Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Namun, Linda sama sekali enggan memberi tahu, ia melengos pergi. Cuti seminggunya begitu bermanfaat, selain bersenang-senang, dirinya mendapatkan informasi teramat berharga.
“Maksud suster Linda tadi apa, Tina?” tanya Dela penasaran.
Tina mengedikkan kedua bahunya. “Entahlah, kita lihat saja! Tapi, harus tetap jaga jarak, jangan sampai kita kenak getahnya! Suster Nirma yang sekarang tu terlihat berbahaya, tak lagi polos serta mengalah.”
“Kau betul. Aku sampai nyaris jantungan pas dia menyerang kita. Sebaiknya jangan ceritakan kepada Suster Linda, biarkan saja mereka saling serang! Kita cukup jadi penonton, mendukung siapa saja yang menang dan memiliki kuasa, agar tak salah langkah,” ujar Dela, ia tersenyum culas.
.
.
Nirma sedang bermain dengan Kamal dihalaman belakang rumah. Bayi ceria itu sudah tidak lagi demam, tapi manjanya masih belum hilang, enggan jauh-jauh dari sang ibu. Sedangkan ayah angkatnya belum ada datang lagi.
“Nirma! Ima!”
Nirma terlonjak kala mendengar jeritan Wak Sarmi. Ia bergegas berjalan masuk rumah, meninggalkan Kamal yang sedang bermain mobil-mobilan dari bahan plastik di atas tanah.
“Ada apa, Wak?”
“Itu_ anak Uwak_ KECELAKAAN! Kakinya patah tulang!” Wak Sarmi tidak sanggup lagi melangkah, tubuhnya luruh di batas ruang tamu dan dapur.
“Uwak!” Nirma berseru lantang, ia mengikis habis jarak lalu memeluk erat tubuh bergetar hebat. “Uwak dapat kabar dari siapa?”
“Ida menelepon pemilik kontrakan, ia mengabari lewat telepon umum kota Kecamatan, mengatakan kalau Santo kecelakaan sewaktu mengendarai kereta.” Wak Sarmi menangis histeris, masih sulit percaya bila anak semata wayangnya terkena musibah.
'Mengapa tak menghubungi ku saja?' batinnya bertanya-tanya merasakan sedikit keanehan. Kabar sepenting ini kenapa malah lewat pemilik kontrakan.
Namun, Nirma tak mau memperpanjang, ada yang lebih penting yakni, menenangkan Wak Sarmi. Ia usap sayang punggungnya. “Lantas, Uwak mau bagaimana?”
“Itulah yang buat bingung. Uwak ingin sekali pulang membantu Ida merawat suaminya. Kasihan bila ia melalui semua ini sendirian, mana lagi hamil muda. Takutnya nanti berdampak pada janinnya. Namun, Uwak pun tak tega meninggalkanmu seorang diri di sini, Nirma.” Wak Sarmi mengeratkan pelukannya, dirinya dilanda kebimbangan luar biasa.
‘Ya Rabb, apa ini jua termasuk ujian dari-Mu? Bila iya, tolong permudah bagi hamba untuk melewatinya ya Allah.’
Nirma melerai pelukan mereka, begitu lembut ia merapikan rambut Wak Sarmi yang keluar dari gulungannya.
“Pulanglah, Wak! Mbak Ida dan Mas Santo, lebih membutuhkan Uwak,” ucapnya mencoba untuk tegar.
“Kau yakin, Nirma? Lantas, macam mana dengan Kamal bila dirimu pergi bekerja?” Wak Sarmi menatap sendu wajah teduh Nirma.
Nirma membalas tatapan itu dengan senyuman manis, dalam hati mencoba lapang dada menerima ketentuan-Nya. “Tak perlu risau, Wak! Nanti aku minta tolong ke Ibu pemilik kontrakan, sebelumnya Beliau pernah mengasuh anak kecil yang orang tuanya pergi bekerja. Lagipula, Kamal pun dekat dengannya.”
"Apa tak sebaiknya kita pulang bersama saja? Jujur, hati Uwak tak tenang meninggalkan kalian sendirian di perantauan ini!" Wak Sarmi meluruskan kakinya.
Nirma tersenyum hangat, menatap sayang Wak Sarmi, dalam hati mengucapkan kalimat puji syukur, ia begitu beruntung atas kehadiran wanita ini. "Uwak tak perlu khawatir! Setiap jam istirahat, nanti aku akan pulang sebentar melihat keadaan Kamal."
"Uwak, boleh aku minta tolong?"
Wak Sarmi mengangguk, tangannya menghapus jejak air mata di pipi.
"Tolong jangan katakan apapun kepada Mamak dan jua Mbak Mala tentang kehidupan ku di sini, bisa kan Wak?" Nirma menggenggam tangan Wak Sarmi, ia pun ikut duduk di lantai semen.
"Kau ini betul-betul keras kepala, Nirma!" ia mendengus kesal, sebab niatnya sudah terbaca.
Nirma terkekeh lirih. "Wak pasti paham mengapa aku memilih tetap bertahan. Semua kulakukan demi Kamal. Aku menunggu waktu tu tiba, di mana Pak David berjanji akan membantu biaya operasi bibir Kamal, dan memberikan perawatan terbaik serta ditangani oleh dokter handal."
Ya, sebagai bentuk apresiasi atas kinerja Nirma yang tanggap, ramah, rajin, disiplin, pemilik rumah sakit menjanjikan hal tersebut kepada ibu muda itu.
"Tapi, bukankah sekarang rumah sakit dipegang oleh istrinya pak David, lantaran beliau sedang membuka cabang di ibukota provinsi, apa mungkin janji itu tetap dipenuhi, Nirma?"
"Janji tetaplah janji yang wajib ditepati, Wak. Aku akan menuntut hak ku!" ucapnya tegas.
Akhirnya Wak Sarmi pergi berkemas. Nirma berjalan ke belakang rumah, menggendong Kamal, membersihkan tubuh sang putra yang kotor akibat main tanah, kemudian membawanya masuk ke dalam kamar.
Nirma mengganti baju Kamal dengan yang bersih, lalu meletakkan bayi sehat itu di atas kasur. Ia membuka lemari, mengambil dompet yang berisi uang tabungan tak seberapa banyak, menarik dua lembar bernilai 50 ribu bergambar Bapak Pembangunan.
Sejujurnya hatinya menjerit pilu, uang tabungannya kembali terpakai. Namun, kali ini ia tidak menyesal, dikarenakan Wak Sarmi pantas mendapatkannya. Beliau sudah begitu baik dan berjasa selama ini, sangat tulus dalam merawat Kamal, dan menjadi pendengar serta penasihat bagi dirinya.
.
.
Tiba waktunya bagi Wak Sarmi berpamitan, sosok paruh baya itu menangisi Kamal. Sebetulnya sangat berat berpisah dari bayi yang ia rawat dari semenjak berumur 5 hari.
“Sudah, Wak! Nanti, bila kami ada rezeki … pasti akan main ke kampung Uwak,” Nirma berucap lirih, sesekali menghapus buliran air matanya.
“Janji ya, Ima! Bila kau pulang kampung, main ke rumah Uwak. Atau utus orang untuk memberi tahu, biar Uwak yang datang ke rumah ibumu.” Wak Sarmi semakin mengeratkan pelukannya, sampai Kamal protes.
“Ya Allah, Nak. Masa dipeluk sebentar saja tak bisa,” gerutunya, memberikan Kamal untuk digendong ibunya.
“Wak … ini ada sedikit hadiah dari Kamal!” Nirma menyodorkan amplop yang sedari tadi ia kantongi.
“Tak perlu, Ima. Kau lebih membutuhkan! Gunakan saja untuk tambahan biaya Kamal nanti. Uwak masih ada uang,” ia berusaha menolak, tidak mau menerima.
“Tolong ambil, Wak! Anggap saja ini pemberian anak ke ibunya.” Nirma keukeuh mengulurkan amplop bergaris merah biru.
Meski enggan, Wak Sarmi mau menerimanya. Ia sama sekali tidak berniat melihat isinya, langsung memasukkan ke dalam dompet. “Terima kasih, Nirma, Kamal.”
“Kembali kasih, Nenek.” Kembali mereka berpelukan sebentar, lalu bersama berjalan keluar rumah.
Nirma menemani Wak Sarmi menunggu becak motor lewat.
“Begitu sampai di terminal bus, hati-hati ya Wak! Jaga diri baik-baik, dan juga barang bawaannya!” nasihat Nirma.
“Iya. Kau jua jaga kesehatan, jangan telat makan! Meskipun tak pandai memasak, tapi dirimu masih bisa bertahan hidup dengan mengandalkan rebus-merebus. Jadi, jangan sampai Uwak dengar atau lihat bila kau macam orang kekurangan gizi!” selorohnya seraya tersenyum menggoda.
“Apalah Uwak ni, tak seru betul lah … ha ha ha.” Mata sembab itu nyaris tak terlihat kala ia tertawa.
Tidak seberapa lama, Wak Sarmi sudah naik becak motor, ia melambaikan tangan dengan air mata berderai.
Nirma mencoba menguatkan hati, tapi gagal. Cepat-cepat ia masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, menurunkan Kamal.
Ibu muda itu menangis tergugu, bersandar pada daun pintu. Nirma memeluk lututnya yang tertekuk, baru kemarin ia merasa hidup seperti orang normal, tidak mengkhawatirkan apapun.
Namun, cobaan kembali datang memporak-porandakan kehidupannya. Kini ia benar-benar merasa sendirian di perantauan.
Tok!
Tok!
"Nirma, kau di dalam kah?"
.
.
Bersambung.
Gak tahu aja mereka, kalau juragan Byakta dan Aji sudah mepersiapkan seminggu sebekum hari H.nya.
merusak suasana saja 😂
itu perut sebuncit apasih? kok disebut-sebut terus, jangan bilang sebuncit orang hamil tujuh bulan 😆