berhenti.”
Valeria memejamkan mata sejenak, membiarkan keheningan mengalun bersama detak jantung mereka yang seirama.
“Jika waktu berhenti,” katanya lirih, “apa kau tetap akan mencintaiku?”
“Kalau waktu berhenti,” Dante berbisik di telinganya, “aku akan tetap memilihmu. Berkali-kali. Dalam semua versi dunia yang kacau ini.”
Valeria membalikkan tubuhnya, menatap Dante dalam diam. Tatapan mereka bertemu seperti dua pisau tajam yang saling mengenali, tapi kali ini... tanpa darah.
Mereka saling mendekat, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut namun penuh luka. Seperti dua monster yang saling jatuh cinta di tengah medan perang yang sunyi.
Dan untuk malam itu—hanya malam itu—mereka bukan pembunuh, bukan pemimpin dunia kriminal, bukan pasangan yang bisa saling menghancurkan.
Mereka hanya Dante dan Valeria.
---
Paginya , aroma kopi menguar lembut dari dapur vila mereka yang tersembunyi jauh dari pusat kota. Valeria duduk di balkon dengan jubah tipis dan rambut berantakan, menatap lanskap kebun anggur yang membentang di kejauhan. Di tangannya, secangkir espresso hangat, dan di pangkuannya, sebuah buku puisi berbahasa Italia—hal yang tak pernah terpikirkan akan ia sentuh dulu, sebelum Dante.
Dante muncul dari balik pintu kaca, mengenakan sweater abu-abu lembut, langkahnya malas dan tenang. Ia membawa sepiring croissant hangat, hasil kerja tangannya sendiri yang setengah gagal. Namun ia tetap bangga.
“Mereka mungkin tak sempurna,” katanya, meletakkan piring di meja kecil di samping Valeria, “tapi ini yang terbaik yang bisa dilakukan mantan mafia pukul enam pagi.”
Valeria terkekeh pelan, suaranya lembut seperti angin musim semi. Ia mengambil satu dan menggigitnya. Lalu mengangguk—pura-pura menganggap serius.
“Terlalu asin,” gumamnya, “tapi... ada rasa manis juga.”
Dante duduk di kursi sebelahnya, mengambil cangkir kopinya sendiri dan menyesap pelan.
“Kau bicara soal croissant, atau aku?”
Valeria memutar matanya dan menahan senyum, lalu menyandarkan kepala di bahu Dante.
“Kau tahu, Dante... aku selalu membayangkan hidup seperti ini hanya untuk mereka yang terlalu normal. Tapi ternyata, kita bisa juga... bahkan setelah semua yang kita lakukan.”
“Kita takkan pernah normal, Val,” jawab Dante pelan, mengecup puncak kepala Valeria. “Tapi jika ini yang disebut tenang, aku mau setiap pagiku seperti ini. Bersamamu.”
Mereka duduk diam dalam keheningan yang nyaman, hanya ditemani suara burung-burung liar dan angin yang meniup tirai.
Valeria mengangkat kepala, menatap Dante.
“Jika suatu hari aku menghilang... jangan cari aku.”
Dante memandangnya, serius.
“Jika suatu hari kau menghilang, aku akan membakar dunia untuk menemukanku kembali di matamu.”
Valeria tertawa pelan, menunduk. “Kau masih romantis dalam cara paling berbahaya, Dante.”
“Dan kau masih gila dalam cara paling indah, Valeria.”
Hari itu pun berjalan lambat dan manis. Mereka melukis bersama. Membaca bersama. Bermain piano, dan bahkan membuat daftar nama untuk anjing yang belum mereka pelihara.
Dua jiwa penuh luka. Dua monster yang akhirnya bisa tersenyum… untuk sementara.
---
Valeria berdiri di balkon tertinggi vila mereka, gaun sutra merah marun membalut tubuhnya, rambutnya dibiarkan terurai, menari bersama angin malam. Di bawah sana, cahaya lampu dari pesta rahasia para pemimpin bawah tanah berkelip bak bintang—pesta yang mereka berdua atur, dan semua tunduk pada satu hal: kekuasaan Valeria di sisi Dante.
Dia tersenyum kecil saat melihat Dante berdiri beberapa meter darinya, membicarakan sesuatu dengan dua bos mafia dari Prancis dan Turki. Tapi matanya, hanya tertuju padanya. Bahkan saat tertawa kecil, mengangguk sopan, dan merangkul pundak salah satu tamunya, matanya tetap menatap Valeria. Seolah dia adalah pusat gravitasi di tengah dunia yang penuh darah dan rahasia.
Dan dia memang begitu.
Valeria kini tak sekadar bayangan Dante. Ia adalah nyawa dari setiap keputusan, tangan yang menyentuh kekuasaan dengan gaya dingin dan memabukkan. Para pria menunduk padanya bukan hanya karena mereka takut—tapi karena mereka kagum. Wanita yang pernah dikenal sebagai kabut tak terjamah kini berdiri di singgasana, menyebar pesona dan bahaya dalam satu helaan napas.
Sementara itu, Dante—lelaki yang dulunya mengendalikan dunia dengan tangan dinginnya—semakin larut dalam ketergantungan terhadap Valeria. Bukan cinta yang manis. Tapi obsesi. Obsesi pada keberaniannya. Pada cara Valeria membunuh tanpa ragu. Pada suara tawanya yang bisa muncul setelah ia menorehkan darah di lukisan patungnya.
Di kamar tidur mereka, Dante mengamati Valeria tidur. Di tangannya, pisau emas yang ia berikan dulu masih ada di meja kecil. Ia tersenyum kecil.
“Kau bahkan lebih berbahaya saat tertidur,” bisiknya.
Dante sudah tidak lagi memikirkan dunia luar. Baginya, Valeria adalah pusat segala hal. Bahkan jika harus kehilangan semuanya, ia tak peduli, asal Valeria tetap menjadi miliknya.
Namun di balik keindahan dan kekuasaan yang mereka genggam bersama... sesuatu mulai tumbuh pelan-pelan. Halus. Nyaris tak terdengar. Bahaya baru, atau mungkin retakan dalam obsesi yang terlalu dalam.
Karena ketika dua monster saling mencintai... dunia hanya bisa menunggu mereka membakar segalanya lagi.